Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Rumah yang Kosong



Rumah yang Kosong

0Nico tidak sadar bahwa Aiden sedang menyindirnya, "Paman, sejak kapan Atmajaya Group berniat untuk membuka biro jodoh?"     

"Sejak saat ini," jawab Aiden.     

Anya tertawa melihat pembicaraan antara Aiden dan Nico. Ia merasa lucu sekali karena Nico tidak sadar saat Aiden sedang mengejeknya. "Mengapa aku sangat senang saat melihat kamu dibodohi seperti ini? Apakah aku jahat?" kata Anya sambil tertawa.     

"Siapa suruh Nico bodoh? Dia bahkan tidak bisa menyadari bahwa pamanmu menyindirmu," Tara juga ikut tertawa.     

"Paman, kenapa kamu menghinaku? Aku membantumu untuk menyingkirkan sainganmu. Kalau Raka bersama dengan Della, kamu tidak perlu khawatir ia akan merebut bibi," kata Nico dengan kesal.     

"Aku sama sekali tidak peduli pada Raka dan aku tidak menganggapnya sebagai saingan. Tidak akan bisa yang merebut istriku dariku," Aiden mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala Anya.     

Anya menyambut tangan tersebut dan mendekat ke arah suaminya. "Aku juga tidak mau bersama dengan orang lain," kata Anya. Aiden memanfaatkan kesempatan itu untuk mengecup bibir Anya sekilas.     

"Apakah kalian harus memamerkan kemesraan kalian di pagi hari seperti ini?" Nico menutup matanya saat melihat paman dan bibinya berciuman. Dan kemudian, ia langsung menoleh ke arah Tara, "Sayang, aku juga mau cium."     

Tara memutar bola matanya, melihat tingkah Nico yang tidak tahu malu. Tetapi ia tidak menolak. "Tutup matamu," kata Tara.     

Nico langsung menurutinya dan menutup matanya erat-erat, mengharapkan sebuah ciuman dari tunangannya.     

Tara mengambil roti bulat di atas meja dan menempelkannya di bibir Nico, membuat kepala Nico terjungkal ke belakang.     

Nico merasa ada yang aneh. Apa benar Tara menciumnya seagresif ini?     

Ketika ia membuka matanya, ia melihat roti bulat di hadapannya, menempel di bibirnya dengan erat sehingga roti bulat itu penyok. Ia langsung memakan roti itu dengan kesal.     

Tara dan Anya langsung tertawa terbahak-bahak melihatnya.     

Setelah sarapan, Nico dan Tara berniat untuk membungkuskan makanan untuk Raka dan Della. Tetapi sebelum mereka tiba di rumah, Raka mengirimkan pesan padanya.     

Raka : Nico, aku akan pulang dulu. Aku akan membelikanmu sprei baru nanti.     

Setelah melihat pesan itu, Nico merasa bingung dan berkata pada Tara. "Tara, Raka pulang membawa sprei kita."     

"Pasti ada sesuatu yang terjadi kemarin malam, sehingga mereka membawa sprei itu. Apakah kita melakukan hal yang benar?" Tara tidak tahu apakah benar melakukan semua ini pada Raka dan Della.     

Ini sama saja dengan memaksa Raka dan Della untuk bersatu dengan cara yang salah.     

"Raka bukan orang yang seperti itu. Kalau ia melakukannya, ia pasti benar-benar menyukainya," kata Anya sambil tersenyum.     

Setelah itu, Nico dan Tara langsung pergi bekerja. Harris dan Nadine juga langsung pergi, meninggalkan Aiden dan Anya sendiri.     

"Aiden, apakah kamu tidak akan kerja hari ini?" Anya merasa bingung saat melihat Harris pergi, tetapi Aiden masih tetap di rumah.     

"Hari ini, aku akan menemanimu ke rumah ayah dan ibu," kata Aiden.     

"Bukankah kita sudah janjian dengan ayah dan ibu untuk bertemu saat tahun baru nanti?" Anya merasa tidak perlu ia pergi ke rumah ayah dan ibunya sekarang. Ditambah lagi, kemarin malam hujan deras hingga banjir. Anya tidak ingin pergi hari ini.     

Aiden memegang pundak Anya dan memandangnya dengan serius. Kemudian, ia berkata dengan hati-hati, "Kemarin malam Keara bunuh diri. Orang tuamu harus tahu."     

Setelah pernyataan itu terlontar, suasana menjadi hening, sampai-sampai suara jarum jam bisa terdengar.     

"Bunuh diri?" tanya Anya dengan suara pelan.     

Aiden mengangguk dan mengamati ekspresi di wajah istrinya dengan seksama.     

"Apakah ia benar-benar mati?" tanya Anya sekali lagi.     

"Ia tidak terselamatkan," jawab Aiden.     

Anya hanya diam dan memandang Aiden dengan tatapan kosong seolah tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya.     

Setelah beberapa saat, akhirnya ia berkata, "Aku mengerti. Aku akan naik ke atas dan ganti baju. Tunggu aku sebentar," setelah itu, ekspresi lega terlihat di wajah Anya.     

Aiden tidak bisa mempercayai reaksi Anya yang sangat tenang seperti ini. Aiden merasa, Anya berusaha untuk menutupi perasaannya di hadapannya.     

Ia mengikuti Anya ke lantai atas dan melihat Anya sedang duduk di depan cermin meja riasnya. Ia menutupi wajahnya dan bahunya terguncang, tetapi bibirnya tersenyum.     

Aiden menghampirinya dan berdiri di belakangnya. Kemudian, ia memeluk pinggang Anya dengan erat dan mengecup pipinya, berusaha untuk menghiburnya. "Semuanya akan baik-baik saja."     

"Ia memang seharusnya mati," mata Anya terlihat merah. "Ia telah membunuh anakku dan menginginkan nyawaku. Aku tidak peduli meskipun ia adalah kakakku. Tetapi bagaimana dengan ayah dan ibuku?"     

"Keara sudah meninggal. Semuanya sudah selesai," kata Aiden dengan suara lembut.     

"Saat aku melihat Arka dan Aksa, aku selalu memikirkan mengenai anakku yang sudah tidak ada," kata Anya sambil menangis.     

Aiden hanya bisa mengelus kepala Anya dan berusaha untuk menenangkannya.     

Bagi seorang ibu, kehilangan seorang anak adalah luka terbesar di hatinya. Luka itu tidak akan pernah sembuh dari hati Anya, akan selalu membekas selamanya.     

Tetapi seseorang yang merenggut nyawa anaknya adalah saudaranya sendiri.     

Kematian Keara adalah sebuah berita yang sangat baik untuknya. Tetapi di sisi lain, ia juga memikirkan mengenai kedua orang tuanya.     

Hatinya terbelah menjadi dua …     

Di satu sisi ia merasa senang, di sisi lain ia merasa sedih.     

"Apakah tidak apa-apa jika aku bertemu dengan ayah dan ibu seperti ini? Apakah aku tidak akan menyakiti hati mereka?" tanya Anya.     

"Sudah kewajibanmu sebagai seorang anak untuk menghibur orang tuamu," Aiden mengingatkan.     

Anya memandang ke arah kedua anaknya cukup lama. "Aiden, meski Arka dan Aksa nakal sekali pun, aku tidak akan pernah kesal pada mereka. Aku tidak akan pernah membenci mereka. Mereka adalah sangat berharga bagiku."     

Aiden memeluk Anya dengan lembut.     

Mereka akan berusaha untuk membahagiakan Arka dan Aksa, dengan usaha yang berkali-kali lipat lebih besar, untuk menebus hidup anak mereka yang telah tiada.     

…     

Hari sudah siang saat mereka tiba di rumah Keluarga Pratama.     

Ini adalah pertama kalinya Anya mengunjungi rumah Keluarga Pratama, tetapi Galih dan Indah tidak sedang dalam suasana hati yang cukup baik untuk mengajak Anya berkeliling.     

"Ibu, aku sudah mendengar mengenai Keara. Aku turut berduka," Anya tidak bisa berpura-pura sedih sehingga ia hanya bisa menghibur ibunya dengan beberapa kata saja.     

Ia tidak benar-benar sedih, hanya berbasa-basi untuk menghibur ibunya.     

"Keara selalu memutuskan semuanya sendiri. Bahkan meninggalkan hidup ini adalah keputusannya sendiri, tanpa memikirkan aku dan ibunya. Apa lagi yang bisa aku lakukan?" Galih menghela napas panjang.     

"Ayah, beberapa hari lagi kan tahun baru. Dua tahun lalu, Aiden membeli sebuah rumah untuk ibu. Rumah itu didesain sesuai dengan seleraku, tetapi tidak ada yang menempatinya selama dua tahun terakhir. Apakah ayah dan ibu ingin pindah ke sana? Tempatnya lebih dekat dengan rumahku. Ayah dan ibu bisa datang ke rumahku untuk menjaga anak-anak," kata Anya.     

Indah langsung merasa tidak enak mendengarnya. Rumah yang ditawarkan oleh Anya itu adalah rumah untuk Diana. Bagaimana mungkin ia dan Galih menempatinya?     

"Bagaimana bisa kami menempati rumah yang diberikan untuk ibumu?" Indah langsung menolak.     

"Ibu tinggal di rumahnya sendiri, di taman. Bukankah ayah dan ibu juga pernah ke sana? Ia menyukai rumah yang seperti villa itu, di tengah taman-taman dan kebun miliknya, sehingga rumah yang Aiden beli itu kosong," Anya memegang tangan ibunya dengan lembut. "Rumah itu seolah sudah ditakdirkan untukmu. Ibu, apakah ibu tidak ingin pindah ke dekat rumahku?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.