Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Pertemuan yang Tak Terduga



Pertemuan yang Tak Terduga

0"Anya, jangan menyerah. Suatu hari nanti, kamu pasti akan bertemu dengan keluargamu." Tara menghampiri Anya dan berusaha menghiburnya.     

Anya memaksakan senyuman di wajahnya dan berkata, "Aku tidak tahu bagaimana cara menemukan orang tuaku. Nenekku sudah tidak ada. Aku tidak bisa bertanya pada siapa pun di mana mereka menemukan aku."     

Mereka bertiga berdiri di tempat mereka masing-masing sambil menghela napas panjang. Pembahasan ini membuat mereka ikut tertekan.     

"Nasib Keluarga Pratama juga sangat menyedihkan. Meski mereka sudah bersusah payah mencari anak mereka selama bertahun-tahun, mereka malah menemukan bahwa anak itu sudah mati dengan cara yang mengenaskan. Mereka hanya bisa menemukan jasad anak mereka," kata Nico.     

"Sudah berapa lama mereka mencari anak itu?" tanya Tara.     

"Lebih dari dua puluh tahun. Dan lebih dari setengah tahun mereka mencari tubuh dan catatan kematian pengawal mereka, untuk memastikan bahwa jasad bayi itu benar-benar anak mereka. Prosesnya sangat menyakitkan. Aku dengar, Bibi Indah jatuh sakit hingga tidak bisa pergi ke mana pun," Nico menghela napas panjang.     

"Kasihan sekali. Setelah mencari begitu lama, mereka tidak mendapatkan hasil apa pun. Kalau jadi mereka, mungkin aku lebih memilih tidak mengetahui hal ini dan terus berharap bahwa anakku hidup dengan bahagia, di mana pun ia berada," kata Tara dengan sedih.     

Pada saat itu, Dwi datang mencari mereka. "Tuan muda, Nyonya Anya, Nona Tara, makanannya sudah siap," kata Dwi dengan bersemangat.     

"Ayo kita makan," Nico menatap ke arah Dwi dan mendapatkan balasan anggukan.     

"Kalian makanlah, aku akan pergi dulu," Anya tidak ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Ia tidak mau makan di rumah ini.     

"Nyonya, sudah lama saya tidak bertemu dengan Anda. Hari ini saya sudah membuatkan masakan yang enak untuk Anda. Saya ingin Anda mencicipinya," begitu mendengar Anya ingin pergi, Dwi langsung berusaha untuk membujuknya."     

"Bibi, setiap kamu datang ke rumah Keluarga Atmajaya, Bu Dwi selalu memperlakukanmu dengan sangat baik. Setidaknya makanlah masakan buatannya," Nico ikut menimpali.     

"Anya, aku lapar. Bagaimana kalau kita makan dulu sebelum pulang? Meski sudah sangat tua, Bu Dwi masih berusaha keras untuk membuatkan kita masakan. Setidaknya, kita harus menghargai usahanya. Kalau tidak ia akan sedih," Tara tahu hati Anya sangat lembut. Ia tahu bagaimana cara memanfaatkan titik lemah Anya agar Anya setuju untuk makan bersama dengan mereka.     

Tanpa menunggu lama, Tara langsung menarik tangannya dan kembali masuk ke dalam rumah. Anya hanya bisa pasrah. Ia tidak tega saat melihat wajah Dwi yang sudah berkeriput memandangnya dengan tatapan memelas.     

Akhirnya, ia hanya bisa mengikuti Tara yang tidak mau melepaskan gandengan tangannya.     

Dwi mengantarkan mereka ke taman sebuah taman besar yang terletak di belakang rumah. Di tengah taman itu terdapat sebuah meja persegi panjang yang dinaungi oleh pepohonan besar. Meski berada di ruang terbuka, meja tersebut terlihat sangat rindang karena adanya naungan dari pohon-pohon tersebut.     

Saat angin bertiup, daun-daunnya akan berguguran ke tanah.     

Ada berbagai makanan yang sudah tersaji di atas meja dan semua makanan itu terlihat sangat lezat.     

Tara langsung mengeluarkan ponselnya. "Jangan makan dulu! Aku ingin memfotonya dan mengunggahnya di media sosialku!" Ia mengambil foto dengan penuh semangat.     

Tidak hanya itu, Tara juga berfoto bersama dengan Anya dan memasukkannya di media sosial pribadinya.     

Setelah turun dari pesawat, Aiden melihat media sosial Tara dan menemukan foto Anya.     

Tangannya terulur, menyentuh wajah Anya dari layar tersebut dengan jari-jemarinya. Sudah dua tahun Aiden tidak melihatnya dan Anya terlihat lebih kurus dari sebelumnya.     

Senyum di wajahnya masih sama hangatnya dengan dulu, tetapi Aiden tidak berani membiarkan hatinya mencintai Anya.     

"Tuan, saya sudah menyelesaikan semuanya dengan klien. Anda hanya perlu menandatangani kontraknya saja," kata Harris sambil menghampirinya.     

"Hmm ��" jawab Aiden.     

Harris menatap wajah Aiden dan kemudian bertanya dengan hati-hati. "Tuan, saya dengar Nyonya sudah kembali ke Indonesia."     

"Apa yang ingin kamu katakan?" Aiden menatapnya dengan acuh tak acuh.     

"Mungkin Nyonya sudah mengetahui mengenai hubungan Anya," kata Harris.     

"Memangnya mengapa kalau ia tahu? Aku tidak membutuhkan keponakan lagi," suara Aiden menjadi dingin.     

Aiden tahu Anya akan pulang ke Indonesia hari ini. Itu sebabnya ia pergi untuk melarikan diri agar ia tidak perlu menemui wanita yang dicintainya itu, wanita yang sekarang telah menjadi keponakannya.     

Tetapi melarikan diri bukanlah jalan keluar. Ia tidak bisa terus melarikan diri seumur hidupnya.     

Setelah beberapa hari, ia akan pulang ke Indonesia. Bagaimana ia harus menghadapi Anya?     

Harris merasa sangat khawatir pada Aiden. Meski Aiden menanggapi semua ini dengan dingin, Harris tahu bahwa sebenarnya Aiden masih menyimpan perasaan pada Anya.     

Namun, Aiden hanya bisa berpura-pura tidak peduli dan memendam perasaannya di hatinya yang paling dalam.     

…     

Di mobil, Aiden terus menatap foto Anya di layar ponselnya. Matanya seolah tidak bisa lepas dari layar ponsel itu, memandang ke wajah yang sangat ia rindukan. Wanita yang tidak akan pernah bisa dimilikinya.     

Anya telah kembali. Ia telah kembali …     

Tetapi apa artinya? Anya tidak akan pernah bisa menjadi miliknya. Mereka tidak akan pernah bisa bersama.     

Tiba-tiba mobil mereka berhenti secara mendadak saat seorang wanita hamil yang menyebrang jalan terjatuh di tengah jalan.     

"Ada apa?" Aiden mengerutkan keningnya dan wajahnya terlihat tidak senang.     

"Tuan, ada wanita hamil yang terjatuh di jalan. Sepertinya saya telah menabraknya," suara supir itu terdengar sedikit gemetaran.     

"Harris, keluarlah dan urus masalah ini," kata Aiden dengan tidak sabar.     

"Tunggu sebentar, Tuan. Biar saya mengurusnya," Aiden langsung membuka pintunya dan keluar dari mobil.     

Tidak lama, Harris membawa wanita yang sedang hamil itu ke pintu mobil Aiden.     

Aiden berusaha menahan kemarahannya saat melihat Harris membawa wanita itu ke dekatnya. Saat ia hendak menegur Harris, ia menemukan bahwa wanita itu terlihat sedikit familier.     

"Nadine?" Aiden mengenali wanita itu.     

Ia adalah Nadine, keponakannya yang telah menghilang selama bertahun-tahun. Begitu menyadari bahwa wanita tersebut Nadine, Aiden langsung membuka pintu.     

"Paman, suruh Harris lepaskan tanganku. Aku tidak akan lari," tangan Harris menggenggam lengan Nadine erat-erat, tidak membiarkannya kabur.     

Banyak mobil yang terhalang oleh mobil mereka sehingga suara klakson mobil yang bergema terus menerus berbunyi.     

Aiden langsung menarik tangan Nadine untuk masuk ke dalam mobil dan menyuruh supirnya untuk berangkat.     

"Paman, tanganku sakit. Lepaskan aku. Aku akan memberitahumu semua yang ingin kamu ketahui," Nadine berusaha meronta.     

Aiden melepaskan tangan Nadine dengan wajah yang muram. "Aku tidak ingin berbasa-basi denganmu. Dua tahun lalu saat kamu bertemu dengan Harris di Hong Kong, mengapa kamu mengganti hasil tes DNA nya? Siapa yang menyuruhmu melakukannya?"     

"Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, Paman. Hasil tes DNA apa? Aku tidak tahu?" Nadine terlihat polos dan tidak berdosa,     

"Nona Nadine, apakah Anda benar-benar melakukannya? Apakah kamu tahu apa konsekuensi dari tindakan Anda?" tanya Harris dengan serius.     

Nadine menundukkan kepalanya dan berbisik dengan suara pelan, "Aku … Aku tidak melakukannya. Aku tidak mengganti apa pun."     

"Apakah Anda benar-benar berkata jujur?" Harris tiba-tiba mengeraskan suaranya, membuat Nadine terkejut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.