Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Rumah Kayu



Rumah Kayu

0"Terima kasih, Bu. Nico sedang menerima telpon. Sepertinya ia telah menemukan Nadine," jawab Anya.     

"Sepertinya doa Bibi Maria telah terkabul. Ia telah menemukan kedua putrinya," bisik Tara.     

Anya hanya tersenyum mendengarnya. Semua ini bukan urusannya. Ia bukan lagi anggota Keluarga Atmajaya. Ia bukan siapa-siapa.     

"Tara, ayo kita pulang …" kata Anya.     

Tara mengambil alih bungkusan yang dibawa oleh Dwi dan berpamitan padanya. "Bu, tolong katakan pada Nico bahwa kami akan pulang dulu."     

Dwi langsung menghentikan mereka. Ia memandang ke arah Anya. "Nyonya, biar Tuan Muda yang mengantar Anda pulang. Saya akan memanggilnya sekarang."     

"Nico masih ada urusan dan harus kembali ke kantor untuk rapat. Kami bisa pulang sendiri," Anya memandang ke arah kamar Maria dan berkata, "Bu, tolong sampaikan pada Kak Maria bahwa kesalahan yang ingin ia tebus padaku bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan berdoa saja. Kalau ia benar-benar menyesali perbuatannya dan ingin menebus kesalahannya, suruh ia untuk menjaga kesehatannya baik-baik dan meminta maaf kepadaku secara langsung. Aku akan memberitahunya apa yang bisa ia lakukan untuk menebus dosanya."     

"Nyonya, terima kasih! Saya akan memberitahu Nyonya Maria!" Dwi begitu terharu hingga ingin meneteskan air matanya.     

Sementara itu, Tara yang berada di samping Anya hanya bisa memandang Dwi dengan bingung. Maria mengurung dirinya di rumah ini dan berdoa dari pagi hingga malam, tetapi Anya tetap tidak mau memaafkannya. Mengapa Dwi malah berterima kasih pada Anya?     

"Ayo, kita bisa pulang naik bus!" Tara menggandeng tangan Anya dan mereka berjalan menuju ke halte bus bersama-sama.     

Anya tahu Tara merasa bingung, tetapi tidak enak untuk menanyakannya. Sehingga akhirnya Anya angkat bicara terlebih dahulu. "Tara, apakah kamu tahu mengapa Bu Dwi berterima kasih padaku?"     

"Tidak. Mengapa?"     

"Coba pikirkan lagi. Apa yang aku katakan?" tangan Anya terulur untuk menangkap dedaunan yang jatuh dari pohon.     

"Kamu mengatakan bahwa berdoa saja tidak cukup untuk menebus kesalahannya. Kamu menyuruhnya untuk menjaga kesehatan dan meminta maaf secara langsung kepadamu, kemudian kamu akan memberitahunya apa yang harus ia lakukan untuk menebus dosanya," Tara mengulang kembali kata-kata Anya dan akhirnya menyadarinya. "Ah! Aku mengerti. Kamu ingin Bibi Maria kembali sehat."     

"Aku memerlukan bantuannya, tetapi ia tidak bisa melakukannya sekarang. Ia harus pulih terlebih dahulu," Anya melihat beberapa kuncup bunga yang akan mekar di atas pohon.     

Seperti bunga itu, Anya juga harus kembali memulai hidupnya yang baru …     

"Tidak heran Bu Dwi berterima kasih padamu. Apakah kamu sudah memaafkan Bibi Maria?" tanya Tara.     

"Aku bisa memahami perasaannya. Ia takut anaknya menikah dengan saudara iparnya. Pernikahan dua orang yang saling berhubungan darah, itu adalah sesuatu yang tidak etis. Ditambah lagi, saat itu aku sedang hamil. Rasa sakit yang ia rasakan tidak kalah hebatnya dengan apa yang aku rasakan. Di hari aku kehilangan anakku, ia berlutut di kakiku sambil menangis." Mata Anya menerawang saat mengingatnya.     

"Selama ini, Kak Maria selalu baik padaku. Tetapi karena perbuatan orang lain, ia terpaksa melakukan hal sekejam itu. Selama dua tahun terakhir, ia telah hidup dalam perasaan bersalah dan penyesalan. Itu sebabnya Aiden tidak menghukumnya lebih lagi. Orang yang harus disalahkan adalah pelaku yang sebenarnya …" Anya mengepalkan tangannya erat-erat.     

"Sekarang, kita sudah mengetahui semuanya. Kita harus mencari tahu siapa yang melakukan semua ini. Orang itu begitu kejam hingga kamu tidak bisa menemukan orang tuamu dan membuatmu kehilangan anakmu. Ia juga berusaha untuk memisahkanmu dari Aiden," kata Tara dengan marah.     

"Aku akan membalas dendam untuk anakku. Kalau semua anggota Keluarga Atmajaya tidak berani memberitahu Aiden yang sebenarnya, aku sendiri yang akan menyelidikinya," kata Anya dengan tegas.     

Tara bisa merasakan kobaran di hati Anya. Anya benar-benar marah dan akan membalas dendam untuk kematian anaknya. Namun, hanya satu pertanyaan yang mengganjal di hati Tara.     

"Anya, setelah semua masalah ini berakhir, apakah kamu akan pergi lagi?" tanya Tara.     

"Setelah kompetisi parfum berakhir, aku tetap akan pergi bagaimana pun hasilnya. Aku berharap, aku bisa menemukan kebenarannya sebelum kompetisi itu berakhir," kata Anya dengan suara pelan.     

Setelah naik ke dalam bus, Anya dan Tara duduk di samping jendela. Sudah dua tahun Anya tidak kembali ke kota ini dan begitu banyak perubahan yang terjadi.     

"Anya, apakah tidak mungkin bagi kamu dan Aiden …" Tara tidak berani melanjutkannya.     

Anya hanya menggelengkan kepalanya. "Aku baru saja memulai karirku. Aku tidak ingin memikirkan mengenai perasaan. Dan kamu tahu sendiri kondisiku. Keluarga Atmajaya tidak akan mau memiliki menantu mandul sepertiku. Dan aku tidak mau memiliki suami yang tidak jujur padaku."     

"Aiden tidak memberitahumu karena takut kamu akan terluka. Dalam masalah ini, kalian semua adalah korban. Selama dua tahun ini, apakah kamu tahu apa yang berubah di rumah Aiden? Tidak ada tanaman sama sekali di taman depan dan taman belakang rumahnya. Bunga-bunga Iris yang ada di rumahnya adalah bentuk cinta Aiden padamu. Ruang parfummu bahkan masih ada di rumah itu, menunggu pemiliknya kembali," kata Tara.     

Ekspresi di wajah Anya membeku saat mendengarnya. "Apakah kamu melihatnya sendiri?"     

Tara mengangguk. "Bu Hana masih bekerja di rumah Aiden. Sesekali, ia mengajakku dan Nico untuk makan malam."     

Anya terdiam mendengarnya. Setelah beberapa saat, senyum pahit muncul di wajahnya. "Aku sudah mengakhiri hubunganku dengannya dua tahun lalu. Tanpa adanya anak, tidak ada yang bisa mengikat kami."     

"Kalau Aiden tahu kamu bukan keponakannya, apakah kamu pikir ia akan melepaskanmu?"     

"Aku adalah aku. Kalau aku ingin pergi, apakah ia bisa menghentikanku?" kata Anya sambil tersenyum tipis.     

"Kalau Keluarga Atmajaya tidak berani jujur pada Aiden, apakah kamu perlu bantuanku untuk memberitahunya? Dengan bantuan Aiden, kamu bisa menyelidiki masalah ini lebih cepat. Mungkin kamu juga bisa meminta bantuannya untuk mencari orang tua kandungmu," usul Tara. Di balik usulnya ini, Tara berharap Aiden dan Anya bisa kembali bersama.     

Namun, jawaban Anya membuatnya kembali kecewa. "Ini adalah masalah Keluarga Atmajaya. Biarkan mereka membicarakannya sendiri. Kalau mereka memilih untuk menyembunyikannya, lebih baik kita tidak ikut campur."     

"Tetapi, bagaimana kamu bisa mencari tahu dengan kemampuanmu? Dan sekarang kamu sudah kembali ke Indonesia, aku khawatir orang itu akan menyakitimu lagi," Tara terlihat sedikit gelisah.     

"Biarkan saja ia menyakitiku. Dengan itu, aku bisa tahu siapa pelakunya," Anya yang sekarang bukan Anya yang dulu. Anya yang dulu tidak akan berani menghadapi masalah seperti ini.     

Masa lalu dan kepedihannya telah membuatnya tumbuh menjadi wanita yang percaya diri. Dua tahun ini, ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri.     

Tara hanya bisa pasrah. ��Tolong berhati-hatilah. Aku tidak mau sampai ada yang terjadi padamu."     

"Jangan khawatir. Aku kembali dua bulan lebih cepat untuk mencari tahu keberadaan orang tuaku. Untung saja aku tidak memiliki hubungan dengan Keluarga Atmajaya," kata Anya.     

"Aku juga lega. Ke mana kamu akan pulang sekarang?" tanya Tara.     

"Setelah perceraianku, ibuku menjual rumahnya untuk biaya hidupku di luar negeri. Sekarang ia tinggal di taman dan ku akan tinggal bersama dengannya," kata Anya.     

"Di taman? Apakah rumah ibumu cukup besar?" kata Tara.     

"Ibuku selalu menyebutnya sebagai rumah kayu. Tetapi saat melihat fotonya, aku merasa rumah itu lebih pantas disebut villa. Ada dua kamar di lantai atas dan dua kamar di lantai bawah. Ruang keluarganya pun cukup besar," kata Anya sambil tersenyum.     

"Villa di taman? Apakah Bu Esther yang mendesainnya?" Tara menanyakannya sambil memandang wajah Anya.     

"Iya. Selama dua tahun aku di Perancis, ibuku menyewakan kamar kosong kepada wisatawan yang sedang berlibur untuk penghasilan tambahan," Anya mengambil ponselnya dan menelepon ibunya.     

Sementara itu, Tara yang berada di sampingnya hanya bisa memandang senyum di wajah Anya sambil menimbang-nimbang. Ia tidak tahu apakah ia harus memberitahu Anya bahwa rumah itu bukan didesain oleh Esther, melainkan oleh Aiden sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.