PERNIKAHAN TANPA RENCANA

101



101

0Tak ada satu pun tugas Kabul yang selesai dengan hasil memuaskan. Malah sebaliknya, kini Mas Sardi menjadi bahan gosip baru. Berkat mulut Ibu Darwati yang tidak terima pinangan terhadap anaknya di batalkan. Padahal kesalahan sebenarnya ada pada anaknya sendiri. Mungkin karena Ia terlanjur malu setelah begitu berharap dan tidak tersampaikan sehingga Ia terlalu kecewa. maka dengam kekecewaan itu Ia menyebar gosip-gosip murahan untuk memutar balikkan fakta.     

Orang-orang desa menjadi berpikir bahwa Mas Sardi ini memang doyan perempuam. Padahal semua itu hanya lah prasangka mereka dari masa lalu Mas Sardi yang tidak sempat Ia bersihkan. Sehingga pada saat gosip itu muncul, presepsi mereka.     

Malah sebaliknya, Mas Sardi adalah orang yang tidak tahu cara memperlakukan wanita. Memang hanyalah orang terdekatnya sajalah yang paling tahu. Kabul misalnya.     

Setelah menceritakan kejadian yang ia alami seharian ini dengan menggebu-gebu. Kabul pun menenggak air dalam kendi dengan rakusnya. Ia memang begitu kesal tapi yang membuatnya semakin kesal adalah bahwa Ia tahu temannya ini mungkin lebih kesal dari dia tetapi masih pura-pura baik-baik saja.     

Namun Mas Sardi hanya bergeming. Ia mencerna informasi yang baru saja Ia terima. Beginilah Mas Sardi, ketika penuh kekecewaan Ia hanya diam. Pandangannya kosong dan entah apa yang Ia pikirkan. Tak ada yang mampu membaca pola pikirnya saat ini.     

Inilah yang Kabul takutkan. Jika melihat ke belakang, baginya masa lalu Mas Sardi terlalu memilukan. Terkadang Ia bahkan tak mampu membayangkan jika dirinya berada di posisinya saat itu.     

Sepanjang Kabul bercerita, Ayah ternyata mendengar dari balik dinding bambu. Karena ayah sedari tadi belum masuk bilik. Ia sedang berada di ruamg tamu, memang selalu tanpa suara . Cara bicara Kabul yang menggebu-gebu terdengar jelas oleh telinganya.     

"Lalu bagaimana selanjutnya Di..."     

Mas Sardi hanya diam. Ia tidak menemukan jawaban apapun di kepalanya dari pertanyaan Kabul itu.     

mereka sama-sama hening. kepulan asap satu-satunya yang bergerak riuh di udara.     

"Apa sebaiknya melobi ayahmu Di, tidak usahlah pakai syarat-syarat. Toh yang mau pergi kan kamu seorang."     

Mas Sardi menoleh ke arah Kabul.     

"Dengan begitu semakin jelas. Kalau saya ini orang gagal di mata beliau." Jawaban Mas Sardi membuat Kabul bungkam. Ia tahu pasti, Mas Sardi ingin berhenti mengecewakan kedua orang tuanya.     

Pagi pun menjelang. kabar memilukan dari Kabul membuat Mas Sardi aras-arasen beraktifitas. Namun. Ia tak mau ke ladang terlalu siang apalagi melewatkannya. Ia tak mau mendengar ocehan-ocehan orang di jalan saat bertemu dengannya.     

Ia berangkat pagi buta. Saat udara dingin masih mendominasi suhu tubuhnya. Ayah paham betul dengan gelagat anaknya yang pertama ini. Simbok sempat menegurnya namun tak di hiraukan. sehingga Ia hanya membawa bekal berupa nasi dan bumbu megono yang di bungkus daun pisang. Ia tak terpikirkan untuk sarapan.Ia tak punya nafsu untuk itu.     

sementara ayahnya hanya membiarkan ketidak wajaran yang di lakukan anaknya. Ia membiarkan Mas Sardi merenungi dan memecahkan masalahnya sendiri.     

Meski akhirnya tak terjadi apapun. Kecuali Mas Sardi yang dua hari ini menetap di sawah dan menjadi perbincangan orang desa.     

Ada yang bilang Mas Sardi Gila. Ada yang bilang gagal kawin. Ada yang bilang Mas Sardi sumber sial. mulut mereka menjadi menggila dan membuat sang Ayah mau tidak mau bertindak.     

Saat di ladang Mas Sardi hanya sibuk mencangkul. Ia tak menceritakan sepatah kata pun pada ayah tentang masalah yang di hadapi saat ini.     

Kecuali sampai ayahnya bertanya bagaimana dengan calon pengantinnya. Namun Mas Sardi hanya mengatakan belum menemukan. Lalu tidak ada pembahasan lagi.     

Sepulang dari ladang ayah pun mandi. Lalu Ia memakai batik dan celana. Tidak seperti biasanya. Ia bahkan menyuruh istrinya untuk berias. Tanpa mengatakan mereka akan kemana.     

Setelah mereka berdua siap. Ayah pun membimbing perjalanan. Nampaknya memang ke arah kampung utara.     

Namun tidak bisa di pastikan akan ke mana dengan kostum yang rapi begini.     

Sampailah mereka berdua di sebuah gubug kecil milik seseorang yang mereka kenal. Bahkan akrab sekali. Ia lah rumah Pak Darman, ayah Mba Ranti. Pak Darman dan istrinya kala itu sedang menjemur gabah di teras rumahnya pun bergegas menyambut kedatangan majikannya itu.     

Lalu pak darman dan istri mempersilahkan masuk dan duduk di kursi yang masih terbuat dari bambu.     

"Buk, buatkan teh buk." Istrinya segera menuju belakang.     

"Ada apa pak mandor, sore-sore begini sowan" Ucap darman sopan.     

Tidak lama kemudian istri Pak Darman pun keluar dengan dua gelas minuman.     

"Begini man kamu ini kan sudah lama sekali ikut saya. Apakah kamu kerasan? " tanya ayah basa-basi.     

"Ya kerasan pak...malah kami terima kasih sebanyak-banyaknya memberikan rejeki bapak kepada keluarga kami." Ucap Pak Darman dengan mata berair.     

"Ya Kami ikhlas Man, kita ini sudah seperti saudara. Saya selalu menganggap keluargamu itu bagian dari tanggung jawab saya sebagai orang yang ngangkat kamu." Ucap ayah.     

Nampak istri darman meneteskan air mata haru.     

"Karena sudah lama menjadi abdi saya. Tentu kamu tahu kalau gosip-gosip itu tidak benar."     

"Tentu saja pak, lalu bagaimana keadaan mas Mas Sardi... saya malah menghawatirkan beliau. Kasihan, harus menerima fitnah lagi."     

"Ya, berkaitan dengan itu man.Saya ke sini untuk meredakan fitnah tersebut. Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menikahkannya dengan seorang wanita. Dengan begitu maksud kedatangan kami ke sini adalah kami ingin meminang anakmu Ranti untuk menjadi istri anak pertamaku Sardi. Bagaimana menurutmu."     

Mendengar permintaan majikannya itu tentu saja Pak Darman sangat terkejut. Sebagai seorang abdi akan menjadi besan dari majikannya yang merupakan orang terpandang. Ia merasa tidak     

Wajahnya menjadi sayu. Ia lalu memandang ke arah istrinya. Snag istri pun mengangguk untuk meyakinkan suaminya yaitu Pak Darman.     

Lalu Pak Darman pun nampak mengiyakan pinangan dari ayah.     

Akhirnya kini dinyatakan Mba Ranti sudah menjadi pinangan Mas Sardi yang kelak beberapa hari ke depan akan diadakan pernikahan sederhana di rumah Mas Sardi.     

Mendengar dirinya di pinang oleh Mas Sardi membuat hatinya berdesir. Ia tak tahu harus bahagia atau harus sedih. Kenyataan bahwa Ia tidak hidup untuk memilih memang begitu pahit.     

Ia sudah mengatakan kepada Mas Sardi bahwa Ia menyukai Mas Kardi. Namun kenapa dengan percaya dirinya malah Ayahnya hendak menjodohkan Mas Sardi dengannya?.     

Sampai di sini Mba Ranti tidak mengerti. Kenapa bisa terjadi hal seperti ini. Ia tidak bisa hidup dengan Mas Sardi sementara hatinya untuk Wiro. Apalagi kalau kelak mereka hidup se atap. Apa yang akan terjadi nanti?.     

Mba Ranti bergegas ke ladang. Ia tahu, Mas Sardi masih belum pulang. Ia pergi ke ladang tanpa mempersiapkan apapun. Ia hanya membawa selendang yang Ia gantungkan di pundaknya dan berjalan tergesa agar cepat sampai. Sementara senja mulai di ufuk barat. Mungkin beberapa saat lagi mulai petang.     

Sampai lah Mba Ranti di ladang. Ia melihat dari kejauhan Mas Sardi sedang menyesap rokonya dan menatap kosong ke arah senja. Dalam hati Mba Ranti merasa kasihan. Namun Mba Ranti tak ingin goyah akan niatnya mengklarifikasi maksud pinangan Mas Sardi kepadanya.     

Mendengar sebuah langkah kaki sontak Mas Sardi menoleh. Ia tak menyangka Mba Ranti menghampirinya padahal hari mulai gelap.     

Mas Sardi pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Mba Ranti yang jalan tergesa-gesa.     

"Ran ada apa?" Mas Sardi berusaha tersenyum meskipun Ia sedang malas.     

Sementara Mba Ranti masih terus berjalan dengan wajah serius sampai dia berada di titik terdekat untuk menampar Mas Sardi     

PLAKKK     

Mas Sardi terkejut dengan perlakuan Mba Ranti. Ia memegang pipinya yang terasa sedikit panas. Mba Ranti yang baru saja melakukan eksekusi kekesalannya langsung menangis dan terduduk.     

"Kok kejam sekali kamu mas. Saya tahu keluarga saya itu abdi. Kami tidak berhak memilih.. tapi kok kejam sekali kamu sama saya.." Mba Ranti meracaukan hal yang sama sekali tak Mas Sardi mengerti.     

Mas Sardi pun duduk di hadapannya lalu memegang kedua tangan Mba Ranti.     

"Maksud kamu apa Ran ngomong begitu. Aku endak paham. Seharian aku di sini." Jawab Mas Sardi sejujurnya.     

"Ndak usah pura-pura mas. Mas Sardi tahu aku ini punya hati sama mas Kardi. Bagaimana mungkin Mas Sardi meminang saya setelah tahu hal itu. Mas sengaja mau menyiksa perasaan saya?" Racau Mba Ranti sambil bercucur air mata.     

Mas Sardi berusaha mencerna kalimat Mba Ranti. Lalu dia mulai mengerti yang di maksud Mba Ranti.     

"Kapan ayahku ke rumahmu Ran.."     

"Tadi mas. Aku enggak bisa kalau harus hidup seperi ini. Tapi aku enggak punya kesempatan menolak."     

Mas Sardi berpikir sejenak. Ternyata ayahnya lagi-lagi yang menjadi penolongnya. Ia tahu tidak akan mudah dengan Mba Ranti. Tapi ini artinya ayahnya sedang membukakan kesempatan untuknya.     

"Sudah jangan nangis Ran." Mas Sardi menyeka air mata Mba Ranti dengan selendang milik Mba Ranti.     

Mas Sardi pun bergegas mencuci tangannya juga wajahnya. Ia membersihkan tanah yang menempel ditubuhnya. Lalu Ia pun kembali menghadapi Mba Ranti.     

"Ran.. ayo menikah denganku."     

Mendengar ajakan menikah dari mulut Mas Sardi sendiri membuat Mba Ranti terkejut bukan main. Hatinya tiba-tiba bergemuruh. Ia menatap lekat Mas Sardi yang nampak penuh keseriusan.Ia bahkan telah melupakan beberapa saat yang lalu Ia menangis pilu meratapi nasibnya.Tubuh Sari terlihat kurus kering, matanya cekung ,rambutnya kusam, kulutnya pun kini telah menjadi keriput. Ayahnya menceritakan kejadian naas ini dimulai dari saat Sari sekolah SLTA. Ketika itu ada seorang lelaki yang mengungkapkan perasaannya kepada Sari. Namun Sari menolaknya dengan alasan bahwa Sari akan fokus untuk belajar dan meraih cita-cita.     

Entah memang dugaan mereka benar atau salah kenyataannya setelah kejadian itu kondisi Sari menjadi seperti sekarang ini. Sari bahkan terlanjur tidak melanjutkan sekolahnya karena penyakit tersebut menyita waktunya untuk berobat.     

Keluraga Sari memang tak begitu percaya dengan perdukunan. Padahal di Jawa perdukunan itu sangatlah umum. Ketika seorang sakit hati, Ia bisa membalas orang tersebut melalui dukun. Dengan berbagai media dari orang yangakan ia balas contoh rambut, foto, weton dan nama lengkap bahkan air liurnya sekalipun bisa menjadi media perantara dukun untuk melancarkan aksinya.     

Tentu saja yang namanya ilmu hitam semacam itu tidaklah gratis. Tebusannya lebih dan lebih serius dari pada tebusan hutang apapun .tebusannya berupa pengorbanan yang harus di lakukan sesuai keinginan dari sang dukun. Konon sang dukun biasanya bersekutu dengan bangsa jin atau setan lelembut. Sehingga keinginan dukun tersebut sebenarnya adalah perintah dari mereka.     

Pengorbanan yang harus dibayar tidaklah murah. Sesuai dengan apa yang mereka dapatkan, biasanya sebelum diadakannya perjanjian serta ritual-ritualnya, sang klien akan ditanya terlebih dahulu oleh dukun. Yang pertama adalah keinginannya apa. Setelah kliennya menyebutkan keinginannya, , sang dukun akan menjabarkan pilihan-pilihan yang bisa ia dapatkan. Semakin keinginan yang ingin dicapai besar semakin pengorbanannya besar pula.     

Dari pilihan-pilihan itu, sang dukun juga menjelaskan pengorbanannya. Nah pengorbanan tersebutlah yang kelak akan menjadi objek transaksi. Contoh-contoh pengorbanannya biasanya adalah puasa 40 hari, dilarang tidur 40 hari, bertapa di sungai, meminta tumbal atau persembahan nyawa entah itu dari hewan ataupun dari manusia.     

Dari pengorbanan yang dijalani masih ada segudang konsekuensi yang harus di terima oleh kliennya. Konsekuensi inilah yang sebenarnya membawa petaka untuk pengguna jasa dukun. Konsekuensi tersebut berguna untuk menghindari rusaknya perjanjian antara jin dan dukun. Jika klien melakukan pelanggaran bahkan nyawalah yang bisa menjadi taruhannya.     

Dulu keluarga mereka cukup berada. Ayah Sari adalah mandor di perusahaan ladang kopi yang terletak di ujung desa. Entah bagaimana waktu bisa merubah keadaan seseorang hingga seperti ini.     

Mereka mengisolasi diri. Seolah tak ingin di kenal oleh warga kampung. Rumahnya yang dulu pLing megah kini terlihat usang dan tua. Catnya nampak sudah mengelupas di sana sini namun tak di cat ulang lagi. Pasti sudah bertahun-tahun. Dedaunan memenuhi latar depan rumah mereka sampai batako nya tak terlihat lagi. Mereka srperti para kompeni saja. Tak mengenal warga sekitar.     

Ketika Kabul menghadap mereka, raut wajah sedih begitu kentara di wajah keduanya. Mendengar hal itu membuat kabul prihatin. Akhirnya Ia pun mengatakan bahwa meminang sari pun tidak memungkinkan untuk di lanjutkan. Mendengar kata-kata kabul pun ibu dan ayah sari tak nampak kecewa sedikit pun. Ia malah mendoakan Mas Sardi supaya mendapat jodoh yang terbaik.     

Sepulang dari rumah sari. Tinggal satu nama lagi yang kabul pegang. Sebenarnya kabul ingin sekali memaki. Kenapa temannya ini sulit sekali untuk laku. Ia pesimis bahkan belum sampai rumah Asih. Iya asih yang terkenal menel di antara kandidat-kandidat sebelumnya.     

Namun kabul tidak mungkin putus asa sebelum Ia bahkan mencobanya. Sekalipun Ia benar-benar tidak ingin seorang asih yang menjadi istri temannya. Tapi karena ini adalah amanah maka kabul tetap menjalankannya. Benar, alasan Mas Sardi menikah kan bukan karena cinta. Tapi sebagai syarat agar mendapat izin dari orang tuanya.     

Datanglah kabul ke rumah Asih. Belum sempat masuk kabul sudah bertemu Asih di teras. Lalu dengan tidak sungkan asih menggandeng lengan Kabul dan mereka pun masuk ke dalam rumah Asih.     

Sementara Ibu dari Asih telah duduk di kursi sambil merokok. Sontak Kabul kaget dengan pemandangan tersebut. Padahal dia tahu memang keluarga Asih itu sedikit lebih unik dari yang lain.     

Kabul pun duduk. Asih dengan genitnya mengelus tangannya. Kabul yang semula tidak memperhatikannya jadi menolehnya. Ternyata perut asih menggelembung. Seperti orang hamil. Setahu Kabul Asih ini belum menikah. Maka Kabul pun memastikan tentang kondisinya.     

"Dek asih apa kabar?" Basa-basi kabul.     

Asih pun langsung mengusap perutnya yang membuncit. Dengan cerianya dia menjawab Kabul.     

"Baik mas, sampean sendiri bagaimana."     

"Iya sama. Itu?" maksud kabul adalah perutnya.     

"Sehat sudah mau tingkeban." Jawabnya.     

"Bapaknya di mana?" Kabul memastikan dan celingak celinguk mencati keberadaan laki-laki. Namun nihil. Karena sebelum mengucapkan maksud nya, Ia harus lebih tahu dahulu kondisi Asih.     

Sementara tanpa jawaban Asih hanya menggeleng kepala.     

Sementara Ibunya Asih sejak tadi terlihat tak tertarik dengan percakapan Kabul dan Asih. Ia hanya sibuk menyesap kreteknya. Sambil menatap ke arah luar.     

"Ada apa Bul tumben ke sini." Tanya Ibunya Asih.     

"Oh Iya Bu anu sebenarnya saya ke sini mau menanyakan tentang ternak Ibu di belakang apakah Ibu punya ternak ayam cemani?" tanya Kabul dengan terbata-bata karena Ia sama sekali tidak menyiapkan kalimat tersebut untuk diutarakan.     

Ibunya Asih langsung menimpali.     

"Ayam cemani saya tidak punya bul adanya ayam bangkok sama ayam blorok. Itu saja pada mati. Bingung lagi kena hama atau bagaimana. Yang lain malah hilang tidak pulang di cari tidak ada bangkainya. Ternak bukannya untung malah merugi."     

Jawab ibunya Asih dengan menggebu-gebu marah.     

Untung-untung Ia tidak curiga pada Kabul. Bahwa sebenarnya Kabul ke sini itu dengan maksud lain.     

Mendengar jawaban dari Ibu Asih kabul pun hendak pamitan. Namun belum sempat mengucapkan Ibunya Asih kembali bertanya.     

"Untuk apa to Bul. Kok mencari ayam cemani. Mau ritual apa?"     

Aduh. Kabul harus jawab apalagi ini.     

"Mmm anu bu, buat slametan biasa saja. Tapi tidak tahu bapak mintanya ayam cemani. Katanya kalau ada lebih bagus begitu." Jawab kabul lagi-lagi dengan terbata.     

"Kalau begitu saya pamit ya Bu. Saya akan coba cari di tempat lain." Ibunya Asih menatapnya lalu menggangguk. Sementara Asih terlihat tidak rela kabul akan pergi Ia terus bergelanyut di lengan Kabul. Membuat kabul sedikit merinding.     

"Sih, saya pulang dulu. Tugas dari bapak belum selesai."     

Asih cemberut. Ia memang selalu begini dengan laki-laki. Begitulah kenapa Ia di sebut gadis paling menel di kampung. Namun sayang sekali jika ternyata Ia harus hamil tanpa tahu siapa bapaknya.     

Setelah keluar dari rumahnya kabul pun berjalan pulang. Ia masih bergidik dengan Asih yang bergelayutan di lengannya. Mengusapnya berkali-kali pun rasanya masih tetap merinding juga. Dengan begitu lengkaplah sudah tugas Kabul meski tidak satu pun yang berhasil. Ia akan melaporkannya langsung sepulang dari sini.     

Kepala Kabul terasa berdenyut memikirkan nasib temannya itu. Akankah keinginannya kali ini juga akan gagal?Mas Sardi dan Mba Ranti sama-sama tak mengerti takdir apa yang sedang bermain main dalam hidup mereka. Mas Sardi tahu dengan jelas bahwa Mba Ranti menyukai Mas Kardi. Beberapa hari yang lalu ia mendengarnya langsung dari mulut Mba Ranti Tapi yang Mas Sardi lebih tidak mengerti sebenarnya adalah mengapa ayahnya begitu nekat menjodohkan mereka berdua tanpa mendengar pendapat Mas Sardi.     

Mereka berdua saling bungkam. Sementara hari sudah benar-benar gelap.     

''Pulang Ran. Ayo saya antar .'' Ucap Mas Sardi memecah keheningan mereka.     

''Kalau kamu tidak mau nikah dengan saya. Saya akan bilang pada ayah saya. Tapi kalau kamu bahkan ragu tentang hatinmu. Biar saya pastikan, saya bisa membuat kamu mencintai saya. Saya membutuhkan pernikahan ini. Saya butuh kamu.''     

Mba Ranti tak menjawab sepatah kata pun. Ia tak tahu dengan isi kepalanya juga hatinya. Terlihat dalam wajah Mas Kardi dalam pikirannya. Namun suara Mas Sardi memenuhi juga memenuhi isi hatinya.     

''Mas. Apa yang bisa kamu janjikan kepada saya jika menjadi istrimu.''     

Mas Sardi terdiam mendengar pertanyaan yang seharusnya tidak pernah Mba Ranti ajukan jika dia tidak menginginkan pernikahan ini.     

Mas Sardi menarik lengan Mba Ranti. Mba Ranti tersentak dan masuk dalam peluk Mas Sardi. Mba Ranti meronta namun Mas Sardi memeluknya tanpa ingin melepasnya. Lalu Mba Ranti pun tenang. Mas Sardi mulai mengusap rambutnya.     

''Ran, aku tidak bisa menjajikan apapun yang besar, aku hanyalah orang yang bekerja keras setiap hari, dan juga laki-laki dengan masa lalu memilukan, namun perlu kamu tahu Ran, hatiku mulai berdesir saat aku melihatmu membawa jagung didepan rumahku. Itulah pertama aku melihatmu lebih dekat dari biasanya. Pertama kali aku memperhatikanmu.''     

Mas Sardi melepas pelukanya . Ia tahu Mba Ranti menangis mendengar ucapanya.     

''Tapi aku Mas. Mungkin tidak bisa mengimbangi perasaanmu.'' Jawab Mba Ranti dalam kebimbangan.     

''Aku bisa merubah hatimu Ran. Seiring berjalan waktu. Kamu akan tahu, perasaanmu pada Kardi hanya kekaguman semata.'' Mas Sardi memegang pundak Mba Ranti.     

Sementara Mba Ranti menunduk. Ia tak tahu bagaimana cara mengatasi dirinya sendiri.     

Mas Sardi mengecup kening Mba Ranti. Lalu jemarinya meraba pipinya dan mencari bibirnya. Tepat. Mas Sardi mengecup bibir Mba Ranti dengan lembut. Sementara Mba Ranti mematung. Jantungnya memacu tidak karuan. Pengalaman yang tak pernah sekali pun Mba Ranti rasakan.     

Mas Sardi tersenyum dalam gelap malam itu. Berharap tak ada yang sia-sia dalam usaha terakhir kalinya.     

''Kita menikah Ran, aku janji, tidak akan menggantimu dengan siapapun.'' Ucap Mas Sardi memastikan. Sementara Mba Ranti hanya menunduk lalu ia mengangguk, ia kalah oleh dirinya sendiri. Sementar hari semakin malam. Suara binatang malam pun mulai mendominasi. Mas Sardi pun memutuskan mengajak Mba Ranti masuk ke saung milik ayah. Ia menyalakan lampu sentir. Nampak wajah Mba Ranti yang tenang dan ayu. Temaram menemani mereka berdua.     

''Apa kamu mau mandi? Dibelakang ada sumur nanti saya ambilkan airnya.'' Ajak Mas Sardi     

Mba Ranti masih tidak menjawab.     

''Ayo.'' Mas Sardi menarik lengan Mba Ranti dengan lembut.     

Mba Ranti hanya menuruti ajakan Mas Sardi. Mas Sardi menggandeng lengan Mba Ranti serta menunjukan jalan. Sementara sisi tangan lainnya memegang sentir. Satu-satunya sumber penerangan ditempat itu.     

Mas Sardi pun memposisikan diri untuk menimba air. Ia membelakangi Mba Ranti. Sementara Mba Ranti melucuti kain satu persatu di badanya. Ia terlihat kebingungan. Kalau ia membasahi jariknya ia akan berpakaian apa nanti.     

Mas Sardi pun menoleh ke arah Mba Ranti . yang ternyata hanya memakai kemben dari jariknya.     

''Kenapa Ran?'' Mba Ranti tidak menjawab. Sementara Mas Sardi memahami kebingungan Mba Ranti. ''Tidak apa-apa lepas saja semuanya. Aku juga akan mandi membelakang imu. Sehingga tidak melihatmu.'' Ucap Mas Sardi     

Mba Ranti hanya menunduk. Sementara Mas Sardi terus menimba untuk memenuhi tandan air agar cukup untuk mereka berdua mandi. Mba Ranti hanya diam menunggu Mas Sardi memenuhi air. Ia duduk di sebuah kotak kecil terbuat dari kayu. Setelah Mas Sardi selesai ia pun membuka celananya. Seketika membuat Mba Ranti memalingkan muka karena malu. Mas Sardi tersenyum. Padahal tersisa celana pendek menempel kulitnya.     

"Sudah ayo mandi, aku menghadap kesini, kamu menghadap kesana. Sabun ada di tengah-tengah ini ya… gayung ada dua gausah kawatir.'' Ucap Mas Sardi.     

Mba Ranti dan Mas Sardi pun saling membelakangi. Mereka saling mengguyur diri dengan air yang begitu dingin dan segar. Bagian intim mereka saling menegang karena dingin. Berbeda dengan Mas Sardi yang punya metode mandi cepat. Mba Ranti mandi dengan metode pelan dan halus, ia mengguyur tubuhnya sedikit demi sedikit.     

Tibalah waktunya mereka mengambil sabun. Namun mereka saling lupa bahwa sabun hanya satu disana. Tangan mereka bertumpuk. Sontak membuat keduanya saling menoleh. Berdesirlah hati keduanya. Merinding menjalar di sekujur tubuh keduanya. Airnya mungkin benar-benar dingin atau perasaan mereka yang sedang memicunya.     

Mba Ranti hendak menarik tanganya namun Mas Sardi dengan sigap menggenggamnya. Dalam remang Mba Ranti menatap mata Mas Sardi. Mereka saling menginginkan. Itulah kalimat yang cocok untuk mereka berdua saat ini. Mas Sardi pun membalikkan badannya. Sementara Mba Ranti memalingkan muka dari Mas Sardi.     

''Sini aku gosok punggungmu.'' Ucap Mas Sardi keberaniannya meningkat bersama dengan waktu yang terus bergulir diantara mereka berdua.     

Mba Ranti hanya diam.     

Dengan pelan Mas Sardi mengambil air lalu mengguyur punggung Mba Ranti.     

Mas Sardi mengelusnya pelan lalu ia mengoleskan sabun dan menggosoknya dengan batu alam yang biasa ia gunakan. Mba Ranti merinding di sekujur tubuh. Ia tahu ini salah. Namun sama halnya Mas Sardi ia juga menginginkannya. Mas Sardi terus menggosok pelan di punggung Mba Ranti. Sementara tangan Mba Ranti menggerayangi dirinya di bagian depan.     

Mas Sardi menggosok dibagian pinggang dan sontak membuat Mba Ranti menggeliat geli. Hal itu malah memncing Mas Sardi untuk melakukan sekali lagi. Sampai akhirnya Mba Ranti tidak kuat menahann entah apa disalam dirinya yang sedang bergejolak saat ini dan ia pun kini memegan tangan Mas Sardi.     

''Mas aku..'' Mba Ranti yang belum menyelesaikan kalimatnya sontak terkejut dengan Mas Sardi yang mulai mencumbui lehernya. Hal itu membuat Mba Ranti menggelinjang geli.     

Mas Sardi meletakkan batunya ia lalu mengambil air dan menyiram punggung Mba Ranti. Mba Ranti tak menolak. Ia terus menikmati sengatan-sengatan Mas Sardi yang tak pernah sekalipun ia rasakan. Sesekali Mba Ranti melenguh. Ia tak tahu sensasi apa yang sedang ia rasakan. Ia hanyalah menikmati setiap hal yang kini sedang Mas Sardi ajarkan.     

Mas Sardi pun memeluk Mba Ranti. Sehingga kulit punggung Mba Ranti menempel pada dada Mas Sardi. Mereka sama-sama tak kuasa menahannya. Mas Sardi pun semakin tak sanggup lagi. Dan mereka saling bercumbu mengisi ruang ragu-ragu diantara masing-masing.     

Mba Ranti menengadah,terpejam. Kepalanya bersandar pada bahu Mas Sardi. Napas mereka saling memburu. Antara lelah dan nikmat. Mba Ranti yang tak pernah merasakan kenikmatan semacam ini pun menunduk.     

Lalu Mas Sardi mengarahkan tubuh Mba Ranti ke arahnya. Mba Ranti masih menunduk. Mungkin ia malu. Batin Mas Sardi.     

''Nanti setrelah menikah, kita akan melakukan hal seperti ini.''     

Sontak Mba Ranti menatap Mas Sardi yang sedang membersihkan tubuh Mba Ranti.     

Mba Ranti hanya diam dan menatapnya. Pada titik ini, Mba Ranti menyadari ia kini telah dewasa.     

Pada akhirnya Mas Sardi mengantar Mba Ranti untuk pulang.mereka berjalan beriringan. Meraba-raba jalanan gelap, meski Mas Sardi sempat berpikir untuk menhan Mba Ranti lebih lama, namun ia mengurungkannya. Ia tak mau memaksa gadis polos seperti Mba Ranti. Ia tak mau Mba Ranti salah sangka dan malah berbalik membencinya. Ia hanya berharap setelah ini, semoga besok ia dapat kabar baik darinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.