Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Melihat Diriku yang Dulu



Melihat Diriku yang Dulu

0"Jadi, agar Jenny tidak mendekati Kak Jonathan lagi, kamu ingin mengirimnya sekolah ke luar negeri?" Anya tidak menyangka bahwa Keluarga Atmajaya berencana untuk mengirim Jenny pergi dari Indonesia, untuk memisahkannya dengan Jonathan.     

"Kak Maria awalnya tidak setuju. Tetapi demi kebahagiaan Jenny, akhirnya ia menerimanya," kata Aiden dengan tenang.     

Anya merasa kasihan pada Maria. Maria baru saja dipertemukan dengan putri kandungnya setelah bertahun-tahun terpisah. Tetapi sepertinya mereka akan berpisah lagi sekarang.     

"Kapan kamu akan mengirimnya ke luar negeri?" tanya Anya.     

"Setelah hari natal. Kak Ivan akan pergi ke luar negeri untuk mengurus perusahaan cabang dan ia membawa Jenny pergi bersamanya. Selama bersama dengan Kak Ivan, kita bisa tenang. Jenny akan baik-baik saja," kata Aiden.     

"Kamu sudah merencanakan semuanya. Sekarang, selama ayah bisa memenangkan permainannya, Jenny harus mematuhi kata-kata ayah. Tetapi tidak ada satu pun dari kalian yang menanyakan apa yang sebenarnya Jenny inginkan," Anya juga menyayangi Jenny. Ia merasa tidak tega Jenny diperlakukan seperti ini.     

Melihat Anya sedikit emosi, Aiden menatapnya dengan khawatir. "Anya, ada apa denganmu?"     

"Apakah kamu ingat apa yang kamu lakukan sebelum aku pergi ke Perancis?" Anya tersenyum dengan hambar. "Dengan alasan memikirkan yang terbaik untukku, kamu memaksaku untuk menceraikanmu dan menggugurkan kandunganku. Tetapi saat itu, tidak ada satu orang pun yang menanyakan apa yang aku inginkan …" suara Anya terdengar sedikit tercekat saat membicarakan mengenai masa lalu. "Sebenarnya, apa yang terbaik untuk Jenny? Yang terbaik untuk Jenny adalah apa yang ia inginkan dan apa yang ia rasa terbaik untuknya. Mengapa kamu harus menentukan semuanya untuk Jenny? Apa hakmu menentukan cinta dan perasaannya? Kamu tahu bahwa Kak Maria baru saja menemukan putrinya, tetapi sekarang kamu ingin memisahkan mereka lagi …"     

Dengan suara yang keras, piring yang Maria pegang terjatuh ke lantai. Matanya memerah saat ia menundukkan kepala dan mengambil pecahan-pecahan piring itu. Perasaan bersalah atas masa-masa itu kembali menghantui Maria. Tidak peduli sudah berapa lama waktu berlalu, luka itu tidak akan pernah sembuh.     

Dan Anya tidak ingin ada orang lain yang terluka, sama seperti dirinya yang terluka dulu.     

"Nyonya, biar saya saja yang membersihkannya," salah satu pelayan langsung menghampiri Maria.     

"Kak …" Anya menghampiri Maria dan memegang tangannya dengan lembut.     

"Anya, aku …"     

"Aku hanya minta pada kakak, jangan sampai rasa sakit yang pernah aku rasakan terjadi lagi pada Jenny. Bagaimana kalau kita mendengar apa yang Jenny inginkan? Kak Jonathan juga sangat pengertian. Ia pasti mau bekerja sama dengan kita," kata Anya dengan lembut.     

"Kamu kalah! Kamu harus mengakui kekalahanmu!" kata Bima dengan senang.     

"Aku mengakui kekalahanku. Demi Jonathan, aku akan pergi ke luar negeri dan belajar dengan baik untuk mengembangkan diriku. Suatu hari nanti, aku akan menjadi seseorang yang bisa membantunya," kata Jenny dengan tegas.     

Saat Bima mendengar kata-katanya, kerutan muncul di keningnya. Jenny setuju untuk pergi ke luar negeri, tetapi bukan berarti ia akan melupakan perasaannya begitu saja.     

Jenny menoleh dan memandang ke arah Aiden. "Paman, aku tahu kamu bekerja sama dengan kakek, sengaja ingin mengirimku ke luar negeri dan menjauhkanku dari Jonathan agar Jonathan bisa menemukan wanita lain."     

"Siapa yang bilang? Aku ingin kamu jatuh cinta pada pria lain. Mungkin saja di luar negeri ada pria bule dengan rambut pirang dan mata biru. Siapa tahu, kamu akan pulang dengan anak campuran setengah bule," Aiden bukanlah orang yang biasa bercanda. Aneh rasanya mendengar ia mengatakan hal itu.     

Jenny merasa marah saat mendengarnya. "Aku akan tetap menikah dengan Jonathan. Tunggu saja. Aku akan menyelesaikan sekolahku lebih awal."     

Aiden mengulurkan tangannya dan mengelus kepala Jenny. "Ini hanyalah sekolah, bukan berarti kamu akan mati dan tidak akan kembali lagi."     

"Kalian makanlah," setelah kalah dalam permainan catur itu, Jenny merasa suasana hatinya memburuk. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya.     

Tetapi Bima sudah memutuskan. Aiden dan Ivan juga merasakan hal yang sama. Mereka rasa mengirim Jenny pergi ke luar negeri selama dua tahun adalah keputusan yang terbaik.     

Setelah makan, Harris menemani Biam untuk bermain catur, sementara yang lainnya duduk di sofa dan mengobrol.     

"Mengapa kalian berdua ingin Jenny sekolah di luar negeri?" tanya Raisa.     

"Iya, apa sebenarnya alasannya?" timpal Anya.     

Aiden dan Ivan saling berpandangan seolah menyuruh satu sama lain untuk menjawab pertanyaan itu.     

Akhirnya, Tara yang angkat bicara. "Mereka ingin Jenny memahami perasaannya terhadap Jonathan. Mereka ingin Jenny tahu apakah cinta yang ia rasakan ini hanyalah sementara, atau benar-benar cinta sejati. Untuk mengetahuinya, hanya waktu yang bisa membuktikan semuanya."     

"Apakah benar begitu?" Anya memandang ke arah Aiden dan Ivan.     

Ivan dan Aiden mengangguk secara bersamaan.     

"Jenny masih muda. Ia tidak perlu terburu-buru menikah. Biarkan ia belajar dulu. Aku dan Kak Ivan akan menemaninya. Dengan begitu, tidak akan ada yang terjadi padanya," kata Raisa.     

Di kamar, di lantai dua, Maria sedang berbincang-bincang dengan Jenny.     

"Jenny, kalau kamu tidak mau pergi, biar ibu yang bicara pada kakekmu," kata Maria dengan lembut.     

"Tidak usah, Bu. Aku tahu mereka semua pikir kalau aku menikah dengan Jonathan, aku hanya akan menyusahkannya. Kalau kakek merasa dengan sekolah di luar negeri selama dua tahun bisa membuatku semakin dewasa, aku akan pergi. Aku akan pergi dan membuktikan diriku," kata Jenny. "Ibu, bisakah aku meminta ponselku kembali?"     

Maria tertawa dan mengeluarkan ponsel Jenny dari sakunya. "Kalau kamu sudah memutuskan, ibu tidak akan mengatakan apa pun lagi."     

"Baiklah," setelah mendapatkan ponselnya, Jenny langsung menyalakannya. Tetapi tidak ada satu pun pesan atau telepon dari Jonathan.     

Ia menghilang selama satu minggu. Apakah Jonathan tidak merindukannya?     

Melihat kesedihan di mata Jenny, Maria bertanya. "Ada apa?"     

"Tidak ada apa-apa. Aku ingin tinggal di rumah Nenek Diana selama beberapa hari. Apakah boleh?" tanya Jenny.     

"Apakah kamu tidak akan mengganggunya? Kamu selalu pergi ke sana. Bagaimana kalau kamu merepotkannya?" Maria merasa sangat iri. Jenny adalah putrinya, tetapi Jenny tidak mau tinggal bersamanya.     

Jenny malah menghabiskan sebagian besar waktunya tinggal di rumah Diana dan membantunya di taman.     

"Di sana sangat nyaman. Aku tidak senang kalau harus bertemu dengan kakek di rumah," gumam Jenny. "Kalau tidak boleh, aku akan tinggal dengan ayah dan ibuku selama beberapa hari."     

Maria mengelus kepala Jenny dengan lembut. Tentu saja masalah ini akan membuat Jenny merasa kesal pada Bima. "Kamu bisa pergi ke mana pun kamu mau. Kalau kamu mau tinggal di rumah Diana juga tidak apa-apa. Di sana lebih dekat dengan rumah pamanmu."     

"Aku akan ikut bersama dengan paman nanti," Jenny merasa lega karena akhirnya ia bisa keluar dari rumah ini setelah satu minggu. Tanpa menunggu lama, ia langsung mengemasi semua barang-barangnya.     

Malam itu, Jenny pergi bersama dengan Aiden dan Anya menuju ke rumah Diana.     

Saat tahu bahwa Jenny akan datang, Diana tidak tidur lebih awal seperti malam-malam biasanya. Ia menunggu kedatangan Jenny sambil menonton TV di ruang keluarga.     

Saat datang, Diana bisa melihat bahwa Jenny terlihat sedikit sedih. Jenny hanya menyapanya sekilas dan langsung masuk ke dalam kamar yang biasa ia tempati.     

Anya menarik tangan ibunya dan berbisik. "Keluarga Atmajaya tidak setuju dengan hubungan Jenny dan Kak Jonathan. Mereka ingin mengirim Jenny pergi ke luar negeri. Ia akan pergi setelah hari Natal dan mungkin ia akan tinggal di sini sampai hari itu tiba."     

Diana mengangguk. "Aku mengerti. Jangan khawatir, ibu akan menjaganya."     

"Ibu, aku selalu merepotkanmu. Memang ibuku yang terbaik sampai-sampai Jenny selalu melarikan diri ke sini setiap kali ada masalah," Anya menyandarkan kepalanya di pundak Diana dan bermanja-manja pada ibunya.     

Diana mengelus kepala Anya dengan lembut, merasa sangat senang dengan kemanjaan putrinya.Tetapi mulutnya tidak bisa menahan untuk menggoda Anya. "Kamu ini, sudah punya dua anak masih manja seperti ini. Cepat pulanglah. Arka dan Aksa pasti sudah menunggu."     

"Aiden yang menidurkan anak-anak," Anya memegang tangan ibunya dengan lebih erat dan kemudian ia berkata dengan suara pelan. "Aku merasa tidak nyaman saat melihat apa yang terjadi pada Jenny. Aku merasa seperti melihat diriku yang dulu …"     

Diana mengelus kepala putrinya dengan lembut. Ia tahu bahwa apa yang Keluarga Atmajaya lakukan dulu akan selamanya membekas di hati Anya.     

Memang maaf sudah diberikan, tetapi hanya waktu yang bisa mengubur luka itu. Melihat keadaan kembali terulang pada Jenny, Anya merasa lukanya itu seperti disentuh lagi.     

"Situasinya berbeda denganmu dulu. Jenny masih terlalu muda dan tidak memahami arti cinta. Jonathan juga sedang sibuk mengurus pekerjaan dan Alisa. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan pernikahan sekarang," kata Diana, menghibur putrinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.