Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Barang-barangnya



Barang-barangnya

0Aiden menekan pangkal hidungnya, berharap bisa meredakan beban di pikirannya. Kemudian ia berkata dengan pahit, "Aku sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu."     

"Tetapi itu yang kamu lakukan …" bisik Anya dengan suara lirih. Ia merasa seperti kehabisan tenaga. Namun, entah mengapa air matanya masih mengalir. "Aku sangat mencintaimu dan berharap agar hubungan kita bisa bertahan. Tetapi pada akhirnya, aku tidak bisa memilikimu."     

"Anya …" ketika mendengar suara Anya yang sedikit goyah, Aiden tahu Anya sedang menangis.     

Hatinya ikut hancur. Hancur dan tidak akan pernah bisa kembali lagi.     

Ia ingin memeluk Anya dan melindunginya. Ia ingin mengatakan betapa besar rasa cintanya pada Anya. Ia ingin mengatakan betapa hancurnya perasaannya saat anak mereka tiada.     

Ia ingin mengatakan bahwa ia menyesali semuanya …     

Aiden menyalahkan dirinya sendiri karena tidak sadar ada sesuatu yang terjadi dan tidak bisa menyelamatkan Anya tepat waktu.     

Tiga hasil tes DNA telah menghancurkan harapannya.     

Jadi, ketika Bima mengatakan bahwa anak Maria memiliki tanda lahir di dadanya dan meminta Aiden untuk melihatnya secara langsung, Aiden tertipu dengan mudahnya.     

Ia seperti mendapatkan harapan baru, tidak tahu bahwa harapan itu hanyalah sebuah kekosongan belaka.     

Ditambah lagi, Harris meneleponnya dari Hong Kong dan mengatakan bahwa Nadine tidak menepati janjinya dan tidak muncul.     

Semua harapannya telah hancur. Tidak ada foto tanda lahir, tidak ada Nadine yang bisa menjadi saksi.     

Selain memberi Anya kebebasan, apa lagi yang bisa Aiden lakukan untuk Anya?     

"Pergilah dari sini …" suara Anya terdengar lelah.     

Aiden berdiri di depan pintu cukup lama. Ia bersandar di pintu, mendengarkan suara isak tangis dari dalam dan menutup matanya.     

"Tuan, apakah Anda ingin masuk?" tanya pengawal yang berjaga di depan pintu.     

Aiden menggelengkan kepalanya. Ia berbalik dan berjalan menuju ke arah lift.     

Dari pagi, Tara begitu sibuk hingga akhirnya ia semua pekerjaannya selesai pada jam makan siang.     

"Anya, apakah kamu sudah makan? Aku akan ke sana sekarang," kata Tara dari telepon.     

"Aku sudah makan. Kamu pasti lelah setelah sibuk seharian. Tidak usah kesini. Istirahatlah saja. tidak usah mengkhawatirkan aku," kata Anya.     

"Baiklah, kalau begitu kamu istirahatlah. Nanti malam aku akan membawakanmu ubi manis."     

"Hmm …"gumam Anya.     

Setelah mengakhiri panggilan, Tara pergi ke ruang istirahatnya dan menelepon Nico.     

Nico baru saja selesai bekerja dan hendak makan siang. Ketika melihat Tara meneleponnya, ia langsung mengangkat panggilan itu tanpa menunggu lama.     

"Tara, apakah kamu sedang istirahat? Kamu merindukanku ya?" goda Nico.     

Tara memutar bola matanya dan berkata, "Nico, bantu aku."     

"Aku akan melakukan apa pun untukmu. Memanjat gunung pun aku mau …" Nico benar-benar akan memperjuangkan apa pun untuk Tara. Tetapi ia mengatakannya dengan nada bercanda untuk tidak membuat suasananya menjadi canggung.     

"Pergilah ke rumah Anya dan ambilkan semua barangnya," kata Tara.     

Nico terdiam sejenak. "Baiklah. Aku akan ke sana nanti sore."     

"Anya bilang ia sudah membereskan semua barangnya dan menyimpannya dalam koper di kamarnya. Kalau kamu tidak bisa menemukannya, tanyakan pada Bu Hana."     

Nico mengakhiri panggilan dan langsung mencari Aiden.     

Di depan pintu kantor Aiden, Jenny sama sekali tidak terlihat. Sepertinya ia sudah pergi makan siang. Nico mengetuk pintu dan masuk ke dalam tanpa menunggu jawaban. Aiden sedang duduk menghadap ke arah jendela sambil melamun.     

"Paman, Tara menyuruhku untuk mengambil semua barang bibi. Bisakah aku pergi ke rumahmu untuk mengambilnya sore nanti?" tanya Nico dengan sengaja.     

"Anya masih lemah. Setelah keluar dari rumah sakit, lebih baik ia tinggal di rumah terlebih dahulu. Tidak usah mengambil barangnya," jawab Aiden tanpa ekspresi.     

Nico berdeham pelan. "Paman, bibi tidak akan mau kembali ke rumah itu setelah keluar dari rumah sakit."     

"Aku tidak bisa membiarkannya sendirian," kata Aiden dengan susah payah.     

"Kata Tara, bibi sering memandang ke arah luar jendela dengan tatapan kosong. Ia bilang ia ingin mati. Aku rasa, sebaiknya kita menghormati permintaannya. Ia bisa melakukan apa pun yang ia mau. Jangan paksa dia," kata Nico.     

Aiden memukul meja dengan keras. "Kamu masih bisa bilang seperti itu! Beraninya!"     

"Paman, jangan marah padaku. Ibuku memang bersalah. Kalau kakek tidak memaksanya, mana mungkin ia berani melakukan hal sekejam itu? Semuanya sudah terjadi. Menurutku, lebih baik berikan apa yang bibi mau. Kembalikan kebebasannya," satu-satunya yang bisa Nico lakukan saat ini adalah mencoba membujuk Aiden.     

Mata dalam Aiden masih memandang ke arah Nico, seakan sedang mempertimbangkan saran Nico. Ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk Anya saat ini.     

"Suruh Bu Hana," setelah mempertimbangkannya, akhirnya Aiden menyerah.     

"Suruh Bu Hana yang mengantar barangnya ke rumah sakit?" tanya Nico, sekali lagi memastikan.     

"Jangan muncul di hadapannya. Anya tidak ingin bertemu dengan siapa pun dari keluarga kita," kata Aiden.     

"Dan satu lagi paman, bisakah kamu menarik semua pengawalmu di depan pintu? Aku tahu kamu hanya ingin melindunginya, tetapi bisakah kamu melakukannya secara diam-diam atau dari jauh? Membiarkan pria-pria bertubuh besar berdiri di depan pintu akan membuatnya semakin terkurung dan tertekan," kata Nico.     

"Keluarlah dari sini!" teriak Aiden.     

"Paman, aku serius. Pengawalmu membuatnya merasa seperti di penjara. Kamu …"     

Tanpa menunggu Nico menyelesaikan kalimatnya, Aiden mengambil dokumen di atas meja dan melemparkannya.     

"Paman, aku tidak tahu apa pun. Aku juga tidak melakukan apa pun. Jangan melampiaskan kemarahanmu padaku," kata Nico sambil menghindari lemparan tersebut.     

"Kalau kamu terlibat, apakah kamu pikir kamu masih bisa berdiri di depanku?" wajah Aiden yang tampan terlihat sedingin es. Kalau matanya bisa membunuh orang, mungkin semua orang di Keluarga Atmajaya sudah mati.     

"Pikirkan apa yang aku katakan. Aku akan pergi dulu," setelah keluar dari kantor Aiden, Nico langsung menelepon Tara.     

Di malam hari, Hana pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi Anya sambil membawakan barang-barang Anya.     

"Anya, apakah kamu sudah lebih baik?" Hana membuka pintu dan melihat Anya duduk di tempat tidur sambil memandang ke arah jendela lagi.     

Ketika mendengar suara yang dikenalnya, Anya menoleh perlahan. Begitu melihat sosok Hana, air matanya mengucur tanpa henti.     

"Bu Hana …" panggil Anya dengan suara lemah. Suaranya terdengar seperti tercekat.     

"Jangan menangis, Anya. Jangan menangis." Hana meletakkan koper Anya yang dibawanya dan langsung memeluk Anya dengan lembut.     

Anya melemparkan dirinya dalam pelukan Hana, menangis semakin keras.     

Di saat tidak berdaya seperti ini, Anya berharap ada ibunya yang memeluknya dan menghiburnya. Tetapi ia menahan diri karena ia merasa pengobatan ibunya saat ini jauh lebih penting.     

Anya memang selalu perhatian pada orang lain, kecuali pada dirinya sendiri.     

Tetapi kali ini, ia sudah tidak sanggup lagi. Hatinya begitu sakit. begitu sedih, begitu terluka …     

"Anya, kamu sudah sangat menderita. Jangan menangis. Lihat apa yang ibu bawa untukmu," Hana menghapus air mata di wajah Anya dengan tangannya.     

"Bu Hana, apakah kamu membawakan semua barangku? Apakah Aiden tahu?" tanya Anya.     

"Aiden tidak tahu. Ia memintaku untuk membersihkan kamarmu dan menyiapkan obat-obatan untukmu. Ia menyuruhku untuk menunggumu pulang dari rumah sakit dan merawatmu di rumah," kata Hana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.