Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Memberikan Kekuatan



Memberikan Kekuatan

0"Tidak ada yang ingin semua ini terjadi. Tetapi bayimu telah tiada. Sekarang, kamu harus menjaga dirimu sendiri," Tara tidak tahu bagaimana cara menghibur Anya. ia adalah orang yang cukup canggung dan tidak tahu cara menenangkan orang lain.     

Anya merasa hatinya sakit, membuatnya kesulitan untuk bernapas. Tangannya mencengkeram bajunya dengan erat dan berkata dengan wajah penuh kesakitan, "Tara, anak itu pasti menyalahkan aku. Aku adalah ibunya, tetapi aku tidak bisa melindunginya."     

"Tidak! Anakmu tahu bahwa kamu sangat mencintainya. Ia tahu kamu berjuang sekuat tenaga untuk melindunginya," Tara hanya bsia terus menepuk punggung Anya. "Anakmu pasti sebaik kamu. Dan ia pasti bisa memahamimu."     

"Aku benar-benar ingin mati. Aku merasa bersalah tidak bisa menjadi ibu yang baik. Itu karena aku terlalu bodoh. dengan Aiden di sampingku, aku pikir tidak akan ada yang bisa menyakitiku," Anya tidak bisa mengendalikan dirinya dan menangis dengan pahit.     

Kehilangan anaknya sama seperti menusukkan pisau di hatinya dan membiarkan pisau itu terus tertancap. Rasanya sangat menyakitkan.     

Ia tidak bisa menyalahkan Maria, tidak bisa menyalahkan Aiden atau siapa pun.     

Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak sanggup melindungi bayinya. Ia lah yang membunuh anaknya.     

Tara merasa Anya terjebak dalam pikiran dan depresinya sehingga tidak sanggup untuk keluar.     

Ia merasa bersalah, menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri.     

Keitka memasuki kamar Anya, Tara tahu ada yang aneh dengan sikap Anya. Anya hanya duduk diam sambil memandang ke arah jendela dengan tatapan kosong.     

Banyak kasus depresi dimulai dengan pesimisme dan menyalahkan diri sendiri. Anya bahkan ingin mati untuk membayar dosanya karena tidak bisa melindungi anaknya.     

Tara benar-benar khawatir Anya depresi dan bunuh diri.     

"Anya, yang menelantarkan anak itu bukan kamu, tetapi ayah, kakek dan bibinya. Mengapa kamu harus menyalahkan dirimu sendiri? Kamu sudah berjuang, kamu memohon dan bahkan melawan orang yang berusaha mencelakaimu demi keselamatan anakmu. Kamu sudah melakukan semua yang kamu bisa. Ini bukan salahmu! Kamu tidak bersalah!" kata Tara sambil mengguncang tubuh Anya.     

Tiba-tiba Anya berhenti menangis. Ia mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Tara. "Apakah aku tidak bersalah?"     

"Ini bukan salahmu. Ini salah orang lain. Jangan hukum dirimu atas kesalahan yang dilakukan orang lain," kata Tara.     

Pada saat itu, ketukan pintu terdengar. Tara menepuk pundak Anya dengan lembut. "Aku akan membuka pintunya. Jangan menangis lagi.     

Tara membuka pintu dan melihat Nico berdiri di koridor dengan napas terengah-engah.     

"Kunang-kunang … yang kamu minta," katanya dari sela-sela napasnya. Ia memberikan gelas kaca yang dibawanya. Di dalam gelas itu terdapat beberapa kunang-kunang yang memancarkan cahaya mungil.     

Tara langsung mengangkat tangannya dan memberi jempol pada Nico. "Kerja bagus. Kamu bisa pulang sekarang."     

"Bagaimana keadaannya?" begitu Nico tahu bahwa Anya adalah bibinya, ia merasa tenggorokannya terasa tercekat setiap kali ingin mengucapkan kata 'bibi'.     

"Aku berusaha untuk menenangkannya. Tidak tahu apakah aku berhasil atau tidak. Kalau tidak, ia membutuhkan bantuan psikiater. Ia depresi dan ingin bunuh diri," Tara menghela napas panjang.     

"Apa?" mata Nico terbelalak karena terkejut.     

"Aku akan masuk. Pulanglah," Tara tidak banyak berbicara dengan Nico. Ia tidak mau meninggalkan Anya sendirian terlalu lama. "Anya, lihat ini."     

Anya menoleh dan melihat botol kaca di tangan Tara.     

Tara mematikan lampu kamar dan membuat kunang-kunang itu berkilauan di tengah kegelapan. Mata Anya terpaku padanya.     

Ia meletakkan botol itu di tangan Anya. "Bukankah ini cantik?" tanya Tara.     

"Aku dengar kunang-kunang memiliki umur yang pendek," kata Anya dengan suara pelan.     

"Benarkah? Tetapi selama hidupnya, ia memberikan sesuatu yang indah untuk kita kenang. Apakah kamu tahu lagu kunang-kunang? Kunang-kunang, hendak ke mana. Kelap-kelip indah sekali. Gemerlap, bersinar. Seperti bintang di malam hari …" Tara menyanyikan sebuah lagu anak-anak.     

Anya ikut bergumam pelan. "Kunang-kunang, terbang ke sini. Ke tempatku singgah dahulu. Kemari, kemari. Hinggaplah di telapak tanganku …"     

Anya tidur sambil memeluk botol kaca itu semalaman. Kunang-kunang kecil yang bercahaya di tengah kegelapan itu seolah memberikan kekuatan untuknya.     

Setelah beristirahat satu malam, mata Anya terlihat kembali memancarkan sedikit sinarnya, tidak sekosong malam sebelumnya.     

Saat sarapan, Anya bisa sedikit makan karena ada Tara yang menemaninya.     

"Anya, aku harus kembali ke klinik setelah ini. Aku tidak bisa menemanimu makan siang," kata Tara dengan khawatir. "Kalau kamu butuh apa pun, aku akan membawakannya nanti malam."     

"Apakah kamu bisa membawakan barang-barangku? Aku tidak ingin kembali ke rumah itu," kata Anya.     

"Lalu, di mana kamu akan tinggal setelah keluar dari rumah sakit?" Tara merasa tangannya menjadi kaku.     

"Aku akan langsung pergi ke bandara setelah keluar dari rumah sakit. aku akan bertemu dengan ibuku dan kemudian langsung pergi ke Perancis," hanya butuh satu malam saja bagi Anya untuk menentukan jalan yang akan ditempuhnya.     

"Aku tidak tahu apakah aku bisa mengambilkan barang-barangmu, tetapi aku akan mencobanya. Aku sudah banyak belajar trik-trik mencuri dari Nico," Tara mengatakannya dengan bercanda untuk memperbaiki suasana yang terasa canggung.     

Anya mengulurkan tangannya dan memegang tangan Tara. "Nico sangat mencintaimu. Aku merasa kalian berdua sangat cocok. Jangan biarkan masalah yang terjadi padaku mempengaruhi hubungan kalian. Kamu adalah kamu. Kamu dan aku tidak sama …"     

Anya tahu saat melihat keadaannya seperti ini, Tara semakin kehilangan kepercayaan dirinya untuk bisa bersama dengan Nico.     

Apa yang terjadi pada Anya belum tentu terjadi pada Tara, tetapi Tara sudah ketakutan terlebih dahulu.     

"Anya, Nico tahu yang sebenarnya. Ia berjanji akan memberitahuku setelah kamu pergi dari Indonesia. Aku tidak akan membuatmu bingung mengenai masalah perceraian ini. Aku akan memberitahumu begitu aku mengetahuinya," kata Tara sambil membalas genggaman tangan Anya.     

Anya hanya mengangguk.     

Tetapi sebenarnya ia sudah tidak peduli lagi.     

Sudah cukup lama ia berusaha mencari tahu. Sudah cukup besar perjuangannya untuk mencari tahu alasan itu.     

Sekarang, sudah tidak ada gunanya lagi …     

Setelah sarapan, Tara kembali ke kliniknya, meninggalkan Anya sendirian di dalam kamar.     

Anya memejamkan matanya, tetapi ia tidak bisa tidur. Ia tidak bisa beristirahat. Ia tidak bisa berhenti memikirkan anaknya.     

"Anya …" suara Aiden yang serak terdengar dari depan pintu. "Maafkan aku. Bisakah aku bicara denganmu? Sebentar saja …"     

"Aku tidak ingin menemui siapa pun dari Keluarga Atmajaya, terutama kamu. Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Anakku sudah tidak ada. Semuanya sudah berakhir. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi," kata Anya.     

Suaranya terdengar sangat datar seolah cintanya pada Aiden sudah mati bersama dengan perginya anak di dalam kandungannya.     

"Tidak apa-apa kalau kamu membenciku. Aku hanya berharap kamu bisa hidup dengan tenang dan menemukan kebahagiaanmu sendiri setelah meninggalkan aku," bisik Aiden.     

"Aiden, anakku sudah tidak ada. Apakah kamu sudah lega? Apakah kamu pikir aku akan menggunakan anak itu untuk menuntut uang darimu? Atau menggunakan anak itu untuk mengganggu kehidupanmu?" tanya Anya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.