Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Mati Listrik



Mati Listrik

0"Kita sudah berjuang keras untuk tiba sampai di sini. Ibu harap hidup kita akan terus menjadi lebih baik. Kalau Aiden jahat padamu, pulanglah pada ibu. Biar ibu yang mengurusmu!" Diana menggenggam tangan Anya dengan erat.     

Ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyakiti putrinya, meski Anya bukan putri kandungnya sekali pun.     

Baginya hubungannya dengan Anya jauh lebih dalam dibandingkan hubungan darah.     

Anya menatap ke arah Aiden sambil tersenyum menggoda. "Dengar itu. Kamu harus baik padaku. Kalau tidak aku akan kembali ke rumah ibu."     

Aiden tersenyum balik saat mendengarnya. "Aku akan menjagamu seumur hidupku. Bagiku, kamu adalah yang nomor satu."     

Anya memiliki dua ibu yang sangat luar biasa. Saat Mona berniat untuk mencelakainya, salah satu ibunya langsung memeluk pinggang Mona dan menahannya, sementara yang lain langsung menangkap pisau yang Mona bawa.     

Mereka berdua mencintai Anya, bahkan lebih dari pada diri mereka sendiri. Mereka bahkan sama sekali tidak peduli apakah mereka akan mati kalau saat itu Mona menusuk mereka dengan menggunakan pisau itu.     

Bagi mereka, yang terpenting adalah keselamatan putri mereka. Memang seorang ibu akan selalu berusaha untuk melindungi anaknya, di saat apa pun.     

Anya merasa sangat senang. Ia beruntung bisa memiliki dua ibu yang sangat mencintainya.     

"Ibu, kamu dengar kan? Aku akan selalu jadi nomor satu bagi Aiden. Biar kamu yang menjadi saksi. Kalau Aiden tidak bisa menepati janjinya, kamu boleh membawaku pergi. Aku akan membantumu untuk menjual bunga dan apel," kata Anya. Senyum di wajahnya terlihat penuh dengan kebahagiaan.     

"Baiklah. Aku akan menjadi saksi. Kalau Aiden berbuat jahat padamu, aku akan langsung membawamu pergi. Aku juga akan meminta pada kedua orang tuamu untuk memberinya pelajaran," Diana tertawa saat mengatakannya.     

Mungkin ini adalah pertama kalinya Aiden diancam seperti itu, tetapi ia hanya membalasnya dengan senyuman. Ia merasa sangat senang saat melihat interaksi antara Anya dan ibunya.     

Ia mengantar Diana menuju ke arah lift dan meminta pengawalnya untuk mengantar Diana hingga tiba di rumah.     

Saat kembali ke kamar Anya, ia melihat kepala rumah sakit dan beberapa orang lainnya sedang berlutut dan memohon di depan kamar Anya.     

Salah satu pengawal Aiden, Tian, khawatir mereka akan menyakiti Anya sehingga ia berdiri di depan tempat tidur Anya dengan posisi berjaga-jaga.     

Pengawal yang berada di depan pintu tidak membiarkan mereka masuk sama sekali sehingga mereka hanya bisa berlutut di depan pintu. "Mundur. Jangan ganggu istirahat Nyonya! Kalau tidak, jangan salahkan kami menggunakan kekerasan."     

Setelah ditegur oleh Aiden dengan keras, para pengawal itu sangat ketakutan. Mereka belajar dari kesalahan dan menjaga Anya dengan sangat ketat.     

"Apa yang kalian lakukan?" melihat situasi ini, Aiden merasa sangat marah.     

"Tuan, kami benar-benar minta maaf. Wanita itu …"     

"Cepat usir mereka semua pergi!" Aiden tidak memberi kesempatan bagi mereka semua untuk berbicara. Setelah mendapatkan perintah dari Aiden, para pengawal itu langsung membawa orang-orang itu pergi.     

Aiden masuk ke dalam kamar Anya dan menutupnya rapat-rapat. Setelah beberapa saat, akhirnya suara dari luar tidak terdengar lagi.     

Aiden menggenggam tangan istrinya dengan lembut sambil duduk di samping Anya. "Apakah ada yang ingin kamu katakan padaku?"     

Biasanya, Anya akan langsung memintanya untuk melepaskan orang-orang itu. Anya begitu lembut sehingga tidak tega melihatnya.     

Tetapi kali ini tidak. Anya sedang kesakitan dan hanya bisa memikirkan dirinya sendiri. "Perutku sakit. Apakah kamu pikir aku masih punya waktu untuk mengampuni mereka?"     

Aiden tertawa kecil mendengarnya. Ia mengecup punggung tangan Anya dengan lembut. "Maafkan aku, membuatmu terkejut."     

"Bukan salahmu. Ini semua salah mereka yang tidak kompeten. Untung saja aku tidak terluka," Anya menghela napas panjang. "Luka ibu sepertinya cukup parah. Tetapi ia takut aku khawatir sehingga tidak mau memberitahuku."     

"Lukanya memang cukup parah. Tetapi ia langsung ditangani secepat mungkin dan seharusnya setelah pulih, ia akan kembali normal seperti biasa," kata Aiden.     

"Ibu adalah ibu yang baik. Kalau saja aku tidak terpisah darinya, ia akan mengurus dan merawatku dengan baik. Aku hanya berharap ibu bisa bahagia selamanya," kata Anya dengan suara yang lembut.     

Aiden menatap Anya dengan aneh. Setelah menjadi seorang ibu, ia merasa ada perubahan pada istri kecilnya.     

Istri kecilnya yang dulu kekanakan sekarang terlihat bijaksana. Ia bisa memahami orang tuanya jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.     

Mungkin memang benar, seseorang harus menjadi orang tua untuk memahami seberapa besar rasa cinta orang tua kepada anak mereka.     

Setelah menjadi seorang ayah, Aiden bisa sedikit lebih memahami ayahnya.     

Awalnya, saat Aiden diculik dan penculiknya meminta uang tebusan, ayahnya terus menunda dan tidak mau menyerahkan uang itu. Pada akhirnya, para penculik itu hampir saja membunuhnya.     

Karena alasan itu, Aiden selalu membenci ayahnya. Kalau bukan karena kehadiran Anya, mungkin ia tidak akan pernah berbaikan dengan Bima.     

Tetapi Maria menjelaskan bahwa saat itu Bima tidak memberikan uangnya, bukan karena ia tidak rela untuk kehilangan uang, tetapi ia ingin mengulur waktu agar bisa menyelamatkan Aiden.     

Bima takut penculik itu akan menyakiti Aiden begitu menerima uangnya. Mungkin saja penculik itu akan membunuh Aiden untuk menghilangkan barang bukti dan saksi.     

Seperti dugaan Bima, mereka memang tidak berniat melepaskan Aiden.     

Mereka hanya ingin mendapatkan tambahan uang dan setelah itu tetap membunuh Aiden.     

Setelah menjadi seorang ayah, Aiden menjadi lebih bisa memahami pemikiran ayahnya. Ia bisa memaafkan semua yang ayahnya lakukan.     

Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia mencintai ayahnya seperti yang Anya sampaikan pada ibunya. Tetapi sekarang, ia bisa mempercayai ayahnya.     

Aiden menemani Anya selama operasi dan menyerahkan kedua putranya yang baru saja lahir pada Bima dan Maria. Ia percaya kepada kedua orang tersebut dan yakin bahwa keluarganya itu akan menjaga anaknya baik-baik.     

Bima memantau semua pemeriksaannya dengan sangat teliti, membuat dokter anak yang menangani Arka dan Aksa sangat gugup. Mereka takut membuat kesalahan dan tidak bisa menyelamatkan kedua bayi yang prematur ini.     

Untung saja, keduanya baik-baik saja dan langsung dimasukkan ke inkubator.     

Rasa sakit yang Anya rasakan semakin parah hingga tidak tertahankan. Ia sampai tidak bisa tidur karena rasa sakit yang luar biasa. Akhirnya, dokter harus memberikan obat pereda sakit untuknya agar ia bisa beristirahat.     

Tetapi ia baru saja tertidur sesaat ketika ia mendengar suara tangisan bayi. Tangisan itu terdengar sangat jelas di telinganya.     

"Arka, Aksa …" Anya tiba-tiba terbangun. Aiden langsung menghampiri Anya dan memegang tangannya. "Arka dan Aksa baik-baik saja. Apakah kamu bermimpi buruk?"     

"Aiden, cepat lihat Arka dan Aksa. Aku bermimpi mereka menangis," Anya masih bisa mendengar tangisan yang melengking di mimpinya. Setelah bangun, ia merasa hatinya tidak bisa tenang.     

"Jangan khawatir, Arka dan Aksa baik-baik saja," Aiden mengelus tangan Anya, berusaha untuk menenangkannya.     

"Tidak. Cepat lihatlah sekarang. Aku baru bisa tenang setelah kamu melihat mereka," Anya bersikeras.     

"Kalau begitu, pejamkan matamu sebentar dan beristirahatlah. Aku akan melihat keadaan mereka dan segera kembali," Aiden bangkit berdiri dan meninggalkan kamar Anya menuju ke area pediatri.     

Area pediatri berada di lantai yang berbeda dengan kamar VVIP. Aiden harus turun ke lantai tiga terlebih dahulu untuk menuju ke kamar anak-anaknya.     

Siapa yang tahu saat Aiden sedang menaiki lift, tiba-tiba saja seluruh bangunan itu mati lampu.     

Aiden terjebak di dalam lift itu bersama dengan pengawalnya.     

"Tuan, bagaimana kita bisa keluar tanpa adanya sinyal?" pengawal itu menyalakan senter dari ponselnya.     

"Rumah sakit ini punya genset cadangan. Gensetnya akan langsung menyala begitu listriknya mati. Jangan khawatir," Aiden terlihat sangat tenang.     

Sebelum Anya dirawat di rumah sakit, ia sudah memikirkan berbagai kemungkinan terburuk. Di kota beberapa kali sering terjadi mati lampu karena hujan yang cukup deras.     

Karena takut ada sesuatu yang terjadi saat Anya dioperasi, Aiden segera menyediakan genset cadangan yang bisa langsung digunakan begitu lampu mati.     

Ia sudah memikirkan semuanya sehingga di saat-saat seperti ini ia bisa tenang.     

Tetapi setelah menunggu 20 menit, Aiden tidak bisa tenang lagi karena lift itu tidak kunjung menyala.     

Ia yakin betul ada genset cadangan dan genset itu akan menyala secara otomatis.     

Mengapa sampai sekarang listriknya belum menyala juga?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.