Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Tatapan Penuh Kebencian



Tatapan Penuh Kebencian

0"Galih hanya tidak percaya padaku. Apakah ia pikir aku akan menyakiti keponakannya? Ia bahkan menganggap keponakannya jauh lebih berharga dibandingkan istri dan anaknya. Tadi, karena menerima telepon dari Agnes, ia langsung meninggalkan kita," kata Indah dengan suara pelan.     

"Mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Agnes. Ia baru saja pulang ke Indonesia, jadi ia butuh banyak bantuan. Bukankah ibu punya aku? Jangan marah, Bu. Kalau marah-marah terus, nanti kamu akan bertambah tua," Anya menggoda Indah sambil memeluk lengannya dengan manja.     

"Memang anak perempuan jauh lebih baik dibandingkan suami," kata Indah sambil tersenyum.     

Anya bersandar di pundak Indah dan berkata, "Ibu, aku tahu kamu tidak percaya pada Agnes sehingga kamu memutuskan untuk tinggal. Demi keamananmu, aku meminta Aiden untuk mengatur pengawal untukmu."     

"Baiklah. Aku memang butuh seseorang di sampingku," Indah menghela napas panjang. "Aku tidak bisa tenang berada di sekitar Agnes"     

Pada saat itu, ponsel Anya tiba-tiba berbunyi. Aiden yang mengirim pesan padanya.     

Setelah membaca isinya, wajah Anya langsung berubah. Ia langsung memberikan ponsel itu apda ibunya.     

Indah menerima ponsel itu. Setelah membacanya, ia berkata, "Jangan khawatir. Aku sudah punya rencana."     

"Ibu, bagaimana kalau ibu tinggal dengan kami?" tanya Anya dengan cemas.     

"Kalau aku pergi, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan," Indah mengembalikan ponselnya pada Anya dan mengelus tangannya dengan lembut. "Kalau sikap ayahmu benar-benar aneh, aku akan meninggalkannya," kata Indah sambil mengedipkan matanya.     

"Apakah benar?" Anya tertawa melihat ibunya yang bercanda.     

"Tentu saja," jawab Indah. Kemudian, mereka berdua tertawa bersama-sama.     

Saat Agnes datang ke rumah sakit dengan membawa buket bunga, ia melihat Indah dan Anya sedang mengobrol sambil tertawa dari kejauhan. Matanya terlihat muram saat memandang pemandangan itu.     

Tangannya yang memegang bunga tanpa sadar mengencang. Melihat tangan Indah memegang Anya dengan hangat dan penuh cinta, berbagai perasaan bercampur aduk di matanya.     

Tetapi ia langsung menutupinya dan berjalan menuju ke arah Indah dan Anya.     

"Bibi, apakah hasilnya sudah keluar?" Agnes memberikan buket itu sambil tersenyum.     

Anya bangkit berdiri dan tersenyum. "Agnes, kamu datang? Aku dan ibu masih menunggu hasilnya. Seharusnya sebentar lagi hasilnya akan keluar."     

Saat mereka sedang berbicara, seorang dokter magang keluar dari ruangan sambil membawa hasil pemeriksaan Indah. Ia berkata dengan wajah yang serius, "Bu, Anda harus menjalani pemeriksaan lanjutan. Saya khawatir Anda sedang mengidap tuberculosis."     

"Tuberculosis? Ibuku hanya batuk-batuk biasa. Mana mungkin tuberculosis? Apakah hasilnya tidak salah?" tanya Anya.     

Mendengar hasil itu, Indah menjadi cemas. "Bagaimana kalau kita menjalani pemeriksaan lanjutannya dulu? Kalau memang benar tuberculosis, aku ingin segera diobati."     

"Baiklah. Ikutlah dengan saya untuk pemeriksaan lanjutannya. Terkadang, pneumonia juga bisa salah didiagnosa sebagai tuberculosis," kata dokter magang tersebut. Ia sendiri yang mengantar Indah untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan berkonsultasi dengan dokter yang lebih senior, untuk lebih memahami situasi Indah saat ini.     

Anya terlihat panik. Ia menggigit kuku jempolnya saat berusaha untuk menenangkan perasaannya.     

"Anya, ada apa denganmu?" Agnes menepuk pundaknya. "Jangan khawatir. Walaupun pengobatan tuberculosis cukup sulit, bibi masih sangat muda. Ia akan baik-baik saja."     

"Ibuku menjalani transplantasi liver satu tahun yang lalu. Kesehatannya tidak cukup bagus dan ia rutin minum obat. Kalau ia menderita tuberculosis dan harus mengkonsumsi obat lagi, aku khawatir livernya akan terluka sekali lagi. Semoga ini hanya pneumonia," Anya menutup matanya dan berdoa.     

Beberapa saat kemudian, Indah kembali keluar dari ruang pemeriksaan. Wajah dokter yang menemaninya terlihat jauh lebih tenang.     

"Jangan khawatir. Bu Indah hanya mengalami pneumonia, bukan tuberculosis. Sebaiknya, hari ini menginap di rumah sakit," kata dokter tersebut.     

Wajah Anya langsung terlihat lega. "Terima kasih, dokter!"     

Agnes melangkah maju dan menggandeng tangan Indah sambil tersenyum. Sementara itu, Anya membawakan barang-barang Indah dan mereka sama-sama meninggalkan area pemeriksaan menuju ke kamar rawat inap.     

Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba saja asisten Indah datang. "Bagaimana hasil pemeriksaannya, Nyonya?" tanya asisten itu dengan khawatir.     

"Pneumonia. Aku harus menginap di rumah sakit," kata Indah.     

Setelah masuk ke kamar rawat inap, Agnes meminta vas dari seorang suster agar ia bisa memindahkan bunga yang ia bawa ke vas tersebut.     

Anya duduk di pinggir tempat tidur dan mengupas buah pir untuk ibunya. "Ibu, makan ini. Jangan sampai perutmu kosong. Buah pir juga dingin, bisa membuat batukmu sedikit berkurang."     

"Kamu memang anak ibu yang tersayang. Ibu tidak sadar dan berpikir ini hanya batuk biasa. Kalau kamu tidak memaksa ibu untuk memeriksakannya, ibu tidak akan tahu kalau ibu mengidap pneumonia," kata Indah sambil tersenyum.     

"Lain kali ibu jangan terlalu meremehkan. Kalau ada tidak nyaman sedikit saja, langsung temui dokter," kata Anya.     

"Rasanya seperti kamu ibunya dan aku anaknya," Indah tertawa dan menoleh untuk menatap Agnes. Ia melihat kebencian terpancar jelas di mata Agnes.     

Senyum di wajah Indah langsung membeku. Walaupun Agnes langsung menutupi kebenciannya dengan senyuman, Indah sudah terlanjur melihatnya.     

"Anya, beruntung sekali bibi punya anak yang sangat manis sepertimu," kata Agnes sambil tersenyum.     

Indah tidak mengatakan apa pun. Saat ia mendengar Anya dan Agnes berbicara, pikirannya terus kembali ke mata Agnes tadi.     

Ia tidak tahu apa yang membuat Agnes membencinya seperti itu. Apakah ia melakukan sesuatu yang menyinggung hati Agnes?     

Selama bertahun-tahun, Galih selalu mengurus keponakannya itu seperti orang tuanya sendiri.     

Bahkan Agnes sebenarnya bukan keponakan Galih, tetapi anak dari sepupu Galih. Itu artinya, hubungan keluarga mereka tidak sedekat itu.     

Indah terus memikirkan apa kesalahan yang pernah ia lakukan sehingga membuat Agnes memandangnya dengan penuh kebencian itu.     

Saat Anya dan Agnes berbincang-bincang, Indah berpura-pura lelah dan memejamkan matanya. Padahal, sebenarnya otaknya sedang berputar, masih mencari alasan yang masuk akal mengapa Agnes menatapnya seperti itu.     

Setelah Agnes kembali ke Indonesia, Galih selalu mengurusnya, membantunya untuk membangun sekolah tarinya dan bahkan memperbolehkannya untuk tinggal di rumah mereka.     

Saat Galih memutuskan semua itu, Indah sama sekali tidak menentang. Ditambah lagi, Indah juga sangat sopan terhadap Agnes.     

Apakah Agnes bukan membencinya, tetapi membenci Anya?     

Indah membuka matanya dan melihat Anya dan Agnes sedang duduk di sofa dekat jendela sambil minum teh.     

Apakah mungkin Agnes membenci Anya karena ia menyukai Aiden, sementara Aiden hanya mencintai Anya?     

Namun, kalau benar itu yang terjadi, itu artinya ada yang salah dengan otak Agnes. Agnes tidak normal karena ia menginginkan suami wanita lain dan membenci istrinya.     

Indah merasa tidak senang saat memikirkannya.     

Galih sudah sangat baik kepada Agnes, tetapi Agnes malah membenci putri mereka.     

Apa maksudnya ini?     

Saat Galih datang nanti, ia akan memarahinya habis-habisan. Apakah keponakan jauh lebih penting dibandingkan putri mereka sendiri?     

Galih membantu serigala berbulu domba untuk mengasah cakar dan taringnya untuk memangsa putrinya sendiri. Sebagai seorang ibu, Indah akan selalu berada di tempat terdepan untuk melindungi Anya.     

Agnes duduk di ruangan itu sejenak. Saat melihat Indah tertidur, ia bangkit berdiri dan pergi.     

Setelah Anya mengantarnya keluar dari kamar, ia kembali ke pinggir tempat tidur ibunya dan menepuk tangan Indah dengan lembut. "Tidak usah berpura-pura lagi. Agnes sudah pergi."     

"Dasar kamu …" Indah tertawa saat kebohongannya bisa terlihat dengan mudah oleh Anya.     

"Mengapa ibu tiba-tiba bersikap dingin seperti itu? Itu tidak seperti ibu yang biasanya," Anya mengambil sebuah bantal dan meletakkannya di belakang Indah agar Indah bisa duduk lebih tegak. Ia melihat botol infus yang bergantung di atas, isinya sudah hampir habis.     

Indah menceritakan pada Anya mengenai bagaimana Agnes memandang mereka tadi. Ia berkata dengan marah. "Saat ayahmu datang nanti, aku akan memarahinya habis-habisan."     

"Apa salahku? Mengapa kamu mau memarahiku habis-habisan?" Galih masuk ke dalam ruangan sambil membawa makanan yang ia pesan, ketika Indah mengatakan ingin memarahinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.