Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Dua Tahun Berlalu



Dua Tahun Berlalu

0Di mobil Nico, Tara langsung memegang tangan Anya secara refleks, seperti saat dulu ia selalu memeriksa kesehatan Anya. "Kemarilah. Biar aku memeriksa kesehatanmu. Mungkin saja kamu sedang hamil."     

"Apa kamu sudah gila? Pacar saja aku tidak punya." Anya langsung memukul kepala Tara dengan gemas. "Kamu terlalu banyak bergaul dengan Nico sehingga menjadi sama sepertinya."     

Tara tertawa lebar. "Kakekku juga bilang sekarang aku menjadi seperti Nico. Menjadi lebih nakal."     

Anya mengacak-acak rambut Tara dengan tangannya yang bebas. "Yang penting kamu bahagia," kata Anya sambil tersenyum.     

"Berikan tanganmu yang satunya," Tara langsung terlihat serius.     

Anya tidak berani berbicara lagi dan langsung mengulurkan tangannya pada Tara. Setelah beberapa saat kemudian, akhirnya ekspresi di wajah Tara terlihat sedikit lebih tenang.     

"Mengapa kamu tiba-tiba menjadi serius seperti itu? Kamu membuatku takut. Aku tidak sedang hamil kan?" kata Anya dengan setengah bercanda.     

��Anya, apa yang kamu lakukan selama dua tahun terakhir?" Tara memandang sahabatnya lekat-lekat.     

"Belajar, belajar dan belajar. Aku bahkan tidak punya waktu untuk bernapas. Dengan begitu aku tidak perlu memikirkan hal lain," kata Anya dengan tenang.     

"Usiamu masih 23 tahun tetapi tubuhmu sangat tua. Aku kan sudah bilang padamu untuk menjaga kesehatan. Kalau kamu seperti ini terus, bagaimana kamu bisa punya anak lagi nanti?" kata Tara dengan marah.     

"Aku menyelesaikan studiku yang seharusnya tiga tahun dalam dua tahun saja. Menurutmu, untuk apa aku melakukan itu?" tanya Anya dengan senyum pahit. "Aku memang masih berusia 23 tahun, tetapi aku sudah pernah bercerai dan kehilangan anakku. Apakah kamu pikir aku kembali bersama dengan Raka? Raka tahu semuanya tentangku, semua masa laluku yang buruk. AKu tidak akan pernah bisa kembali dengannya."     

Anya menghela napas panjang dan melihat ke arah luar jendela dengan dingin, "Tara, aku kembali untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dua tahun lalu."     

"Aku tahu. Itu sebabnya aku menemanimu," Tara menatapnya dengan tulus.     

Selama dua tahun terakhir, Anya terus belajar pagi dan malam untuk menyelesaikan studinya lebih cepat. Ia menghabiskan semua tenaga dan pikirannya untuk belajar, tidak ingin memikirkan hal-hal yang lainnya.     

Ia telah kehilangan anak, ia telah dipaksa untuk menceraikan suami yang sangat ia cintai, tetapi hingga saat ini ia masih tidak tahu apa alasannya.     

Keluarga Atmajaya adalah keluarga yang paling berpengaruh di kota ini dan Anya bukanlah siapa-siapa. Apa yang bisa ia lakukan untuk memaksa mereka?     

Namun, masalah ini telah membuat Anya menderita selama dua tahun.     

Nico tidak bisa menghubungi ponsel Raka dan menuju ke tempat pengambilan bagasi. Di sana, ia menemukan bahwa koper Anya ternyata masih belum diambil dan Raka telah menghilang.     

Saat ia hendak pergi, seorang pria yang mengenal statusnya sebagai Keluarga Atmajaya memberitahunya bahwa ia melihat orang suruhan dari Keluarga Mahendra membawa Raka pergi dari bandara secara paksa.     

Nico berterima kasih pada orang itu dan kembali ke mobil. Sambil berjalan, ia menelepon ke rumah Keluarga Mahendra. Saat pelayan Keluarga Mahendra menjawab panggilan tersebut, ia langsung memberikannya pada Irena.     

"Bibi, Raka bilang akan pulang ke Indonesia hari ini. Aku menjemputnya di bandara, tetapi tidak bisa menemukannya. Aku khawatir padanya. Apakah Raka sudah pulang?" tanya Nico dari telepon.     

"Nico, jangan khawatir. Raka sudah pulang," jawab Irena sambil tersenyum. "Aku tahu kalian berdua berteman dekat, tetapi aku tidak menyangka kalau kamu menjemput Raka hari ini. Maaf kamu jadi pergi ke bandara dengan sia-sia."     

"Baguslah kalau Raka baik-baik saja. Aku akan menemuinya lain kali," setelah mengetahui keberadaan Raka, Nico mengakhiri panggilan.     

Raka tiba-tiba saja dibawa pulang secara paksa dari bandara. Tentu saja itu karena Keluarga Mahendra tidak ingin Raka bersama dengan Anya. Ditambah lagi, mereka takut ada wartawan yang memfoto mereka berdua.     

Nico ingin memasukkan koper Anya ke dalam mobilnya, tetapi Tara menghentikannya dan memasukkan koper itu ke dalam mobilnya sendiri. Setelah itu, Tara memberikan kunci mobilnya pada supir Nico, meminta bantuannya untuk mengantarkan mobil itu ke kliniknya.     

"Bibi, jangan hubungi Raka beberapa hari ini. Kalau ada yang kamu butuhkan, katakan saja padaku," kata Nico dengan tulus.     

Anya tidak banyak berbicara dan hanya mengangguk saja.     

Keluarga Mahendra takut Anya akan terus bergantung pada Raka dan ingin menjadi menantu dari Keluarga Mahendra sehingga mereka membawa Raka pulang secara paksa.     

Anya tidak pernah menginginkan hal itu. Ia tidak ingin menjadi bagian dari Keluarga Mahendra.     

Nico menyetir mobilnya dan empat puluh menit kemudian, ia tiba di rumah lama Keluarga Atmajaya.     

Ini pertama kalinya Anya mengunjungi rumah lama Keluarga Atmajaya. Rumah itu memiliki gaya yang antik, seakan ingin mempertahankan keasliannya.     

Nico membunyikan bel rumah dan menunggu selama beberapa menit, sebelum seseorang datang untuk membukakan pintu.     

Orang yang membukakan pintu adalah seorang ibu-ibu paruh baya, berusia sekitar 50 tahun. melihat Nico, wanita itu langsung menangis. "Tuan Muda, Nyonya Maria merindukan Anda."     

"Bu Dwi, lihat siapa ini," Nico tersenyum lebar dan memiringkan tubuhnya.     

Dwi melihat orang di belakangnya dan langsung mengenali Anya. "Nyonya Anya, Nona Tara, kalian juga datang! Silahkan masuk!"     

Anya mengenal wanita paruh baya di hadapannya. Ia pernah beberapa kali bertemu dengan wanita ini di rumah Keluarga Atmajaya. Meski ia tidak terlalu mengenalnya, Dwi bukanlah orang yang buruk di matanya.     

"Bu Dwi, di mana ibuku?" tanya Nico.     

"Nyonya Maria ada di dalam. Biar saya mengantar Anda ke sana," kata Dwi dengan penuh semangat.     

"Nanti siang kita akan makan di sini. Bisakah ibu membuatkan kami makan siang? Hari ini aku ingin makan soto ayam," tanya Nico.     

"Tentu saja! Saya akan memasakkan soto ayam yang terenak untuk kalian," kata Dwi dengan senang. Setiap hari ia hanya membuatkan masakan untuk Maria sendiri, rumah ini terasa sangat sepi.     

Nico, Tara dan Anya segera mengikuti Dwi menuju ke dalam rumah.     

Setelah berjalan beberapa saat, Tara menggerutu, "Nico, bukankah kamu bilang ingin mentraktir kita makan? Apa kamu ingin kita pulang setelah makan soto ayam?"     

"Aku akan mentraktir kalian makan malam. Siangnya kita makan di sini saja," Nico punya rencana lain.     

Ia membawa Anya ke sini untuk membuat Anya lepas dari rasa penasarannya selama dua tahun dan untuk memberi kesempatan bagi ibunya itu terbebas dari rasa bersalahnya.     

Selama dua tahun ini, Anya memang menderita, tetapi Maria juga merasakan hal yang sama.     

Anya tidak mengatakan apa pun dan hanya mengikuti Nico. Begitu tiba di sebuah koridor yang panjang, Anya berhenti dan menatap ke belakang.     

"Anya? Mengapa kamu berhenti?" tanya Tara?     

Anya menunjuk ke arah sebuah dinding dan bertanya, "Ke mana pintu tersebut menuju?"     

"Jelas-jelas itu adalah dinding. Di mana pintunya?" Tara melihat arah yang ditunjuk Anya tetapi hanya menemukan dinding.     

"Bagaimana bibi bisa tahu? Pintu itu jalan menuju ke arah taman belakang, jalan yang selalu dilewati nenekku saat ia masih hidup. Setelah nenekku meninggal, pintu itu ditutup," kata Nico.     

Anya pernah memimpikan tempat ini. Walaupun ia tidak melihat siapa pun di tempat ini, ia memimpikan pintu kecil tersebut.     

Apa sebenarnya arti mimpi itu?     

Sebelum mereka tiba kamar Maria, sebuah suara terdengar dari dalam. Nico membuka pintunya dan melihat Maria sedang berlutut di tanah.     

"Semoga Anya baik-baik saja, di mana pun ia berada. Aku mengharapkan kesehatan dan umur yang panjang untuknya. Aku bersedia untuk menukar nyawaku demi kebahagiaannya," meski kalimat itu diucapkan dengan suara pelan, Anya bisa mendengarnya dengan jelas.     

Setelah itu, ia membuka matanya dan menoleh ke belakang, memandang ke arah tiga pasang sepatu yang berdiri di depan pintu.     

Perlahan Maria mengangkat kepalanya. Ketika melihat Anya, air mata langsung mengalir di wajahnya. "Anya, kamu kembali …" kata Maria dengan suara gemetaran.     

Anya tidak mengatakan apa pun. Ia hanya diam berdiri di tempatnya, tanpa ekspresi di wajahnya, tanpa bergerak sedikit pun.     

"Anya maafkan aku. Maafkan aku!" Maria berlutut di hadapan Anya. Suara yang keras terdengar saat ia membanting tubuhnya ke lantai.     

"Ibu …" Nico sangat khawatir melihat ibunya. Ia langsung berusaha untuk membantunya berdiri, tetapi Maria malah mendorongnya.     

Tara juga terkejut dan ketakutan sehingga ia sedikit menjauh dari Anya.     

Hanya Anya yang berdiri di sana sendirian, seolah terpaku di tempatnya, memandang wanita yang berlutut di hadapannya.     

Maria dulu memiliki rambut berwarna coklat yang panjang dan indah. Wajahnya tidak pernah termakan usia meski sudah memiliki seorang anak yang dewasa. Ia tetap tampak menawan dan elegan. Pembawaan dirinya bisa membuat semua orang kagum.     

Dua tahun berlalu telah mengubah semuanya. Rambut indah kecoklatan itu sudah tidak ada, digantikan rambut yang beruban. Wajahnya terlihat penuh kerutan dan tubuhnya kuyu seperti mudah dihempas oleh angin.     

"Anya, maafkan aku! Aku mohon maafkan aku!" Maria merangkak di kaki Anya, memeluk kaki Anya dengan kedua tangannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.