PERNIKAHAN TANPA RENCANA

79



79

0Aku bahkan sudah bersiap jika saja Mba akan melempariku dengan kata-kata kotor, air atau bahkan sebuah tamparan. Hanya saja aku khawatir dengan anakku. Tapi beruntung sekali aku, ternyata Mba Santi benar-benar mirip Kristina.     

Kristina itu selalu punya pendirian. Ia tak pernah mau merepotkan orang lain apalagi melukai. Dia pandai dalam hal menyenangkan orang lain. Saat bicara ia begitu tegas. Ia ng tak pernah menjalani hal-hal yang merugikan orang lain, apalagi kalau harus melukai.     

Dia orang yang terlihat garang dari luar tatapannya namun sangat lembut dalam hatinya. Dan wajahnya sangatlah mirip denganmu. Itu lah kenapa Mas David begitu ingin memilikimu. Dia sudah jatuh cinta dengan Mba sejak awal."     

Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan suara yang lirih. Aku merasa bersalah sekaligus sakit. Mengapa aku harus mengalami hal serumit ini dalam hal asmara. Lagi dan lagi. Sakit sekali sebenarnya, aku harus merelakan orang yang membuat hatiku berdebar setiap kali bertemu dengannya. Tapi apakan di benarkan jika kau tetap bertahan? Ku kira bahkan Tuhan juga akan mengutuk perilaku itu. dan satu hal lagi, aku tidak akan menjadi nomor dua untuk siapa pun.     

Wanita kristen bernama Kiranan itu pun berdiri. Ia tersenyum kepadaku. Aku pun juga tersenyum kepadanya. Kami berpelukan, aku mencium pipi anaknya. Dia berpamitan untuk pulang. Aku pun mengantarnya hingga ke gerbang. Lalu sosoknya lenyap bersama dengan aku yang melangkah masuk ke dalam rumah.     

Aku bergegas menyelesaikan tugasku. Pikiranku benar-benar tak fokus jika harus terus mengerjakan ini dan itu. sebaiknya ku sudahi, sebelum semuanya menjadi kacau , asalkan sudah masak untuk majikan.     

Aku menuju kamar. Kurebahkan tubuhku yang lelah. Terasa tulang berbunyii dari daerah punggung. Memang pekerjaan yang tak ada habisnya itu pekerjaan rumah tangga. Aku menoleh ke arah jam dinding yagn ada di kamarku. Ku lihat ia menunjukkan pukul setengah dua siang. Aku menghela nafas. Lusi belum pulang juga sejak tadi. Apa dia ini tidak tahu kalau sebnetar lagi Mas Aden segera datang?.     

Selain itu aku memmbutuhkannya untuk menjadi tempat sampah untuk penuhnya isi kepalaku. Dia satu-satunya orang yang bisa menjadi tempat berbincangku. Selain itu dia pasti punya segudang solusi untukku. Mengingat dia adalah pakarnya pemberi nasihat.     

Aku terbangun oleh suara mobil di luar. Klakson nya berbunyi lagi lalu menderu dan suara itu menghilang. Aku hendak keluar namun ku dengar seseorang membuka pintu. Itu pasti Mas Aden. Tapi masih terlalu awal dia pulang. Akhir-akhir ini dia pulang di antarkan temannya. Sementara mobilnya masih terparkir di garasi dengan cantik.     

Alu menyambutnya dengan senyuman seperti biasanya. Ia hanya melirikku dan tersenyum sekenanya. Aku menghela nafas. Namun itu tak berguna sama sekali untuknya. Ia lalu menyuruhku menyiapkan es kopi. Dahiku berkerut. Tak biasanya ia minum kopi. Tapi aku segan untuk komplain. Jadi ku siapkan saja apa yang di suruhnya.     

Ku ketuk pintu kamar mas Aden. Lalu ku buka, kulihat ia masih di kamar mandi. Aku bermaksud untuk menaruh gelasnya di atas nakas sisi ranjangnya. Aku berjalan ke arah nakas itu. namun tiba-tiba saja suara pintu kamar mandi terdengar. Dan dibukalah pintu itu dari arah dalam. Keluar sosok Mas Aden dari dalamnya.     

Mas Aden melenggang ke arah almari yang berada di tembok sebelah kiri. Benda yang terbuat dari kayu itu berdiri kokoh menyaksikan aku dan mas Aden. Semnetara aku terpaku memalingkan muka.     

"Kenapa? " Ucapnya. Aku masih memejamkan mataku sementara nampan masih ku pegang.     

"Ahh…aku mau menaruh ini mas," Ucapku jujur padanya.     

"Taruh itu. lalu ambilkan bajuku." Perintahnya.     

Aku terkejut dengan perintahnya kali ini. Selama ini aku tidak pernah bertugas untuk mengambilakn bajunya. Itu sudah berakhir sekitar bertahun-tahun yang lalu. Dia sering mengatakan kalau dia malu di lihat saat sedang bertelanjang dada di hadapanku. Apa yang terjadi sekarang?     

Dia duduk dan menggunakan tangannya di sebagai tumpuan ke belakang. Seolah menggodaku. Aku menarik nafas. Bocah ini sudah melewati batas. Aku mencarikan baju yang biasa dia pakai saat sore hari. Akhirnya ku temukan kaos pendek berwarna navy berhoodi dan celana yang panjangnya tiga seperempat. Aku hendak mengangkatnya dari gantungan. Tiba-tiba dia menginterupsi.     

"Aku tidak mau yang itu." ucapnya padaku.     

Aku dibuat termenung dengan pernyataan yang Lusi baca dari bukunya itu. ia menutup bukunya dan menatapku datar. Sementara aku, penuih dengan rasa cemas akan mas Ade.     

"Itu tidak mungkin Lus, aku sudah merawatnya bertahun-tahun. Tapi tidak pernah melihat tanda-tanda yang kamu sebutkan." Ucapku.     

"Iya. Aku berharap juga begitu Mba. Tetapi, hal itu terjadi hari ini. Bisa jadi sindromnya itu muncul atas kekecewaannya terhadap Mba. Orang yang dia cintai." Ucapnya. Aku terdiam tak mampu memikirkan apa pun.     

Keeseokan harinya. Seorang wanita datang di siang hari. Kebetulan tak ada orang di rumah. Beberapa menit yang lalu Lusi pergi. Dia mengatakan ini kesempatan untuknya jalan-jalan saat Mas Aden kerja. Aku mencibir kelakuannya itu. mulai dari kemarin aku sedikit memiliki penilaian berbeda tentang Lusi. Dia cukup cerdas meski kelakuannya sedikit eksentrik. Danaku mulai menerimanya. Sehingga kami menjadi lebih akrab.     

Aku membukakan pintu untuknya. Wanita itu menatapku dengan datar. Kutanya apa tujuannya ke sini. Ia diam saja. Detik kemudian aku menatap wajah anak dalam gendongannya. Aku tersenyum kepada bocah itu. ia juga tersenyum kepadaku. Lalu aku mnyadari dari senyuman bocah itu. sangat jelas itu adalah senyuman yang tercetak di wajah Mas David.     

Namun detik berikutnya wanita itu mengatakan untuk berbicara padaku. Aku yangterkejut menjadi terkejut lagi dengan perkataannya itu. Detik kemudian aku mulai gugup. Mungkinkah Ia adalah Kirana? Wanita yang Lusi sebutkan namanya tempo hari.     

Dia nampak mentapku dengan begitu intens. Seolah taapannya menyiratkan bahwa ia mengenalku. Tapi itu tidak mungkin kan? Ini adalah pertama kalinya kami bertemu. Aku sedikit salah tingkah sebenarnya.Tidak bisa ku perkirakan sebenarnya apa yang akan ia lakukan kepadaku.     

Wajahnya ayu dengan sanggul di kepalanya, terlihat sangat cantik jika di bandingkan aku. Dia juga feminim layaknya seorang wanita ningrat. Menggendong seorang bocah yang masih belia. Bocah itu berkulit putih ssama seperti Mas David. Mata, hidung dan senyumannya adalah milik Mas David. Sementara sisanya adalah warisan dari ibunya. Ya, wanita di hadapanku ini.     

Aku pun iba terhadap mereka. Meski mereka diam saja saat ku tanyai tujuannya ke sini. Aku tetap mempersilahkan mereka untuk duduk. Kuajak mereka duduk di teras. Ia hanya mengikutiku. Lalu ku tinggalkan mereka seb1àentar untuk menyiapkan minuman untuk mereka minum.     

Aku memberinnya masing-masing the hangat. Detik kemudian aku duduk di hadapan mereka. Wanita itu masih saja diam. Aku pun mulai pembicaraan.     

"Mba…kalau mba datang ke sini untuk berbicara kepadaku. Silahkan. Aku akan mendengarkan." Ucapku kepadanya. Ia menatapku lagi. Kali ini mungkin kepercayaan dirinya mulai tumbuh.     

Ia membenarkan posisi duduk anaknya. Anaknya begitu pintar hanya mendengar dan diam saja.     

"Mba Santi…" awal yang keluar dari mulutnya adalah namaku. Dia sampai mengetahui namaku? Batinku.     

Namun suaranya begitu lemah. Memupuk rasa iba yang ada dalam hatiku. Aku merasa di sini aku adalah seorang antagonis. Aku tidak menjawab panggilannya. Sengaja. Dia menarik nafas pelan. Mengumpulkan keberaniannya kembali. Lalu satu hal yang paling tidak bisa ku lihat. Air mata wanita.     

Seorang wanita yang tak kukenal menangis di depanku. Tanpa mengatakan apa pun dan tanpa suara apa pun. Yang ku sesalkan lagi adalah anaknya yang juga menatapnya. Hatiku tak karuan rasanya. Terasa seperti wanita itu hendak menceritakan kepadaku bebannya yang menggunung. Tatapannya yang sayu memperparah segalanya.     

Aku memberinya sebuah tissu. Sebelum anaknya mengusap-ngusap wajahnya lebih jauh. Aku tidak tahan lagi. Akhirnya aku mengatakan apa yang terbendung di dalam benakku.     

"Aku dan mas David tidak berhubungan seperti yang sampen pikirkan Mba…"Ucapku lalu menangis dengan penuh rasa penyesalan.     

"Aku hanya mengaguminya, dan tidak lebih dari itu. dan setelah aku tahu fakta bahwa ia beristri. Aku berhenti menemuinya. Meski, rasanya begitu berat. Aku sedang berusaha Mba… mohon pahamilah perasaanku." Ucapku penuh permohonan kepadanya.     

Sudah beberapa minggu ini aku tak menemui Mas David. Aku berusaha menghindarinya dengan pergi terlebih dahulu. Namun anehnya Mas David terus saja menemukan keberadaanku.     

"Akhir-akhir ini aku sudah menghindarinya, tapi dia terus saja menemukan keberadaanku." Ucapku.     

Dia terus mentapku. Mungkin kini gilirannya yang bingung.     

"Apa Mba yang itu sudah memberitahumu Mba Santi?" tanyanya.     

"hah?" aku kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. Maksudnya mungkin Lusi.     

Dia memberiku tissu.     

"ohh,,, Lusi maksud Mba? Iya, dia memberitahuku tentang kedatangan Mba saat itu." ucapku padanya sambil menghapus air mata yang menggenang di pipiku.     

"Sebenarnya ada banyak hal yang belum ku ceritakan kepadanya Mba…"ucapnya. "Tapi aku takut jika aku membuat kesalahan seandainya aku mengucapkan kepada orang lain." Dia berhenti sejenak. Lalu melanjutkan kalimatnya."Karena itu aku ke sini dan ingin mengucapkan semuanya kepadamu langsung Mba.." ucapnya yang terakhir.     

Aku sedikit terkejut. Yang kubayangkan bukan ini. Mungkin setidaknya ia marah kepadaku. Atau memakiku, atau bahkan menyiramku dengan segelas air. Namun hal alin malah datang bersamanya. Kini rasa penaaranku lah yang membumbung tinggi. Sebenarnya apa hal yang tidak aku ketahui namun dia lebih tahu itu? bukankah aneh? Kita sama sekali tak pernah berhubungan, tak memiliki ikatan apa pun.     

"Kalau boleh tanya sejak kapan Mba kenal dengan Mas David?" tanyanya, aku bingung hendak menjawab. Aku sendiri lupa.     

Lalu aku pun ingat seketika. Hari itu adalah hari di mana Mas Aden di marahi ibunya. Dan setelah itu syukuran. Lalu hari minggunya aku pergi ke pasar dan bertemu dengan Mas David.     

"Ah aku ingat, itu adalah hari saat Mas Aden syukuran untuk kembalinya ia dari timor-timor." Ucapku padanya.     

"Lalu?" tanyanya. Dahiku berkerut. Kenapa sekarang aku merasa seperti sedang di interogasi?     

"ah… supaya bisa kuruntutkan cerita ini. Aku harus tahu awal mulanya." Ucap wanita itu lagi. akhirnya aku pun percaya saja dengannya.     

"Ya dalam minggu itu aku mengalami beberapa masalah di rumah. Dengan Mas Aden dan juga dengan bapak dan ibu." Ucapku. Dia nampak menunggu ucapanku selanjutnya. Hampir saja kuceritakan semuanya. Aku pun menyadari itu tidak mungkin ku bagi dengan orang asing yang bahkan belum aku kenal. Aku berdehm.     

"hmm…ya setelah itu ada acara syukuran di rumah kami, lalu hari minggunya aku libur. Dan di hari minggu itu aku pergi ke pasar. Di sanalah aku bertemu dengan Mas David. Ah..iya Mas David juga mengatakan bahwa dia tahu namaku dari acara tersebut." Ucapku. "sebenarnya waktu itu aku membuat keributan, itulah kenapa orang-orang mungkin jadi mengenalku." Lanjutku dengan wajah yang malu.     

Wanita itu mengangguk-angguk.     

"Tapi Mas David tidak menghadiri acara itu mba.". ucapnya. Sontak aku terkejut.     

"HAH!" yang di ucapkan wanita itu benar-benar membuatku bingung.     

Aku terkejut dengan penuturan wanita bernama Kirana itu. ia sam aseklai mengatakan hal tak masuk akal. Jika demikian ceritanya, lalu bagaimana Mas David bisa mengenalku.     

"Lalu bagaimana caranya Mas David mengenaliku tiba-tiba? Di terawang? Hahahha.." ucapku sarkastik kepadanya. Lalu ku ambil gelas the ku dan ku seruput pelan cairan berwarna cokelat itu.     

Ia masih menampakkan wajah datar. Sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan kami.     

"Itu karena Pak Setya sudah datang ke rumah kami sebelumnya. Waktu itu pada hari jumat. Dia mendatangi rumah kami dengan sebuah agenda busuk dan kejam." Ucapnya.     

"Hah!???" aku semakin terkejut dan ternganga di buat wanita di sisiku ini. Hampir saja ku semburkan the di dalam mulutku ini ke arahnya.     

"Apa dia sekarang di rumah?" tanyanya. Aku masih menatapnya nanar. Hatiku yang semula sakit karena perilaku Bapak di belakangku kini kian sakit dangan fakta yang wanita ini ucapkan. Aku menggelengkan kepalaku. Dalam hatiku tak ingin mempercayai perkatannya.     

"Hahaha.." aku menanggapi ucapan yang baru saja wanita itu ucapkan dengan lelucon. Semua karangannya memang terdengar lucu.     

"Kamu pikir aku mengada-ada Mba?" tanyanya dengan tegas. Sontak aku terdiam. Dia terlihat mengerikan dari sebelumnya.     

"Tidak ada jaminan kalau ucapanmu itu benar. Aku juga tidak sepenuhnya percaya denganucapan orang asing." Ucapku tegas dan mulai serius.     

"Baiklah itu terserah kamu saja. Tapi dengarkan ceritaku dan nilai sendiri apakan ada karangan yang aku buat. Atau semua adalah fakta yang harus kamu terima." Ucapnya semakin tegas saja. Aku pun tak ingin kalah dengan personanya. Ia tak ku ijinkan untuk menguasai emosiku. Tak akan ku biarkan.     

"Iya." Jawabku.     

"Apa kamu tahu kalau Pak setya itu sebenarnya teman dekat ayah mertuaku?" aku menggeleng. Teman Bapak yang aku tahu hanyalah mereka yang biasa berkunjung. Sementara Mas David tak pernah sekali pun ku lihat wajahnya di rumah ini sebelum aku mengenalnya.     

"Sayangnya ayah mertuaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu." Lanjut ceritanya.     

Pantas saja. Batinku.     

"Sebelum kalian pindah, pak setya bisa di katakan sering berkunjung ke rumah kami. Itulah kenapa aku cukup familiar dengannya. Rumah yang kalian sewa ini adalah rumah milik ayah mertuaku yang di sewakan kepadanya."     

Aku di buat ternganga oleh fakta demi fakta yang di katakan wanita itu.     

"Saat itu Pak setia datang ke rumah kami. Aku sedang di dalam. Jadilah Mas David yang menemuinya. Aku hanya keluar untuk menghidangkan teh kepadanya. Lalu aku masuk kembali. Tapi dari yang ku dengar sedikit percakapan mereka. Pak Setya nampak emmohon-mohon. Aku juga melihat tas koper kecil di atas meja." Cerita wanita itu semakin tak masuk akal namun mulai runtut alurnya.     

"Entah apa yang terjadi setelah itu. Pak Setya pulang dengan kopernya. Mas David pun masuk. Sejak hari itu Ia mulai gusar. Hingga malam menjelang. Saat itu lah aku menanyakan apa yang terjadi sebenarnya dengannya. Barulah di tengah malam itu Mas David mulai menceritakan semuanya kepadaku. Atau lebih tepatnya ia meminta ijin kepadaku.     

Dia mengatakan Pak Setya membawa uang dalam koper itu. pak setya terlihat putus asa sampai-sampai dalam pikirannya hanyalah memberikan uang kepada Mas David. Dia bilang dia ingin menyelamatkan masa depan anaknya. Kemudian Mas David muali menceritakan apa yang terjadi dengan anak Pak setya. Mulai dari ia membawa Mba ke timor-timor, hingga pertengkaran yang terjadi di antara ayah dan anak itu. dan ternyata anaknya jatuh cinta dengan Mba.     

Sayangnya Pak setya memandang rendah Mba Santi. Sehingga Ia dengan kurang ajarnya menyuruh Mas David untuk mendekati Mba hanya agar Aden menyerah dengan Mba Santi. Apakah berhasil?" aku menggelengkan kepala. Faktanya semuanya gagal total.     

"Menurutku sangat tidak masuk akal tindakan Pak setya itu. sangat kurang ajar. Namun Mas David yang merasa sungkan berulang kali mengatakan kepadaku ini hanyalah sebentar. Dan tak akan lebih dari sekedar jalan keluar saja. Aku yang setiap hari melihat dia murung pun akhirnya tak kuasa juga. Aku tahu dia terbebani rasa sungkan. Begitu berat untuk menolak Pak Setya. Belum lagi Pak setya adalah komandan di batalyonnya.     

Akhirnya aku mengijinkannya. Namunaku memberinya waktu hanya sampai satu bulan. Jika satu bulan tak berhasil maka cukup. Namun jika belum satu bulan sudah berhasil membuat Aden menjauhi Mba Santi, Maka saat itu juga Mas David harus menghentikannya.     

Itu jauh sebelum aku tahu kalau Mba Santi memiliki paras persis seperti Mba Kristina."     

Kirana menghembuskan nafas. Aku yang terus di bubuhi cerita darinya hanya mampu diam dan terus mencerna. Sebenarnya hal itu juga memupuk amarahku. Amarah untuk posisiku yang semalang ini. Terasa malu dan pilu.     

Dia memulai lagi ceritanya yang sampai kini tak ku ketahui kapan akhir dari ceritanya. Namun seluruhnya mampu membuatku terkejut bukan main.     

"Aku melihat kalian ada di bioskop. Dan aku melihat Mba Santi untuk pertama kalinya. Kukira saat itu sudah berakhir. Hubungan kalian sudah di akhiri seperti semestinya. Hatiku rasanya sakit bukan main melihat kalian berjalan seolah sejoli yang sedang berpacaran. Ingin aku berteriak menghampiri kalian dan ku pukul kamu Mba. Tapi aku tahu kamu tidak tahu apa-apa. Lalu yang ku lakukan adalah menutup mata anakku dan menjauh dari kalian.     

Saat itulah aku mulai membuntuti kalian. Hubunganantara aku dan Mas David menjadi kacau. Mas David mulai tidak memperdulikan kami. Dia juga tidak mendengarkan ucapanku lagi. Dia mulai pulang terlambat. Dan dia selalu terlihat kelelahan. Biasanya setiap hari minggu dia mengajak anak kami jalan-jalan namun tak pernah lagi.     

Aku mulai tidak tahan dengan keadaan itu. lalu aku pergi ke sini bermaksud untuk mengatakan semuanya kepada mba, tetapi aku tidak menemuimu. aku hanya bisa pulang dengan tangan kosong.     

Karena itu Mba. Sungguh yang Mba lakukan itu bisa melukai mba sendiri dan sangat melukai hati saya dan keluarga saya. Meski sepenuhnya semua bukan kesalahan Mba, tapi kumohon. Hanya mba lah kunci dari semuanya. Agar semuanya bisa terhenti. Hentikan perasaan mas david, sadarkan dia bahwa mba kristina itu sudah meninggal."     

Dia wanita malang yang ku temui di Makassar ini. Untuk pertama kalinya seorang wanita menangis tersedu-sedu di hadapanku. Tanpa sadar air mataku luruh juga. Keadaanku yang semakin rumit. Dan wanita ini yang telah berhasil membuat seluruh rasa iba ku tumpah kepadanya.     

Ku berikan usapan ke punggung tangannya. Meski sebenarnya aku lah yang paling tersakiti di sini. Aku tak ingin menumpahkan emosiku kepada wanita lemah ini. Aku mungkin akan terjatuh karena ini. Namun, tidak sekarang. Jangan. Jangan dulu.     

Aku menenangkan wanita itu. Aku kasihan kepadanya dan juga anaknya yang terua menatapnya bingung. Sesekali aku menggodanya agar tak rewel. Sangat kasihan jika mereka pulang dan anaknya malah rewel.     

Aku menjanjikan satu hal kepadanya, yaitu kepastian bahwa aku akan meninggalkan Mas David. Yang sebenarnya sudah mulai ku lakukan. Beberapa minggu yang lalu. Tapi aku tak bisa ikut bertanggung jawab apakah rumah tangga mereka akan membaik setelah itu. Aku berpikir sejenak. Ku tarik nafasku dalam-dalam agar otakku dapat terpenuhi kebutuhan oksigennya. Sehingga aku bisa berpikir dengan jernih tanpa terpengaruhi oleh hatiku yang kacau.     

"Aku sedang berusaha menjauhi Mas David Mba." Ucapku pelan. Ia terlihat mendengarkan dengan baik setelah air matanya tershapus seluruhnya dari wajahnya. Dan kini hanya sembab yang tersisa.     

"Tapi, sekali saja ijinkan aku menemui dia. Agar aku bisa memberi pengertian kepadanya." Pintaku. Terlihat Kirana merasa berat untuk melakukan itu. Namun detik kemudian ia menarik nafas.     

Dan mengatakan. "Baik. Lakukanlah dengan baik Mba Santi. Satu-satunya harapanku adalah mba santi. Jika Mas David mau merelakan Mba Santi saya akan sangat berterima kasih seumur hidup saya kepadamu." Ucapnya.     

"Tidak perlu seperti itu Mba. Aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya ingin mengembalikan semua kembali ke keadaan semula. Aku tidak mau semua semakin jauh dan semakin sulit melepaskan. Aku juga tidak mau menyakiti wanita lain." Aku menunduk.     

Ia lalu meraih tanganku." Kamu wanita baik Mba, aku berpikir seribu kali saat akan mendatangimu ke sini. Tentu saja dengan perasaan yang kacau. Dan penuh ketakutan. Aku bahkan sudah bersiap jika saja Mba akan melempariku dengan kata-kata kotor, air atau bahkan sebuah tamparan. Hanya saja aku khawatir dengan anakku. Tapi beruntung sekali aku, ternyata Mba Santi benar-benar mirip Kristina.     

Kristina itu selalu punya pendirian. Ia tak pernah mau merepotkan orang lain apalagi melukai. Dia pandai dalam hal menyenangkan orang lain. Saat bicara ia begitu tegas. Ia ng tak pernah menjalani hal-hal yang merugikan orang lain, apalagi kalau harus melukai.     

Dia orang yang terlihat garang dari luar tatapannya namun sangat lembut dalam hatinya. Dan wajahnya sangatlah mirip denganmu. Itu lah kenapa Mas David begitu ingin memilikimu. Dia sudah jatuh cinta dengan Mba sejak awal."     

Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan suara yang lirih. Aku merasa bersalah sekaligus sakit. Mengapa aku harus mengalami hal serumit ini dalam hal asmara. Lagi dan lagi. Sakit sekali sebenarnya, aku harus merelakan orang yang membuat hatiku berdebar setiap kali bertemu dengannya. Tapi apakan di benarkan jika kau tetap bertahan? Ku kira bahkan Tuhan juga akan mengutuk perilaku itu. dan satu hal lagi, aku tidak akan menjadi nomor dua untuk siapa pun.     

Wanita kristen bernama Kiranan itu pun berdiri. Ia tersenyum kepadaku. Aku pun juga tersenyum kepadanya. Kami berpelukan, aku mencium pipi anaknya. Dia berpamitan untuk pulang. Aku pun mengantarnya hingga ke gerbang. Lalu sosoknya lenyap bersama dengan aku yang melangkah masuk ke dalam rumah.     

Aku bergegas menyelesaikan tugasku. Pikiranku benar-benar tak fokus jika harus terus mengerjakan ini dan itu. sebaiknya ku sudahi, sebelum semuanya menjadi kacau , asalkan sudah masak untuk majikan.     

Aku menuju kamar. Kurebahkan tubuhku yang lelah. Terasa tulang berbunyii dari daerah punggung. Memang pekerjaan yang tak ada habisnya itu pekerjaan rumah tangga. Aku menoleh ke arah jam dinding yagn ada di kamarku. Ku lihat ia menunjukkan pukul setengah dua siang. Aku menghela nafas. Lusi belum pulang juga sejak tadi. Apa dia ini tidak tahu kalau sebnetar lagi Mas Aden segera datang?.     

Selain itu aku memmbutuhkannya untuk menjadi tempat sampah untuk penuhnya isi kepalaku. Dia satu-satunya orang yang bisa menjadi tempat berbincangku. Selain itu dia pasti punya segudang solusi untukku. Mengingat dia adalah pakarnya pemberi nasihat.     

Aku terbangun oleh suara mobil di luar. Klakson nya berbunyi lagi lalu menderu dan suara itu menghilang. Aku hendak keluar namun ku dengar seseorang membuka pintu. Itu pasti Mas Aden. Tapi masih terlalu awal dia pulang. Akhir-akhir ini dia pulang di antarkan temannya. Sementara mobilnya masih terparkir di garasi dengan cantik.     

Alu menyambutnya dengan senyuman seperti biasanya. Ia hanya melirikku dan tersenyum sekenanya. Aku menghela nafas. Namun itu tak berguna sama sekali untuknya. Ia lalu menyuruhku menyiapkan es kopi. Dahiku berkerut. Tak biasanya ia minum kopi. Tapi aku segan untuk komplain. Jadi ku siapkan saja apa yang di suruhnya.     

Ku ketuk pintu kamar mas Aden. Lalu ku buka, kulihat ia masih di kamar mandi. Aku bermaksud untuk menaruh gelasnya di atas nakas sisi ranjangnya. Aku berjalan ke arah nakas itu. namun tiba-tiba saja suara pintu kamar mandi terdengar. Dan dibukalah pintu itu dari arah dalam. Keluar sosok Mas Aden dari dalamnya.     

Mas Aden melenggang ke arah almari yang berada di tembok sebelah kiri. Benda yang terbuat dari kayu itu berdiri kokoh menyaksikan aku dan mas Aden. Semnetara aku terpaku memalingkan muka.     

"Kenapa? " Ucapnya. Aku masih memejamkan mataku sementara nampan masih ku pegang.     

"Ahh…aku mau menaruh ini mas," Ucapku jujur padanya.     

"Taruh itu. lalu ambilkan bajuku." Perintahnya.     

Aku terkejut dengan perintahnya kali ini. Selama ini aku tidak pernah bertugas untuk mengambilakn bajunya. Itu sudah berakhir sekitar bertahun-tahun yang lalu. Dia sering mengatakan kalau dia malu di lihat saat sedang bertelanjang dada di hadapanku. Apa yang terjadi sekarang?     

Dia duduk dan menggunakan tangannya di sebagai tumpuan ke belakang. Seolah menggodaku. Aku menarik nafas. Bocah ini sudah melewati batas. Aku mencarikan baju yang biasa dia pakai saat sore hari. Akhirnya ku temukan kaos pendek berwarna navy berhoodi dan celana yang panjangnya tiga seperempat. Aku hendak mengangkatnya dari gantungan. Tiba-tiba dia menginterupsi.     

"Aku tidak mau yang itu." ucapnya padaku.     

Aku mengembalikan baju-baju itu ke dalam tempatnya semula. Ku pilihkan baju yang lain. Sebuah kemeja berlengan pendek dan boxer berwarna hitam. Ku ambil keduanya dan hendak berbalik ke arahnya. Namun lagi-lagi dia tidak menginginkannya.     

"Ck.." Bukan yang itu Mba.     

Tanpa sadar. Dengan begitu cepat Ia beranjak dari ranjangnya. Kemudian dengan cepat pula Ia berdiri dan berada di belakangku. Waangi sabun beraroma camelia punmenguar di seluruh indera penciumanku. Ku lihat lengannya tepat berada di samping kepalaku. Dadanya hampir menyentuh punggungku. Seluruh tubuhku pun menegang. Tak ada yang bisa ku lakukan selain diam dan memejamkan mata.     

Tiba-tiba saja pintu terbuka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.