Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Bertemu Pertama Kali



Bertemu Pertama Kali

0"Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengan Jenny. Kita semua sangat merindukannya. Walaupun ia nakal, sama seperti kakaknya, dua tahun tanpa Jenny di dekat kita membuat keluarga ini terasa lebih dingin. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya selama beberapa tahun ini. Aku ingin tahu apakah perasaannya pada Kak Jonathan sudah berubah …"     

"Ia belajar dengan sangat keras karena ingin lulus lebih awal agar bisa pulang lebih cepat. Apakah kamu pikir perasaannya pada Jonathan sudah berubah?" Aiden tidak menjawab pertanyaannya.     

"Jenny sangat hebat. Selain cantik, ia juga setia," kata Anya.     

Aiden memeluknya dan berbisik di telinganya. "Tetapi di mataku kamu yang paling cantik."     

"Aiden, di mataku, kamu juga yang paling tampan," kata Anya dengan sengaja.     

Aiden menundukkan kepalanya dan mencium bibir Anya.     

Tidak tahu sejak kapan, Anya sudah terperangkap dalam ciuman Aiden yang tiba-tiba itu. Tubuhnya membeku di pelukan Aiden dan sudah tidak bisa bergerak lagi. Apa yang ingin Anya tanyakan sudah kembali ke tenggorokannya.     

Anya memandang ke arah Aiden yang sudah tenggelam dalam gairah. Ia tahu bahwa malam ini, ia tidak akan bisa melarikan diri lagi.     

…     

Malam berganti menjadi terang. Kota di siang hari memancarkan keseriusan dan ketidakberdayaan, sama seperti suasana hati Jonathan saat ini.     

Jenny akan segera kembali ke Indonesia.     

Selama dua tahun terakhir, hanya Jonathan saja yang tahu berapa banyak malam ia habiskan untuk memimpikan sosok yang tidak bisa ia usir dari benaknya.     

Awalnya, Jenny sering sekali menelepon atau video call dengannya. Tetapi Jonathan juga berulang kali menolaknya karena ia sedang sibuk.     

Sampai akhirnya, frekuensi datangnya telepon itu menjadi semakin dan semakin berkurang.     

'Mungkin ia sudah terbiasa dengan kehidupannya di luar negeri? Lingkungan baru, kehidupan baru, awal mula yang baru … Jenny, akhirnya kamu mengerti bahwa aku hanyalah satu dari banyak orang yang hinggap di kehidupanmu. Aku hanyalah satu dari sekian banyak pengalaman yang kamu lewati dalam hidupmu.'     

Jonathan tersenyum dengan pahit, mengangkat gelas anggur di tangannya dan menegaknya hingga habis.     

…     

Di tempat Jenny berada sekarang, hari masih siang. Raisa sedang membantunya untuk mengemasi semua barangnya ke dalam koper.     

Ia sudah memesan tiket pulang, kembali ke Indonesia.     

Raisa juga sudah menyiapkan berbagai oleh-oleh, sebagian besar merupakan vitamin yang hanya bisa dibeli dari luar negeri, agar Jenny bisa memberikannya pada Bima dan Anya.     

"Ah, bibi … Mengapa kamu harus memberikan begitu banyak oleh-oleh untuk kakek. Barang bawaanku jadi sangat banyak," Jenny melihat koper yang bertebaran di hadapannya dan merasa sedikit pusing.     

Raisa tersenyum. "Sudah lama aku tidak pulang ke Indonesia. Sebenarnya, aku juga ingin ikut denganmu, tetapi perusahaan sedang sibuk sekarang. Pamanmu tidak bisa pulang dan aku tidak bisa meninggalkannya sendirian. Aku hanya bisa menitipkan oleh-oleh Ini padamu."     

"Bibi, beberapa bulan lalu kamu baru saja kembali. Aku yang sudah lama tidak pulang. Kalau paman tidak sibuk lagi, kamu juga bisa pulang," keluh Jenny. Meski demikian, ia tetap membawakan semua barang yang dititipkan oleh bibinya.     

Ia akan segera kembali ke Indonesia!     

Di bandara, Jenny melihat Maria dan Anya datang untuk menjemputnya.     

Sambil mendorong dua koper super besar, ia tersenyum dengan lebar seperti sebuah bunga yang baru saja mekar. Tangannya terangkat dan melambai ke arah Anya dan Maria dengan penuh semangat.     

"Jenny!" Anya juga melihat kedatangan Jenny. Setelah melambaikan tangannya sekilas, ia langsung menghampirinya dan membantunya untuk membawa salah satu koper.     

"Ibu, bibi! Aku sangat merindukan kalian. Akhirnya aku bisa kembali ke Indonesia!" Jenny tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia berlarik ke arah Anya dan memeluknya dengan erat.     

Bibir Maria melengkung membentuk senyuman yang indah. Walaupun ia sangat senang dan matanya memancarkan kasih sayang seorang ibu, ia terbiasa untuk mengendalikan dirinya dan tingkah lakunya sehingga dalam keadaan apa pun, ia tetap tampil menawan dan bersahaja.     

"Sudah sebesar ini, tetapi kamu masih bertingkah seperti anak kecil," Maria tersenyum dan mengelus kepala Jenny, merapikan rambut-rambut yang berantakan karena bersandar di kursi pesawat.     

Jenny memeluk lengan ibunya dengan penuh sayang. "Aku ingin masakan buatan ibu. Aku sangat rindu masakan Indonesia saat di sana," kata Jenny. Rasanya air liurnya sudah siap untuk tumpah saat memikirkan makanan.     

Maria tersenyum sekaligus mengerutkan keningnya. Ia merasa senang saat melihat putri yang ia rindukan ini, tetapi juga merasa tidak senang dengan tingkah laku Jenny yang sembarangan. "Jangan bersikap sembarangan. Kamu perempuan. Bagaimana kalau tidak ada yang mau menikah denganmu?"     

"Kalau tidak ada yang mau menikah denganku, aku akan tinggal bersama dengan ibu dan kakek selamanya," Jenny tertawa.     

"Jangan ngawur. Ibu ingin menggendong cucu dari kamu," kata Maria, berpura-pura marah.     

"Ibu! Aku masih sangat muda. Belum saatnya membicarakan mengenai cucu. Lebih baik ibu meminta cucu dari Kak Nadine dan Kak Harris," kata Jenny.     

Wajah Anya sedikit berubah saat mendengarnya. Ia memikirkan Nadine yang sedang memulihkan diri dan menjaga kesehatannya. "Dasar! Sebaiknya kamu pikirkan dirimu sendiri. Apakah kamu sudah bertemu dengan bule tampan di luar negeri?"     

"Ada bule yang sangat tampan di kelasku, tetapi kita hanya teman baik. Ia hampir saja ingin ikut denganku ke Indonesia," Jenny tertawa dengan senang dan mulutnya tidak bisa berhenti berbicara. "Apakah tidak ada orang lain yang ikut menjemputku? Bagaimana dengan Paman Jonathan dan Rudi? Apakah mereka semua baik-baik saja? Sudah lama aku tidak mendengar kabar Rudi. Aku juga berulang kali menelepon Paman Aiden dan Paman Jonathan, tetapi mereka tidak mau menjawab teleponku. Aku kesal dengan mereka," lanjut Jenny sambil cemberut.     

"Ngomong-ngomong, apakah kakek sehat? Apakah saat aku pergi ia juga merindukanku? Aku sulit tidur karena memikirkan kalian semua …"     

Anya berusaha menahan tawanya. "Apakah benar kamu tidak bisa tidur karena kita? Bukan karena pria yang kamu suka?"     

Jenny hanya membalasnya dengan tawa.     

Mereka semua langsung kembali ke rumah Keluarga Atmajaya, masih sambil mengobrol dengan asyik. Jenny langsung menghampiri kakeknya dan menyapanya. Mulutnya sangat manis seperti madu yang menarik para lebah tanpa perlu melakukan apa pun.     

"Kakek, sudah dua tahun aku tidak melihat kakek. Apakah kakek menggunakan sihir? Bagaimana bisa kakek terlihat lebih muda? Aku pikir kakek adalah paman …"     

Bima memicingkan matanya saat melihat cucunya yang nakal ini, tetapi bibirnya seolah tidak bisa menahan diri untuk membentuk lengkungan dan kemudian ia tertawa. Kerutan di sudut matanya terlihat lebih dalam saat ia tertawa. Kemudian, senyum rindu muncul di bibirnya.     

Hari-hari terasa sangat sepi sejak kepergian Jenny. Baru sedetik ia kembali, rumah langsung dipenuhi dengan tawa.     

Saat tahu bahwa adiknya pulang ke Indonesia, Nico langsung mengajak Tara dan kedua anaknya untuk bertemu dengan Jenny.     

Ini pertama kalinya Jenny bertemu dengan kedua keponakannya secara langsung.     

Jenny merasa sangat senang akhirnya bisa bertatap muka secara langsung dengan kedua keponakannya. Ia langsung mengeluarkan dua kotak hadiah dari kopernya, salah satunya berwarna biru dan yang lainnya berwarna merah muda.     

Ia memandang dua anak mungil di hadapannya. "Siapa yang namanya Mason?"     

Anak laki-laki Nico melangkah maju dan mendekat ke arah bibinya dengan berani! "Halo, bibi!" Jenny tertawa melihatnya dan langsung memberikan kotak berwarna biru.     

"Siapa yang namanya Madison?" tanya Jenny sekali lagi.     

Kali ini, tidak seperti kakaknya yang pemberani, anak perempuan Nico melangkah maju dengan malu-malu dan sedikit ragu. "Bibi …"     

Jenny merasa gemas dan memeluk keponakannya itu, kemudian memberikan kotak hadiah berwarna merah muda. Setelah itu, ia memandang ke arah Nico. "Kak, anak-anakmu tidak seperti kamu. Mereka sangat manis dan tidak nakal."     

Nico menggerutu mendengarnya. "Aku juga manis saat kecil dulu. Sampai sekarang aku pun masih manis. Benar kan, Bu?" tanyanya pada Maria.     

Maria hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Aku juga tidak tahu bagaimana Nico bisa mendapatkan anak-anak yang manis dan penurut seperti ini. Mungkin mereka lebih mirip dengan Tara."     

Jawaban Maria membuat Jenny tertawa semakin keras. Setelah itu, ia memalingkan perhatiannya pada kakaknya yang lain. "Kak, kapan kamu dan Kak Harris memiliki anak?" Jenny tiba-tiba saja bertanya pada Nadine.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.