Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Obat Penawar



Obat Penawar

0"Aiden, apakah ada cara untuk mendapatkan tanah itu tanpa pernikahan?" tanya Anya.     

"Kita bisa membeli tanah itu dengan harga yang sangat mahal, atau menjual mall Atmajaya Group pada Rudi," jawab Aiden.     

"Kalau begitu, jual saja mall Atmajaya Group padanya. apa yang kita takutkan? Bukankah mall Atmajaya Group tidak akan laku kalau Rudi memiliki tanah itu?" kata Nico.     

Anya berpikir sejenak. Kalau Aiden bilang bahwa salah satu caranya adalah dengan menjual mall Atmajaya Group pada Rudi, itu artinya sudah lama Rudi mengincar merk-merk di mall Atmajaya Group.     

"Sudah lama ia mengincar mall Atmajaya Group ya?" kata Anya.     

"Kamu pintar," Aiden tertawa. "Lebih baik kamu yang membantuku di kantor. Aku tidak membutuhkan si bodoh ini."     

"Aku tidak bodoh. Istriku sedang hamil dan aku banyak pikiran," kata Nico dengan serius.     

"Tetapi kamu sudah bodoh sejak lama, bahkan sebelum Tara hamil," goda Anya.     

Nico memelototinya. "Paman, apa yang Rudi inginkan pada mall Atmajaya Group?"     

"Lebih baik kamu fokus film mu saja. jangan khawatir. Ivan dan aku akan mengurus semuanya," Aiden bersandar di sofa dengan malas. Ia memandang bintang-bintang yang menghiasi langit malam dan pikirannya melayang.     

Anya memikirkan sesuatu dan kemudian menepuk tangan Aiden. "Aiden, aku ingin bertanya padamu. bukan masalah bisnis."     

"Kamu bisa menanyakan apa pun, tidak peduli meski tentang bisnis sekali pun," kata Aiden sambil tersenyum.     

"Astaga! Mataku!" Nico mendengus.     

"Aiden adalah suamiku. Suka-suka aku ingin bertanya apa padanya. Ia hanya menyayangiku," kata Anya dengan bangga.     

"Ia adalah pamanku. Kami berhubungan darah!" kata Nico dengan tidak terima.     

"Aku adalah ibu dari anak-anaknya dan aku yang tinggal bersama dengannya setiap hari. Apakah kamu bisa melahirkan anak untuknya? Atau kamu bisa tinggal dengannya? Kamu hanya bisa menyulitkannya dan meminta bantuannya untuk menyelesaikan masalah," kata Anya.     

Tara menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir saat melihat kedua orang ini memperebutkan Aiden. "Dasar kalian berdua ini."     

Anya tertawa. "Jangan coba-coba bersaing denganku, Nico. Pamanmu adalah milikku."     

"Apa yang ingin kamu tanyakan?" Aiden merasa senang setelah mendengar apa yang Anya katakan.     

"Walaupun masalah karangan bunga sudah selesai, aku masih penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Anya.     

Aiden memandang ke arah Nico. "Aku memberimu kesempatan untuk terlihat pintar."     

Nico menepuk pahanya sendiri dan duduk dengan tegak. Setelah itu ia memandang Anya dengan sangat serius. "Bibi, apakah sesulit itu untuk menebaknya?"     

"Aku tahu Keara memesan dua karangan bunga dengan bom untukku dan Aiden juga memesan karangan bunga untukku. Tetapi pada akhirnya yang ada di depan sekolahku hanya dua. Saat karangan bunga pertama tiba dan aku menanyakannya pada Aiden, Aiden bilang tidak tahu …"     

"Itu artinya, kamu menerima karangan bunga dengan bom terlebih dahulu. Dan kemudian, paman memesan karangan bunga yang lain setelahnya. Lalu ia memindahkan karangan bunga yang sudah berada di depan sekolah itu pada Keara. Sesederhana itu," kata Nico.     

Anya memandangnya dengan ragu. Rasanya tidak semudah itu. Karangan bunga yang Keara pesan sangat besar dan mencolok. Bagaimana mungkin tidak ada orang yang sadar saat memindahkannya?     

"Bagaimana bisa kamu memindahkannya tanpa Keara tahu?" tanya Anya.     

"Kita masih harus mengirimkan bahan-bahan dan dekorasi untuk sekolahmu. Saat mengirimkannya, aku sekalian membawa karangan bunga yang aman dan mengambil karangan bunga dengan bom ke truk. Setelah itu, aku sedikit mengubahnya dan mencari waktu yang tepat untuk mengirimkannya pada Keara," kata Aiden dengan tenang.     

Nico tertawa. "Asalkan karangan bunga itu dari paman, ia akan menerimanya dengan senang."     

"Semua ini adalah salah Keara. Kalau saja ia tidak memesan bom itu, ia tidak akan terluka. Atau kalau saja ia ragu saat memencet detonator itu dan teringat bahwa kamu adalah adiknya, ia tidak akan terluka seperti ini," Tara juga membenci Keara selama ini dan ia merasa bahwa Keara pantas mendapatkan semuanya.     

Anya memandang ke arah Aiden sambil tersenyum. "Bukankah kamu bilang padaku bahwa ibu yang mengirimkan karangan bunganya? Sebenarnya, pada saat itu, kamu sudah tahu ada yang aneh dengan karangan bunga itu, kan?"     

"Aku yang meminta seseorang untuk menyelidiki karangan bunga itu dan menemukan bomnya. Setelah itu, paman yang mengurusnya. Aku rasa paman sangat hebat bisa menukarnya," kata Nico.     

"Apakah menurutmu aku terlalu kejam?" Aiden menggenggam tangan Anya.     

"Sebenarnya, kamu bisa langsung menelepon polisi untuk menangkap Keara. Aku tidak peduli para Keara karena ia pantas untuk mendapatkan pelajaran yang menyakitkan ini. Tetapi ada orang lain juga yang ikut terluka. Aku tahu kamu merencanakan semuanya dengan sempurna, tetapi bagaimana kalau gagal?"     

Anya tidak mau menyalahkan Aiden, tetapi ia merasa bahwa semuanya bisa diselesaikan tanpa menyakiti siapa pun.     

"Anya ingin membunuh kamu dan keluargamu, itu sebabnya aku membalasnya dua kali lipat lebih kejam. Lain kali, aku tidak akan bertindak seekstrem itu," Aiden mengecup dahi Anya dan berkata dengan lembut.     

Ia tahu bahwa Anya terlalu lembut. Ia begitu baik sehingga memedulikan semua orang, termasuk para wartawan dan orang-orang yang lewat pada hari itu.     

"Semuanya sudah berakhir. Lebih baik jangan bicarakan masalah yang sudah lewat. Aku akan tinggal di sini bersama dengan anak-anak hingga akhir bulan. Bagaimana denganmu?" tanya Anya pada Tara.     

"Aku juga akan tinggal bersama denganmu di sini. Nico, bagaimana denganmu?" Tara sedang hamil sekarang dan ia terlalu malas untuk pindah lagi. Akhirnya ia bisa keluar dari rumah. Ditambah lagi, suasana di tempat ini sangat menyenangkan sehingga ia tidak mau pulang.     

"Besok aku akan mulai syuting. Apakah kamu tidak mau ikut denganku?" kata Nico dengan sengaja.     

"Tidak," Tara menggelengkan kepalanya.     

"Kamu tidak takut ada wanita lain yang menggodaku? Aku dengar banyak aktris-aktris cantik di sana," Nico terus berusaha untuk memancin Tara.     

"Nico, sejak kecil kamu sudah mencari pacar. Bukankah kamu sudah melihat banyak sekali wanita cantik? Aku rasa kamu sudah bosan dengan wajah-wajah cantik itu," kata Tara dengan acuh tak acuh.     

Nico memegang tangan istrinya. "Tara, apakah kamu tidak mau ikut denganku? Aku akan sangat bosan tanpamu."     

Tara langsung menarik tangannya dengan kejam. "Bagaimana mungkin kamu mengajak istrimu saat syuting? Apakah kamu tidak takut aku kelelahan di sana?"     

Nico terdiam dan memandang perut Tara yang besar. Sepertinya ia harus menerima kenyataan untuk pergi sendirian.     

"Jaga kesehatanmu. Aku akan segera menyelesaikan syutingnya dan kembali sebelum anak kita lahir."     

"Sudah berapa lama kamu meminum obat yang aku berikan padamu?" tanya Tara.     

"Tiga bulan. Alergiku sudah sembuh," Nico memandang Tara dengan kagum. "Kamu memang paling hebat!"     

Tara mengangguk, "Setelah selesai syuting, jangan lupa untuk kembali dan meminta obat penawarnya padaku. Kalau kamu menggoda perempuan-perempuan di lokasi syuting, aku tidak akan memberikan obat penawarnya. Kakekku tidak memiliki penawar dari obat yang aku buat."     

"Obat penawar apa?" tanya Nico dengan tatapan melongo.     

Anya langsung tertawa terbahak-bahak. "Apakah sesulit itu untuk menebaknya, Nico? Itu artinya, Tara memberikan sesuatu pada obatmu. Kalau kamu tidak meminum obat penawar, kamu akan merasakan efek sampingnya. Dan kamu sudah minum obatnya selama tiga bulan. Itu artinya kamu sudah teracuni sangat dalam dan menunggu hingga obat itu menyerang. Jangan sampai kamu membuat Tara sedih!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.