Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Kembali



Kembali

0"Tara, aku kembali. Selamat atas pernikahanmu!" Anya melepas maskernya dan menunjukkan wajah cantiknya.     

Tara melongo sejenak saat melihat wajah yang tidak ia sangka akan lihat hari ini. Wajah sahabatnya yang sudah lama ia tidak temui.     

"Anya!" Tara langsung berlari ke arah Anya dengan penuh semangat dan memeluknya dengan erat. "Dasar kamu, sahabat macam apa yang tidak datang ke pesta pernikahan sahabatnya sendiri?"     

Tara langsung mengomel panjang lebar, merasa kesal karena ia pikir sahabatnya itu tidak akan datang di pesta pernikahannya.     

"Sekarang aku sudah datang, kan? Sebenarnya aku sudah datang dari tadi. Tadi aku melihat semua acaranya dari lantai dua," Anya tersenyum manis. "Pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup. Bagaimana mungkin aku tidak datang dan melihat pernikahanmu dan Nadine?"     

"Mengapa kamu datang diam-diam? Mengapa kamu tidak mengabariku saat kamu pulang?" Tara melotot dengan kesal ke arahnya.     

"Aku tidak mau bertemu dengan orang banyak. Lebih baik aku menyaksikan pestanya sendirian," kata Anya.     

Tiba-tiba saja, pintu ruangan itu terbuka dan Nadine masuk ke dalamnya. Awalnya, ia sama sekali tidak sadar bahwa ada orang di dalam. Ketika melihat Anya, ia langsung terkejut dan berteriak dengan keras. "Bibi!?"     

"Shhhh!" Tara dan Anya langsung meletakkan jari telunjuk di bibirnya dan meminta Nadine untuk tidak berisik.     

Nadine masuk ke dalam ruangan itu dan mengunci pintunya. Hanya mereka bertiga saja yang berada di ruangan itu.     

"Bibi, sejak kapan kamu datang? Apakah kamu datang diam-diam? Kamu tidak memberitahu pamanku?" tanya Nadine secara bertubi-tubi.     

Anya tertawa mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. "Hari ini adalah hari pernikahan kalian. Mana mungkin aku tidak datang. Aku harus menyaksikan pernikahan kalian dengan mata kepalaku sendiri," Anya menggandeng tangan Nadine dan mengajaknya untuk duduk di sofa. Ia tahu Nadine juga berniat untuk bersembunyi dan beristirahat sejenak di sana, sama seperti Tara.     

"Aku senang bibi sudah kembali. Arka dan Aksa semakin aktif sekarang. Mereka sering bertengkar, membuat aku tidak bisa meninggalkan mereka sendirian. Aku rasa, beberapa bulan lagi, mereka bisa duduk sendiri," kata Nadine, menceritakan mengenai kedua putra Anya.     

"Aku merekam pertengkaran mereka dan mengirimkannya di grup. Apakah kamu sudah melihatnya?" tanya Tara.     

"Aku sudah melihat semua foto dan video yang kamu kirimkan di grup," Anya tersenyum. "Aku tahu kamu sengaja mengirimkannya untukku. Terima kasih!"     

"Bibi, sekarang kamu sudah kembali. Apakah kamu akan pergi lagi?" Nadine menggenggam tangan Anya, terlihat enggan untuk melepaskannya.     

Anya mengelus kepala Nadine dengan lembut, berhati-hati untuk tidak merusak rambut Nadine yang sudah ditata rapi. "Apakah kamu merindukanku?"     

"Aku sangat merindukanmu. Pekerjaan menjadi tidak asik tanpa ada kamu. Tetapi jangan khawatir, aku bisa mengurus Iris dengan sangat baik!" kata Nadine dengan bangga.     

"Aku percaya padamu. Beberapa bulan ini, aku bekerja di perkebunan rempah-rempah ayahku. Setelah panen, aku akan pulang. Selain itu, sekolah parfumku juga akan selesai dibangun. Aku harus kembali untuk menata kelas dan mengatur penerimaan murid," kata Anya.     

"Mengapa kamu sangat sibuk? Bagaimana dengan Aiden dan anak-anakmu?" tanya Tara.     

"Ayah membuat area anak-anak di sekolahku. Nanti, aku bisa mengajak Arka dan Aksa ikut ke sekolah dan membiarkan mereka bermain di area anak-anak. Kalau ada murid yang merupakan orang tua, mereka juga bisa menitipkan anak mereka," kata Anya.     

"Hebat sekali! Bahkan anakmu bisa ikut bekerja denganmu!" Tara terlihat kagum dengan pemikiran Anya.     

"Nadine pandai berkomunikasi dan mengurus berbagai hal. Setelah sekolahku jadi, aku ingin kamu menjadi wakil kepala sekolahnya. Setiap ada murid yang lulus, Iris bisa membuka cabang baru dan membuka lowongan pekerjaan bagi mereka. Semua staf di Iris juga bisa mengikuti program pelatihan. Kita bisa memilih manajer dari para karyawan lama atau murid-murid yang berbakat, tanpa mencari orang dari luar lagi," kata Anya.     

Ketika mengatakannya, Anya tampak penuh dengan semangat dan percaya diri. Ia sama sekali tidak terlihat seperti pasien yang mengalami depresi.     

Ditambah lagi, idenya sangat cemerlang. Para murid yang bisa lulus dari sekolah parfum Anya akan memiliki kesempatan untuk bekerja di Iris.     

"Apakah kamu mendapatkan cara ini dari sekolahmu di luar negeri?" tanya Tara.     

Anya mengangguk, "Berapa banyak cabang yang bisa aku buka bergantung pada berapa banyak murid yang bisa lulus. Tidak semua murid mau bertahan hingga akhir dan lulus dengan cepat," kata Anya dengan senyum tipis.     

"Bagaimana dengan pelatihan untuk staf? Beberapa dari mereka sudah tahu bagaimana cara menggunakan bahan dasar parfum dan bisa membantu para tamu di area pembuatan parfum khusus. Tetapi kita kekurangan parfumeur," kata Nadine.     

"Tidak semua toko butuh parfumeur kan?" tanya Tara.     

"Tidak. Yang aku butuhkan adalah satu tim parfumeur. Saat ini, hanya ada dua orang parfumeur di Iris, yaitu aku dan Bu Esther. Bu Esther tidak bisa membuat parfum sendiri dan harus mendiskusikannya denganku. Jadi, aku ingin membuat satu tim yang bisa membantuku. Itu sebabnya, aku memulai dari sekolah parfum terlebih dahulu dan memilih talenta-talenta terhebat dari para murid tersebut. Ini tidak mudah, tetapi layak untuk dicoba."     

Anya sudah memikirkan masa depan. Kalau ia ingin Iris semakin berkemban pesat, ia harus memiliki tim parfumeurnya sendiri.     

"Tidak peduli apa pun yang kamu lakukan, aku akan selalu mendukungmu. Katakan padaku kalau kamu butuh bantuan," kata Tara.     

"Tentu saja aku butuh bantuanmu. Aku juga harus memastikan bahwa parfum buatanku tidak menyebabkan alergi pada orang dan aku tidak bisa melakukannya tanpa dokter," kata Anya sambil tersenyum.     

"Jadi, aku juga bisa ikut dalam tim mu? Apakah aku juga seorang parfumeur?" Tara terlihat senang.     

"Kak Tara, kalau bergabung dengan bibi, kamu tetap sebagai dokter, bukan parfumeur," kata Nadine.     

"Tidak apa-apa. Selama aku bisa bergabung dengan tim Anya, aku akan menjadi terkenal nanti. Walaupun karirnya baru dimulai, aku yakin Anya akan sukses," Tara sangat yakin pada sahabatnya itu.     

Nadine mendengar nama Anya terus keluar dari mulut Tara dan mengingatkan, "Kak, sekarang kakak sudah menikah dengan kakakku. Artinya kakak harus memanggil bibi, bukan Anya lagi."     

"Biar bibi beri hadiah untuk kalian," Anya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop tebal.     

Tara memandang amplop tebal itu dengan tamak. Anya tertawa kecil melihat sahabatnya itu. "Panggil aku bibi dulu!"     

Tara membuka mulutnya, tetapi memanggil sahabatnya dengan sebutan bibi rasanya terlalu aneh. Mulutnya terbuka, tertutup dan terbuka kembali. Tetapi tidak ada suara yang keluar.     

"Mengapa aku tidak mendengar apa pun?" Nadine ikut tertawa dan menggoda Tara.     

"Aku juga tidak mendengarnya. Tara, apakah kamu tidak mau hadiah dariku?" kata Anya sambil memberikan amplop yang dipegangnya pada Nadine.     

"Terima kasih bibi!" Nadine menerimanya dengan senang hati.     

Setelah menerimanya, Nadine sengaja mengedipkan matanya ke arah Tara, seakan sedang pamer karena sudah mendapatkan hadiahnya.     

Tara melihat amplop itu dibawa oleh Nadine dan kemudian memandang ke arah tas Anya. Apakah ada hadiah untuknya?     

"Apa yang kamu lihat? Coba minta hadiah pada bibimu ini," kata Anya dengan sengaja.     

"Bibi …" Tara terlihat enggan, tetapi terpaksa mengatakannya demi hadiah yang Anya sembunyikan darinya.     

"Aku tidak bisa mendengarmu," goda Anya sekali lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.