Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Melahirkan



Melahirkan

0"Ngomong-ngomong, katanya Keara akan segera melahirkan. Apa yang akan Aiden lakukan?"     

"Aku tidak tahu apa yang akan Aiden lakukan. Tetapi aku tidak akan pernah membiarkan Aiden membawa anak itu ke rumah ini," kata Anya.     

"Kalau ia berani menyakiti putriku, aku akan memarahinya habis-habisan," dengus Diana.     

Anya tertawa melihat ibunya. "Ibu memang yang paling mencintaiku. Aku baik-baik saja, Bu."     

"Indah juga mencintaimu. Ia hanya punya satu anak. Jangan terlalu dingin padanya. Saat ini, ia masih sakit dan butuh dukunganmu untuk pulih. Hanya kamu yang bisa menjadi harapan hidupnya. Aku tidak akan iri, karena aku tahu bahwa hanya ada ibu di hatimu," ketika mengatakan hal ini, mata Diana memerah.     

Anya memeluk ibunya dengan sangat erat dan menangis dalam pelukannya. Tuhan sangat baik karena telah memberikan ibu yang terbaik untuknya.     

Di malam hari, ketika Indah bangun, Galih kembali menelepon Aiden.     

Sebenarnya, ia memiliki nomor Anya, tetapi khawatir akan mengganggu istirahat Anya sehingga memutuskan untuk menelepon melalui Aiden.     

Kalau Anya sedang beristirahat, Aiden bisa menolak telepon dari mereka.     

"Ibu Anya juga sedang berada di sini. Apakah kamu ingin berbicara dengannya?" tanya Aiden.     

"Baiklah," Galih mengangguk.     

Aiden membawa ponselnya ke kamarnya. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu karena ada Diana di dalam ruangan. "Ibu, Paman Galih ingin berbicara denganmu."     

Anya menatap Diana dengan gugup. Ia tidak tahu apa yang ingin Galih bicarakan pada Diana.     

Diana menepuk tangan Anya, berusaha menenangkannya. "Masuklah, Aiden."     

Aiden memasuki kamarnya dan memberikan ponselnya kepada Diana. Ia duduk di samping tempat tidur dan memegang tangan Anya dengan lembut. "Bibi Indah sudah bangun."     

"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Anya sambil memandang Anya.     

Aiden mengecup kening Anya dan berbisik. "Aku akan mendukung semua keputusanmu."     

Diana melihat wajah tua Galih dari layar. Selama dua tahun terakhir ini, ia terlihat menua dengan sangat cepat karena terlalu lelah.     

"Apakah Indah baik-baik saja?" tanya Diana.     

"Terima kasih atas perhatianmu. Operasinya berjalan dengan lancar dan sekarang ia sudah bangun," jawab Galih.     

"Baguslah. Anya adalah anak kita semua. Sebagai orang tua, kita harus menjaga kesehatan kita untuk menunjukkan rasa cinta kita pada Anya. Aku akan membuatnya menjadi jelas. Aku yang membesarkan Anya sendirian. Memang kalian yang mengandung Anya, tetapi kalian juga harus bertanggung jawab setelahnya," kata Diana dengan sengaja.     

"Diana … Terima kasih," mata Galih terlihat memerah dan suaranya tercekat saat mengucapkan terima kasih pada Diana.     

"Anya adalah anak kita bertiga dan anak-anak Anya adalah cucu kita bertiga. Mari kita membesarkan mereka bersama-sama," kata Diana sambil tersenyum.     

"Kamu sudah membesarkan Anya dengan sangat baik. Indah merasa sangat bersyukur padamu. Katanya, setelah kondisinya pulih, ia akan datang untuk berterima kasih padamu secara langsung," kata Galih.     

Diana mengangguk, "Kalian banyak-banyak beristirahat. Tidak usah berterima kasih padaku. Aku akan segera pulang. Kalian bicaralah dengan Anya."     

Setelah itu, Diana menyerahkan ponselnya pada Anya dan bangkit berdiri, "Aiden tolong antarkan ibu pulang."     

Aiden memandang ke arah Anya dengan khawatir, tetapi Anya hanya menganggukkan kepalanya.     

Setelah itu, Diana langsung menarik Aiden untuk keluar dari kamar.     

Ketika turun ke lantai bawah, Aiden baru memahami niat Diana. "Apakah ibu mengajakku keluar karena takut Anya malu dengan adanya kita di sana?"     

"Apakah kamu pikir Anya tidak mau mengakui kedua orang tuanya? Ia hanya malu dan merasa bersalah padaku. Ia merasa seperti mengkhianatiku. Kamu tidak perlu mengantar ibu, tunggu saja di rumah dan jaga Anya baik-baik. Tetapi beri waktu untuk mereka berbicara dulu. Jangan ganggu mereka," Diana menghela napas panjang dan pulang diantarkan oleh Abdi.     

Aiden memandang punggung Diana ketika ia pulang. Pada saat itulah, ia memahami betapa dalamnya cinta Diana pada putrinya.     

Mungkin memang Anya bukanlah anak yang lahir dari rahimnya. Mungkin tidak ada darahnya mengalir di tubuh Anya. Tetapi cintanya pada Anya tidak kalah dari cinta orang tua kandung Anya.     

Bisa dibilang, cinta Diana untuk Anya adalah cinta yang paling tulus …     

…     

Di malam hari, Nico dan Tara datang untuk makan malam bersama dengan mereka. Nadine juga sudah datang, sementara Harris terlambat karena harus lembur.     

Ketika datang, tidak disangka Harris membawa sebuah berita untuk mereka.     

Keara akan segera melahirkan anaknya!     

"Mengapa kalian memandangku? Makanlah!" Anya merasakan tatapan semua orang di meja ke arahnya.     

Ia berusaha untuk tetap tenang, seolah tidak ada yang terjadi.     

"Bibi, apakah kamu baik-baik saja?" Nadine yang paling dekat dengan Anya merasa sangat khawatir.     

"Apa yang bisa aku lakukan? Anak itu adalah anak Aiden. Cepat lihatlah. Bagaimana pun juga itu adalah anakmu," kata Anya dengan suara pelan.     

Aiden memandang Harris dengan dingin, membuat Harris duduk dengan tegak di tempatnya. "Tuan, apakah saya salah bicara?"     

"Tidak," jawab Aiden singkat.     

"Paman, apakah kamu akan pergi ke rumah sakit?" tanya Nico.     

"Pergilah. Anak itu tidak bersalah," Anya merasa sangat tidak rela, tetapi ia berpura-pura untuk murah hati.     

"Aku benar-benar ingin membuka kepalamu dan melihat isi otakmu. Memangnya siapa Keara? Apa urusannya kalau ia melahirkan anaknya?" kata Aiden dengan marah.     

"Ia bilang anaknya adalah anakmu," kata Anya dengan suara pelan.     

"Benar, Paman. Meski caranya untuk mendapatkan anak itu salah, tetap saja anak itu adalah anakmu," Nico mengangguk-anggukkan kepalanya.     

Tara merasa sangat kesal. "Seharusnya aku memberikan obat aborsi untuknya. Bagaimana bisa aku menunggunya hingga melahirkan."     

Nico memandang ke arah tunangannya dengan ketakutan. "Tara, kamu menyeramkan sekali!"     

"Kalau kamu punya anak di luar sana, aku menggugurkan anak itu dan kemudian menendangmu hingga kamu tidak akan pernah bisa punya anak lagi," wajah Tara memerah saat membayangkan Nico melakukan hal yang sama padanya.     

Kalau ia menjadi Anya, ia tidak akan pernah bisa memaafkan Aiden.     

Nico begitu ketakutan hingga hampir terjatuh dari kursinya.     

Sementara itu, Aiden tahu bahwa sebenarnya kata-kata Tara itu ditujukan padanya.     

Anya sangat mempercayainya sehingga ia bisa mengabaikan fakta bahwa Keara sedang mengandung anaknya. Tetapi hubungan Tara dan Anya sangat dekat. Tara sebagai sahabatnya merasa tidak terima terhadap apa yang Anya alami. Ia merasa Anya pantas mendapatkan yang lebih baik dari ini.     

"Anak itu bukan anakku. Ayo kita makan. Setelah itu, Nico dan Harris bisa ikut denganku," kata Aiden dengan suara dalam.     

Tara memandang ke arah Anya dengan hati-hati, "Anya, aku akan ikut dengan mereka dan melihatnya untukmu."     

"Aku juga mau ikut!" kata Nadine.     

Anya tertawa mendengar semua orang ingin ikut bersama dengan Aiden. "Pergilah kalian semua. Tetapi ingat, anak itu tidak bersalah."     

"Aku tidak tahu apakah kamu terlalu baik atau terlalu bodoh," Tara memelototi sahabatnya dengan kesal. Bagaimana mungkin hingga saat ini Anya masih bisa tertawa?     

Setelah makan malam, mereka semua pergi meninggalkan Anya sendirian di rumah.     

Pendingin di ruangan itu tidak dinyalakan karena Aiden tidak mau Anya kedinginan, tetapi entah mengapa Anya tetap merasa kedinginan saat ia duduk di sofa ruang keluarga.     

Ia merasa kedinginan karena ia gugup.     

Ia merasa kedinginan karena ia sangat takut.     

Hana melihat Anya mengambil selimut untuk melingkupi tubuhnya. Ia langsung mengambilkan susu hangat untuk Anya. "Anya, apakah kamu kedinginan?"     

"Bu Hana, apakah menurutmu Aiden akan membawa anak itu ke sini?" tanya Anya dengan suara gemetaran.     

"Anya, kamu harus percaya pada Aiden. Kalau ia bilang anak itu bukan anaknya, berarti anak itu bukan anaknya," Hana memegang tangan Anya dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya sekaligus menghangatkannya.     

Pada saat yang bersamaan, Tara mengirimkan undangan video call untuk Anya.     

"Tara, ada apa?" tanya Anya.     

"Aku baru saja melihat anak perempuan Keara. Anaknya sangat jelek. Apakah kamu mau melihatnya?" kata Tara dengan jijik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.