Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Mama



Mama

0Anya terpaksa memberikan kunci sepedanya pada Harris dan menguatkan keberaniannya untuk berjalan menuju ke mobil Aiden.     

Badai yang mengamuk?     

Bagaimana ia bisa menghadapi Aiden di saat seperti ini?     

Aiden kembali ke rumah Keluarga Atmajaya dan membuat keributan besar. Sepertinya, ia sudah tahu bahwa Nadine yang asli sudah ditemukan dan Anya bukanlah putri Maria.     

Namun, karena kesalahpahaman yang terjadi, mereka berdua harus berpisah dua tahun yang lalu dan bahkan harus kehilangan anak mereka.     

Aiden pasti marah besar.     

Ketika Anya mengetahui kebenarannya, ia juga tidak bisa menerima semuanya dan merasa sangat marah.     

Tetapi semuanya sudah berlalu. Apa gunanya marah?     

Marah pun tidak akan membuat anaknya hidup kembali …     

Kondisi kesehatan Maria juga sangat buruk dan Anya tidak ingin memperkeruh suasana.     

Langkah kakinya berhenti di depan pintu mobil Aiden dan tangannya langsung terangkat untuk mengetuk jendela.     

Jendela itu turun, menunjukkan wajah dingin Aiden. Anya bertanya dengan hati-hati, "Apakah kamu mencariku?"     

"Masuklah," kata Aiden.     

"Sudah malam. Bisakah kita bicara di sini agar aku bisa segera pulang?" tanya Anya, berusaha untuk menghindar.     

"Anya, masuklah ke dalam mobil!" Aiden menggeram, seperti sedang berusaha untuk menahan emosinya.     

Meski merasa sangat enggan, akhirnya Anya masuk ke dalam mobil.     

Ia duduk di kursi penumpang depan sementara Aiden langsung menyetir menuju ke danau di dekat rumah lama mereka. Ia berhenti tepat di depan pintu masuk bianglala.     

Anya tidak tahu apa yang Aiden inginkan. Mengapa tiba-tiba Aiden membawanya ke bianglala ini?     

Aiden turun dari mobil tanpa menunggu Anya dan langsung berjalan mendekati bianglala tersebut.     

Anya tidak punya pilihan lain selain mengejarnya. "Aiden, apa yang mau kamu bicarakan?"     

Pertanyaan itu membuat langkah Aiden terhenti. Di belakang, Anya yang sedang mengejarnya tidak bisa menghentikan langkahnya sehingga menabrak punggung Aiden.     

"Ah! Kepalaku!" Anya mengelus dahinya dengan kesal. "Mengapa kamu tiba-tiba berhenti?"     

"Jalanmu terlalu lambat," Aiden mengulurkan tangannya dan menggandeng tangan Anya menuju ke bianglala tersebut.     

"Apakah kamu mau naik bianglala?" tanya Anya.     

Aiden tidak menjawab pertanyaan Anya. Sebaliknya, ia menanyakan hal lain. "Apakah kamu ingat legenda bianglala?" suara dalam Aiden terdengar di telinga Anya.     

Anya terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu.     

Legenda mengenai bianglala? Tentu saja Anya ingat.     

Bahkan ia bisa mengingat dengan jelas kencan pertama mereka di tempat ini. Ia bisa mengingat permintaannya saat mereka berada di puncak teratas bianglala tersebut.     

Ia masih mengingat ciuman mereka di atas puncak, berharap ciuman itu menjadi tanda atas kebahagiaan mereka yang abadi.     

"Itu hanyalah legenda," hanya jawaban itu yang keluar dari mulut Anya.     

"Jika sepasang kekasih berciuman saat bianglala mencapai puncak tertingginya, mereka akan hidup bahagia selamanya. Aku ingat saat kamu menciumku di atas bianglala itu," kata Aiden.     

Wajah Anya langsung memerah mendengarnya. "Sepertinya kamu salah ingat," katanya sambil memalingkan pandangannya.     

"Kalau begitu, biar aku mengingatnya lagi," Aiden menarik tangan Anya dan memasuki salah satu bianglala.     

Bianglala itu berputar dengan lambat, perlahan naik ke atas, menunjukkan pemandangan malam yang indah.     

Anya menarik tangannya dari genggaman Aiden dan memberanikan diri untuk memandangnya, "Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?"     

"Sebelumnya, kamu pernah membuat permintaan di atas bianglala ini. Apa permintaanmu?" lagi-lagi, Aiden tidak menjawab pertanyaan Anya.     

Anya menoleh dan melihat ke arah luar jendela. Danau di bawah langit malam itu terlihat sangat indah dan tenang.     

"Sudah dua tahun berlalu. Aku lupa apa yang aku minta saat itu," jawab Anya.     

"Permintaanku adalah agar kamu bisa hidup bahagia dan damai," Aiden mengambil inisiatif untuk mengatakannya dan bertanya lagi. "Bisakah kamu memberitahuku permintaanmu?"     

Anya tertegun sejenak dan kemudian menjawab, "Aku meminta agar kamu bisa melihat kembali."     

"Permintaanmu sudah terkabulkan. Tetapi permintaanku … aku berharap aku bisa menjadikannya kenyataan dengan kekuatanku sendiri. Anya, bisakah kamu memberiku satu kesempatan lagi?" Aiden menatap ke arahnya lekat-lekat.     

DUAR!     

Suara itu diikuti dengan kembang api yang merekah di atas langit. Warna-warna yang indah membuat langit terlihat berkilauan.     

Anya menatap ke arah kembang api tersebut dan mengingat kembali kencan pertamanya dengan Aiden.     

Kencan pertama itu terasa seperti dunia dongeng. Ia bagaikan putri yang menemukan cinta sejatinya, pangerannya.     

Sekarang, Aiden meminta kesempatan kedua padanya.     

Kesempatan untuk memulai semuanya kembali …     

Bisakah mereka kembali lagi seperti dulu?     

Ketika bianglala itu mencapai puncaknya, Anya memantapkan dirinya untuk menjawab permintaan Aiden. "Kita tidak bisa kembali seperti dulu," jawab Anya dengan tenang.     

"Aku belum menikah, kamu juga belum menikah. Aku masih mencintaimu seperti dulu. Mengapa kita tidak bisa kembali?" tanya Aiden.     

Tiba-tiba, hati Anya merasa seperti dipukul keras-keras. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ini.     

Memang benar, Aiden belum menikah dan ia pun masih melajang. Aiden masih mencintainya dan ia pun masih mencintai Aiden.     

Tetapi mengapa mereka tidak bisa bersama?     

"Aku … aku sudah tidak mencintaimu lagi," gumam Anya.     

"Apa?" Aiden tidak bisa mempercayai telinganya.     

"Aiden, aku bilang, aku sudah tidak mencintaimu lagi," jawab Anya dengan lebih tegas.     

"Apakah kamu masih menyalahkan aku?" tatapan Aiden menunjukkan kesedihan di hatinya.     

"Apakah salah kalau aku menyalahkanmu? Kamu sudah berjanji padaku bahwa kamu tidak akan pernah menyembunyikan apa pun dariku. Kamu berjanji padaku bahwa kita akan berjuang untuk menghadapi apa pun bersama-sama. Tetapi apa yang kamu lakukan?" bisik Anya. "Kamu menceraikan aku, menyuruhku untuk menggugurkan kandunganku, tanpa memberitahu alasannya padaku. Apakah itu caramu menghormatiku?"     

Aiden menatap Anya tanpa bisa berkata-kata. Dua tahun sudah berlalu, Anya sudah semakin dewasa. Anya yang dulu tidak akan berani mengatakan hal ini di hadapan Aiden. Istri kecilnya sudah dewasa.     

"Aku hanya berusaha agar kamu tidak terluka. Aku khawatir kamu tidak akan bisa menerima semuanya."     

"Apakah aku harus berterima kasih atas perhatianmu itu? Cintaku padamu yang membuatku membencimu sebesar ini. Dua tahun aku habiskan untuk membencimu dan itu membuatku menjadi semakin lemah. Saat ini, satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah berhenti membencimu dan keluargamu," kata Anya. Ia memalingkan pandangannya, tidak ingin memandang ke arah Aiden lagi.     

"Anya …" Aiden mengulurkan tangannya, berusaha untuk menggenggam tangan Anya. Tetapi Anya langsung menghindar.     

"Aku …" sebelum Anya bisa mengatakan apa pun, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Seseorang meneleponnya dengan panggilan video.     

Anya mengangkat kepalanya untuk menatap ke arah Aiden dan kemudian menjawab panggilan tersebut.     

"Mama! Selamat hari wanita!" sepasang mata yang bulat dan besar muncul di layar.     

Ketika mendengar suara anak kecil mengucapkan kata 'Mama', mata Aiden langsung terlihat muram.     

"Alisa, tebak di mana mama sekarang?" Anya memutar ponselnya sehingga Alisa yang berada di seberang bisa melihat bianglala dan kembang api di sekitar Anya.     

"Di bianglala. Ada kembang api! Bagus sekali!" teriak Alisa dengan gembira.     

Anya menghadapkan layar kamera kembali ke wajahnya dan kemudian tersenyum. "Apakah kamu menyukainya? Minta papamu untuk membawamu ke Indonesia. Nanti mama akan mengajakmu naik bianglala dan melihat kembang api, oke?"     

"Oke, Mama! Alisa dan papa sangat merindukanmu!" kata Alisa dengan terbata-bata, kesulitan untuk mengucapkan kalimat panjang itu.     

"Mama juga merindukanmu, sayang!" jawab Anya.     

"Mama, aku ingin makan ubi manis dan pergi ke taman nenek!" kata Alisa dengan semangat.     

"Nanti saat Alisa pulang, mama akan …"     

"Anya, aku akan pergi ke Indonesia untuk urusan bisnis. Alisa ingin bertemu denganmu. Aku akan membawanya kembali ke Indonesia bersamaku. Bisakah kamu menjaganya untuk sementara waktu?" seorang pria tampan tiba-tiba saja muncul di layar.     

Alis Aiden langsung berkerut mendengarnya. Entah mengapa, ia merasa suara pria itu terdengar familier. Rasanya, ia pernah mendengar suara itu sebelumnya.     

"Tidak masalah. Alisa juga putriku," kata Anya sambil tersenyum.     

"Selamat malam, Mama. Sampai jumpa besok!"     

"Selamat malam, Alisa!"     

"Anya, aku akan mengirimkan jadwal penerbanganku padamu sekarang. Aku akan menemuimu setelah urusanku selesai," kata pria itu sekali lagi sebelum menutup telepon.     

"Tidak masalah. Aku bisa menjaga Alisa saat kamu sedang sibuk."     

"Terima kasih. Aku akan meneleponmu lagi nanti."     

Setelah panggilan video itu berakhir, Anya langsung menyimpan ponselnya. Begitu ia mengangkat kepalanya, ia menemukan Aiden sedang menatapnya lekat-lekat. "Mengapa anak itu memanggilmu mama?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.