Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Aku Percaya Padamu



Aku Percaya Padamu

0"Kamu juga baik di mata Nico, sama dengan aku di mata Aiden. Kalau suami istri saling mencintai, mana mungkin wanita di luar sana punya kesempatan?" kata Anya sambil tersenyum sebelum melanjutkan. "Tara, di dunia ini, wanita tidak hanya kamu saja. Banyak orang yang rela membayar untuk bisa mendapatkan hidup nyaman yang kita miliki sekarang. Keluarga Atmajaya tidak menuntut kita untuk melakukan apa pun. Mereka hanya ingin kamu membahagiakan keluargamu."     

"Aku bekerja keras untuk menghasilkan banyak uang," kata Tara dengan serius.     

"Keluarga Atmajaya tidak kekurangan uang, tetapi anak-anakmu bisa saja kekurangan kasih sayang ibunya," kata Anya. Setelah itu, Anya memanggil Maria, "Kak Maria, Tara ingin melihat anak-anaknya. Apakah kamu bisa membantunya membawa salah satu anaknya yang masih bangun?"     

"Baiklah," Maria tersenyum dan menggendong anak perempuan Tara yang baru saja bangun.     

Anak perempuan Tara sangat mirip dengan ibunya. Ia baru saja bangun sehingga ia menangis.     

"Gendong dia!" kata Anya, mendukung sahabatnya.     

"Aku tidak bisa," mendengar suara tangisan putrinya, Tara langsung tersentak. "Aku takut dia terluka."     

"Biar aku yang mengajarimu," Maria melangkah maju dan mengajarinya dengan sabar.     

Maria mengarahkan posisi tangan yang benar pada Tara dan kemudian ia meletakkan kepala putri kecil itu di dada Tara.     

Saat putri kecil itu mendengarkan detak jantung ibunya, detak jantung yang ia kenal sejak ia masih berada di dalam kandungan, tangisnya langsung berhenti. Ia menatap ke arah Tara dengan matanya yang bulat dan tatapan yang bingung. Walaupun ia masih terlalu kecil itu memahami apa pun, ia terus memandang ke arah Tara.     

"Luar biasa sekali, ia tidak menangis!" Tara juga terkejut saat melihat putri kecil di pelukannya.     

Anya tersenyum melihatnya. "Kamu adalah ibunya. Pelukan ibunya adalah pelukan yang terhangat," kata Anya dengan lembut.     

Tara langsung menangis dan memeluk putrinya dengan erat. Maria terkejut melihatnya dan sedikit cemas, khawatir bayi mungil itu akan sesak napas karena pelukan yang terlalu erat.     

Ia langsung melangkah maju, mencoba untuk memisahkan ibu dan anak itu, berusaha untuk mengambil alih cucunya.     

Tetapi Anya menghentikannya dan menggelengkan kepalanya pelan.     

Tara tidak punya sosok orang tua di dalam hidupnya. Ini adalah pertama kalinya ia menjadi seorang ibu. Ini adalah pertama kalinya ia memeluk anaknya setelah beberapa hari berlalu.     

Tidak akan ada yang bisa memahami perasaan ini, selain Tara sendiri.     

Anya tahu bahwa ini adalah saat-saat yang berarti bagi Tara, untuk bisa lebih dekat dengan anak-anaknya.     

Saat Tara menggendong putri kecilnya, putri kecilnya itu langsung bergerak-gerak, seolah berusaha mencari sesuatu. Air liur dari bibirnya membasahi baju Tara.     

"Apa yang ia lakukan?" Tara merasa panik saat melihat putri kecilnya terus bergerak-gerak dengan gelisah di pelukannya.     

Ia menundukkan kepalanya dan memandangnya.     

"Ia baru saja bangun dan lapar. Aku akan membawanya ke suster," Maria mengambil putri kecil itu dari pelukan Tara. Tetapi begitu Maria menggendongnya, bayi mungil itu langsung menangis dengan keras.     

"Sayang, jangan menangis," begitu suara Tara terdengar, putri kecil itu langsung berhenti menangis.     

"Tara, dia mengenalimu. Apakah kamu mau menyusuinya?" tanya Anya.     

"Bagaimana aku bisa menyusuinya? Aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku juga tidak yakin ASI-ku masih bisa keluar," Tara memandang bayi mungil itu dan tidak tahu harus berbuat apa.     

Wajah putri kecilnya itu sangat mirip dengannya, sangat mirip dengan foto masa lalunya saat ia masih bayi.     

"Kamu baru saja melahirkan, baru tiga hari berlalu. Tentu saja kamu masih bisa menyusuinya," kata Maria.     

"Haruskah aku mencobanya?" Tara menggendong bayinya dengan sedikit payah. Saat menyusui bayi kecil itu, Tara sering kali salah menggendongnya sehingga menghalangi hidung putri kecil tersebut.     

Maria terlihat ketakutan dan berusaha untuk menghentikannya berulang kali, tetapi Anya kembali menghentikannya.     

Putri kecil itu berusaha untuk menghisap dengan keras, tetapi ASI Tara tidak keluar juga hingga wajah putri kecil itu memerah.     

"Biar aku membawanya ke suster. Seharusnya kembarannya sudah bangun sekarang. Biar ia mencoba untuk menyusu," kata Maria.     

…     

Pada saat yang bersamaan, di tempat parkir, Aiden sedang menasihati Nico.     

"Kamu harus membedakan akting dan kenyataan. Jangan membuat istri dan anak-anakmu sedih," kata Aiden.     

"Aku tahu. Akting hanyalah sebuah permainan. Aku hanya memerankan sebuah karakter fiksi. Bodoh kalau aku menganggapnya sebagai kenyataan," Nico tertawa.     

"Tetapi …"     

"Paman, apakah kamu tidak percaya padaku? Aku dan lawan mainku hanya saling bertukar pikiran agar kami bisa mendalami peran dengan lebih cepat. Aku hanya ingin segera menyelesaikan syuting agar bisa kembali bersama dengan Tara dan anak-anak. Akting lawan mainku begitu buruk, jadi aku harus membantunya," kata Nico.     

"Dengan kata lain, kamu tidak tertarik padanya?" Aiden memandangnya dengan curiga.     

"Aku hanya mencintai Tara. Aku selalu memperlakukan Tara seperti cinta pertamaku. Aku hanya bekerja sama dengan lawan mainku agar ia bisa segera mendalami perannya sesegera mungkin dan menjalankan syutingnya dengan lebih cepat," kata Nico.     

Aiden menepuk pundaknya. "Kalau begitu, aku bisa tenang."     

"Apakah paman pikir aku selingkuh? Apa yang paman katakan di kamar tadi untuk memperingatkan Tara agar mengawasiku kan?" kata Nico.     

Aiden tidak mengakui, tetapi juga tidak mengelak.     

"Aku merasa dituduh. Paman, kamu menuduhku!" Nico menundukkan kepalanya.     

Aiden menyentuh kepala Nico. "Kamu adalah ayah dua anak. Aku yakin kamu bisa mengemban tanggung jawabmu. Saat kamu menikah dengan Tara, kamu tahu bagaimana sifatnya. Bagaimana sabarnya dia …"     

"Aku merasa Tara adalah wanita yang terbaik. Aku akan belajar menjadi ayah dan ia akan belajar menjadi ibu untuk anak-anak kami. Kami akan belajar bersama-sama. Jangan khawatir!" kata Nico sambil tersenyum.     

Aiden mengangguk. Nico memang bersedia untuk belajar menjadi seorang ayah. Tetapi bagaimana dengan Tara? Apakah Tara mau belajar untuk menjadi seorang ibu yang baik?     

Keluarga Atmajaya tidak peduli bagaimana sifat Tara. Selama Nico mencintainya dan ingin tinggal bersama dengannya selamanya, semuanya akan baik-baik saja.     

Tetapi bagaimana dengan nasib keluarga kecil mereka?     

Seorang ibu yang tidak menyukai anak-anaknya dan seorang ayah yang terlalu dimanja sehingga tidak bisa menjadi dewasa, tiba-tiba saja mereka diberi tanggung jawab yang berat, untuk mengurus dua anak.     

Siapa pun pasti bisa tahu bahwa akan ada banyak masalah di kemudian hari.     

Nico kembali sambil membawa satu kotak roti untuk Tara. Saat ia kembali ke kamar, ia melihat Tara sedang menggendong putra mereka.     

"Apa yang terjadi?" Nico memandang Tara dengan terkejut.     

"Saat aku menggendong mereka, mereka mencari susu. Aku merasa seorang ibu seharusnya menyusui mereka, kan?" kata Tara.     

Namun sayangnya, sama seperti adik perempuannya, kakak laki-lakinya juga berusaha untuk menghisap sekuat tenaga tetapi tidak ada susu yang keluar. Akhirnya, ia menangis dengan pahit.     

Tara merasa sedikit malu dan bertanya. "Ibu, bagaimana kalau aku tidak bisa memberi ASI pada mereka?"     

"Kamu adalah ibu mereka. Tidak peduli ada ASI atau tidak, mereka tetap akan mencintai ibunya," kata Maria sambil tersenyum.     

Anya dan Maria keluar dari ruangan itu sehingga hanya Tara dan Nico saja yang berada di sana.     

Nico mengambil apel dari meja dan berkata, "Biar aku mengupas dan memotongkan apel untukmu." Setelah selesai mengupas dan memotongnya, Nico meletakkan apel itu di atas piring dan mengambil garpu untuk Tara.     

"Nico, aku percaya padamu," kata Tara secara tiba-tiba.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.