PERNIKAHAN TANPA RENCANA

78. Wanita dengan air matanya(ERROR)



78. Wanita dengan air matanya(ERROR)

0Aku dibuat termenung dengan pernyataan yang Lusi baca dari bukunya itu. ia menutup bukunya dan menatapku datar. Sementara aku, penuih dengan rasa cemas akan mas Ade.     

"Itu tidak mungkin Lus, aku sudah merawatnya bertahun-tahun. Tapi tidak pernah melihat tanda-tanda yang kamu sebutkan." Ucapku.     

"Iya. Aku berharap juga begitu Mba. Tetapi, hal itu terjadi hari ini. Bisa jadi sindromnya itu muncul atas kekecewaannya terhadap Mba. Orang yang dia cintai." Ucapnya. Aku terdiam tak mampu memikirkan apa pun.     

Keeseokan harinya. Seorang wanita datang di siang hari. Kebetulan tak ada orang di rumah. Beberapa menit yang lalu Lusi pergi. Dia mengatakan ini kesempatan untuknya jalan-jalan saat Mas Aden kerja. Aku mencibir kelakuannya itu. mulai dari kemarin aku sedikit memiliki penilaian berbeda tentang Lusi. Dia cukup cerdas meski kelakuannya sedikit eksentrik. Danaku mulai menerimanya. Sehingga kami menjadi lebih akrab.     

Aku membukakan pintu untuknya. Wanita itu menatapku dengan datar. Kutanya apa tujuannya ke sini. Ia diam saja. Detik kemudian aku menatap wajah anak dalam gendongannya. Aku tersenyum kepada bocah itu. ia juga tersenyum kepadaku. Lalu aku mnyadari dari senyuman bocah itu. sangat jelas itu adalah senyuman yang tercetak di wajah Mas David.     

Namun detik berikutnya wanita itu mengatakan untuk berbicara padaku. Aku yangterkejut menjadi terkejut lagi dengan perkataannya itu. Detik kemudian aku mulai gugup. Mungkinkah Ia adalah Kirana? Wanita yang Lusi sebutkan namanya tempo hari.     

Dia nampak mentapku dengan begitu intens. Seolah taapannya menyiratkan bahwa ia mengenalku. Tapi itu tidak mungkin kan? Ini adalah pertama kalinya kami bertemu. Aku sedikit salah tingkah sebenarnya.Tidak bisa ku perkirakan sebenarnya apa yang akan ia lakukan kepadaku.     

Wajahnya ayu dengan sanggul di kepalanya, terlihat sangat cantik jika di bandingkan aku. Dia juga feminim layaknya seorang wanita ningrat. Menggendong seorang bocah yang masih belia. Bocah itu berkulit putih ssama seperti Mas David. Mata, hidung dan senyumannya adalah milik Mas David. Sementara sisanya adalah warisan dari ibunya. Ya, wanita di hadapanku ini.     

Aku pun iba terhadap mereka. Meski mereka diam saja saat ku tanyai tujuannya ke sini. Aku tetap mempersilahkan mereka untuk duduk. Kuajak mereka duduk di teras. Ia hanya mengikutiku. Lalu ku tinggalkan mereka sebentar untuk menyiapkan minuman untuk mereka minum.     

Aku memberinnya masing-masing the hangat. Detik kemudian aku duduk di hadapan mereka. Wanita itu masih saja diam. Aku pun mulai pembicaraan.     

"Mba…kalau mba datang ke sini untuk berbicara kepadaku. Silahkan. Aku akan mendengarkan." Ucapku kepadanya. Ia menatapku lagi. Kali ini mungkin kepercayaan dirinya mulai tumbuh.     

Ia membenarkan posisi duduk anaknya. Anaknya begitu pintar hanya mendengar dan diam saja.     

"Mba Santi…" awal yang keluar dari mulutnya adalah namaku. Dia sampai mengetahui namaku? Batinku.     

Namun suaranya begitu lemah. Memupuk rasa iba yang ada dalam hatiku. Aku merasa di sini aku adalah seorang antagonis. Aku tidak menjawab panggilannya. Sengaja. Dia menarik nafas pelan. Mengumpulkan keberaniannya kembali. Lalu satu hal yang paling tidak bisa ku lihat. Air mata wanita.     

Seorang wanita yang tak kukenal menangis di depanku. Tanpa mengatakan apa pun dan tanpa suara apa pun. Yang ku sesalkan lagi adalah anaknya yang juga menatapnya. Hatiku tak karuan rasanya. Terasa seperti wanita itu hendak menceritakan kepadaku bebannya yang menggunung. Tatapannya yang sayu memperparah segalanya.     

Aku memberinya sebuah tissu. Sebelum anaknya mengusap-ngusap wajahnya lebih jauh. Aku tidak tahan lagi. Akhirnya aku mengatakan apa yang terbendung di dalam benakku.     

"Aku dan mas David tidak berhubungan seperti yang sampen pikirkan Mba…"Ucapku lalu menangis dengan penuh rasa penyesalan.     

"Aku hanya mengaguminya, dan tidak lebih dari itu. dan setelah aku tahu fakta bahwa ia beristri. Aku berhenti menemuinya. Meski, rasanya begitu berat. Aku sedang berusaha Mba… mohon pahamilah perasaanku." Ucapku penuh permohonan kepadanya.     

Sudah beberapa minggu ini aku tak menemui Mas David. Aku berusaha menghindarinya dengan pergi terlebih dahulu. Namun anehnya Mas David terus saja menemukan keberadaanku.     

"Akhir-akhir ini aku sudah menghindarinya, tapi dia terus saja menemukan keberadaanku." Ucapku.     

Dia terus mentapku. Mungkin kini gilirannya yang bingung.     

"Apa Mba yang itu sudah memberitahumu Mba Santi?" tanyanya.     

"hah?" aku kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. Maksudnya mungkin Lusi.     

Dia memberiku tissu.     

"ohh,,, Lusi maksud Mba? Iya, dia memberitahuku tentang kedatangan Mba saat itu." ucapku padanya sambil menghapus air mata yang menggenang di pipiku.     

"Sebenarnya ada banyak hal yang belum ku ceritakan kepadanya Mba…"ucapnya. "Tapi aku takut jika aku membuat kesalahan seandainya aku mengucapkan kepada orang lain." Dia berhenti sejenak. Lalu melanjutkan kalimatnya."Karena itu aku ke sini dan ingin mengucapkan semuanya kepadamu langsung Mba.." ucapnya yang terakhir.     

Aku sedikit terkejut. Yang kubayangkan bukan ini. Mungkin setidaknya ia marah kepadaku. Atau memakiku, atau bahkan menyiramku dengan segelas air. Namun hal alin malah datang bersamanya. Kini rasa penaaranku lah yang membumbung tinggi. Sebenarnya apa hal yang tidak aku ketahui namun dia lebih tahu itu? bukankah aneh? Kita sama sekali tak pernah berhubungan, tak memiliki ikatan apa pun.     

"Kalau boleh tanya sejak kapan Mba kenal dengan Mas David?" tanyanya, aku bingung hendak menjawab. Aku sendiri lupa.     

Lalu aku pun ingat seketika. Hari itu adalah hari di mana Mas Aden di marahi ibunya. Dan setelah itu syukuran. Lalu hari minggunya aku pergi ke pasar dan bertemu dengan Mas David.     

"Ah aku ingat, itu adalah hari saat Mas Aden syukuran untuk kembalinya ia dari timor-timor." Ucapku padanya.     

"Lalu?" tanyanya. Dahiku berkerut. Kenapa sekarang aku merasa seperti sedang di interogasi?     

"ah… supaya bisa kuruntutkan cerita ini. Aku harus tahu awal mulanya." Ucap wanita itu lagi. akhirnya aku pun percaya saja dengannya.     

"Ya dalam minggu itu aku mengalami beberapa masalah di rumah. Dengan Mas Aden dan juga dengan bapak dan ibu." Ucapku. Dia nampak menunggu ucapanku selanjutnya. Hampir saja kuceritakan semuanya. Aku pun menyadari itu tidak mungkin ku bagi dengan orang asing yang bahkan belum aku kenal. Aku berdehm.     

"hmm…ya setelah itu ada acara syukuran di rumah kami, lalu hari minggunya aku libur. Dan di hari minggu itu aku pergi ke pasar. Di sanalah aku bertemu dengan Mas David. Ah..iya Mas David juga mengatakan bahwa dia tahu namaku dari acara tersebut." Ucapku. "sebenarnya waktu itu aku membuat keributan, itulah kenapa orang-orang mungkin jadi mengenalku." Lanjutku dengan wajah yang malu.     

Wanita itu mengangguk-angguk.     

"Tapi Mas David tidak menghadiri acara itu mba.". ucapnya. Sontak aku terkejut.     

"HAH!" yang di ucapkan wanita itu benar-benar membuatku bingung.     

Aku terkejut dengan penuturan wanita bernama Kirana itu. ia sam aseklai mengatakan hal tak masuk akal. Jika demikian ceritanya, lalu bagaimana Mas David bisa mengenalku.     

"Lalu bagaimana caranya Mas David mengenaliku tiba-tiba? Di terawang? Hahahha.." ucapku sarkastik kepadanya. Lalu ku ambil gelas the ku dan ku seruput pelan cairan berwarna cokelat itu.     

Ia masih menampakkan wajah datar. Sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan kami.     

"Itu karena Pak Setya sudah datang ke rumah kami sebelumnya. Waktu itu pada hari jumat. Dia mendatangi rumah kami dengan sebuah agenda busuk dan kejam." Ucapnya.     

"Hah!???" aku semakin terkejut dan ternganga di buat wanita di sisiku ini. Hampir saja ku semburkan the di dalam mulutku ini ke arahnya.     

"Apa dia sekarang di rumah?" tanyanya. Aku masih menatapnya nanar. Hatiku yang semula sakit karena perilaku Bapak di belakangku kini kian sakit dangan fakta yang wanita ini ucapkan. Aku menggelengkan kepalaku. Dalam hatiku tak ingin mempercayai perkatannya.     

"Hahaha.." aku menanggapi ucapan yang baru saja wanita itu ucapkan dengan lelucon. Semua karangannya memang terdengar lucu.     

"Kamu pikir aku mengada-ada Mba?" tanyanya dengan tegas. Sontak aku terdiam. Dia terlihat mengerikan dari sebelumnya.     

"Tidak ada jaminan kalau ucapanmu itu benar. Aku juga tidak sepenuhnya percaya denganucapan orang asing." Ucapku tegas dan mulai serius.     

"Baiklah itu terserah kamu saja. Tapi dengarkan ceritaku dan nilai sendiri apakan ada karangan yang aku buat. Atau semua adalah fakta yang harus kamu terima." Ucapnya semakin tegas saja. Aku pun tak ingin kalah dengan personanya. Ia tak ku ijinkan untuk menguasai emosiku. Tak akan ku biarkan.     

"Iya." Jawabku.     

"Apa kamu tahu kalau Pak setya itu sebenarnya teman dekat ayah mertuaku?" aku menggeleng. Teman Bapak yang aku tahu hanyalah mereka yang biasa berkunjung. Sementara Mas David tak pernah sekali pun ku lihat wajahnya di rumah ini sebelum aku mengenalnya.     

"Sayangnya ayah mertuaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu." Lanjut ceritanya.     

Pantas saja. Batinku.     

"Sebelum kalian pindah, pak setya bisa di katakan sering berkunjung ke rumah kami. Itulah kenapa aku cukup familiar dengannya. Rumah yang kalian sewa ini adalah rumah milik ayah mertuaku yang di sewakan kepadanya."     

Aku di buat ternganga oleh fakta demi fakta yang di katakan wanita itu.     

"Saat itu Pak setia datang ke rumah kami. Aku sedang di dalam. Jadilah Mas David yang menemuinya. Aku hanya keluar untuk menghidangkan teh kepadanya. Lalu aku masuk kembali. Tapi dari yang ku dengar sedikit percakapan mereka. Pak Setya nampak emmohon-mohon. Aku juga melihat tas koper kecil di atas meja." Cerita wanita itu semakin tak masuk akal namun mulai runtut alurnya.     

"Entah apa yang terjadi setelah itu. Pak Setya pulang dengan kopernya. Mas David pun masuk. Sejak hari itu Ia mulai gusar. Hingga malam menjelang. Saat itu lah aku menanyakan apa yang terjadi sebenarnya dengannya. Barulah di tengah malam itu Mas David mulai menceritakan semuanya kepadaku. Atau lebih tepatnya ia meminta ijin kepadaku.     

Dia mengatakan Pak Setya membawa uang dalam koper itu. pak setya terlihat putus asa sampai-sampai dalam pikirannya hanyalah memberikan uang kepada Mas David. Dia bilang dia ingin menyelamatkan masa depan anaknya. Kemudian Mas David muali menceritakan apa yang terjadi dengan anak Pak setya. Mulai dari ia membawa Mba ke timor-timor, hingga pertengkaran yang terjadi di antara ayah dan anak itu. dan ternyata anaknya jatuh cinta dengan Mba.     

Sayangnya Pak setya memandang rendah Mba Santi. Sehingga Ia dengan kurang ajarnya menyuruh Mas David untuk mendekati Mba hanya agar Aden menyerah dengan Mba Santi. Apakah berhasil?" aku menggelengkan kepala. Faktanya semuanya gagal total.     

"Menurutku sangat tidak masuk akal tindakan Pak setya itu. sangat kurang ajar. Namun Mas David yang merasa sungkan berulang kali mengatakan kepadaku ini hanyalah sebentar. Dan tak akan lebih dari sekedar jalan keluar saja. Aku yang setiap hari melihat dia murung pun akhirnya tak kuasa juga. Aku tahu dia terbebani rasa sungkan. Begitu berat untuk menolak Pak Setya. Belum lagi Pak setya adalah komandan di batalyonnya.     

Akhirnya aku mengijinkannya. Namunaku memberinya waktu hanya sampai satu bulan. Jika satu bulan tak berhasil maka cukup. Namun jika belum satu bulan sudah berhasil membuat Aden menjauhi Mba Santi, Maka saat itu juga Mas David harus menghentikannya.     

Itu jauh sebelum aku tahu kalau Mba Santi memiliki paras persis seperti Mba Kristina."     

Kirana menghembuskan nafas. Aku yang terus di bubuhi cerita darinya hanya mampu diam dan terus mencerna. Sebenarnya hal itu juga memupuk amarahku. Amarah untuk posisiku yang semalang ini. Terasa malu dan pilu.     

Dia memulai lagi ceritanya yang sampai kini tak ku ketahui kapan akhir dari ceritanya. Namun seluruhnya mampu membuatku terkejut bukan main.     

"Aku melihat kalian ada di bioskop. Dan aku melihat Mba Santi untuk pertama kalinya. Kukira saat itu sudah berakhir. Hubungan kalian sudah di akhiri seperti semestinya. Hatiku rasanya sakit bukan main melihat kalian berjalan seolah sejoli yang sedang berpacaran. Ingin aku berteriak menghampiri kalian dan ku pukul kamu Mba. Tapi aku tahu kamu tidak tahu apa-apa. Lalu yang ku lakukan adalah menutup mata anakku dan menjauh dari kalian.     

Saat itulah aku mulai membuntuti kalian. Hubunganantara aku dan Mas David menjadi kacau. Mas David mulai tidak memperdulikan kami. Dia juga tidak mendengarkan ucapanku lagi. Dia mulai pulang terlambat. Dan dia selalu terlihat kelelahan. Biasanya setiap hari minggu dia mengajak anak kami jalan-jalan namun tak pernah lagi.     

Aku mulai tidak tahan dengan keadaan itu. lalu aku pergi ke sini bermaksud untuk mengatakan semuanya kepada mba, tetapi aku tidak menemuimu. aku hanya bisa pulang dengan tangan kosong.     

Karena itu Mba. Sungguh yang Mba lakukan itu bisa melukai mba sendiri dan sangat melukai hati saya dan keluarga saya. Meski sepenuhnya semua bukan kesalahan Mba, tapi kumohon. Hanya mba lah kunci dari semuanya. Agar semuanya bisa terhenti. Hentikan perasaan mas david, sadarkan dia bahwa mba kristina itu sudah meninggal."     

Dia wanita malang yang ku temui di Makassar ini. Utnuk pertama kalinya seorang wanita menangis tersedu-sedu di hadapanku.     

Hari ini kuputuskan untuk menghindar dari Kak Wito. Aku bahkan tidak berpamitan dengan Ibu saat keluar rumah. Aku yakin mereka tidak akan terlalu khawatir seperti biasanya. Tukuanku kali ini tidak ada. Sama sekali tidak tahu harus kemana. Pembicaraanku dengan Kak Wito semalam berhasil menyita seluruh otakku.     

Aku berpikir keras tentang rencana apa ysng haris kubuat selanjutnya. Disatu sisi aku tidak benar-benar ingin di jodohkan. Namun disisi lain aku harus membantu sepupuku membayar biaya kuliahnya. Sementara aku tidak punya uang sebanyak itu.     

Kakiku terus melangkah meskin hati dan pikiranku berkecamuk tal tahu harus apa. Namun langkah demi langkah sepertinya menuntunku ketempat satu-satunya yang ku hafal. Ladang.     

Perjalanan tak berlangsung lama. Mungkin karekakahll hsnnbdj nuaknakah ajubsnkkan semua terserah padmuan dnne na aku sudah sangat hafal medan yang aku lewati. Tanpa berbekal apa pun aku haanya menelusuri jalan setapak beralas gambut ini. Beberapa kali aku bertemu dengan kawanan monyet yang riuh sedas semua terseha padmau aku begini adanya ng mencari makan.     

Sejauh ini segalanya masih aman. Perihal hewan tidak akan menakutiku sama sekali. Aku lebih takut manusia yang berotak jahat daripada hewan yang hanya bergerak berdasarkan insting.     

Akhirnya aku sampai di pondok. Hal pertama yang ku hampiri adalah dapur. Aku membutuhkan sesuatu untuk ku telan pagi ini. Tapi tidak ada sesuatu apapun yang bisa ku masak atau pun ku makan di sini.     

Akhirnya ku putuskan untuk naik ke atas. Siapa tahu bisa menemukan sesuatu. Keputusanku tepat sekali. Aku menemukan sebungkus roti dan beberapa bungkus mi instan juga kopi instan. Wajahku langsung semringah mendapati keberadaan mereka.     

Tanpa basa basi langsung ku raih dan ku eksekusi ke dapur. Tidak seperti yqng ku perkirakan. Meskipun aku tidak cukup kaya dan hidup serba kecukupan. Aku tetap membenci hal ini.membiat api. Benar-benar melelahkan. Aku tidak bisa dengan mudah membuat api menyala di atas tumpukan kayu-kayu itu. Sementara aku selalu melihat siapapun di dalam anggota sekeluargaku melakukannya dengan mudah. Kecuali adik bungsu ku.     

Api tak mau menyala meski ku beri letupan dari korek terus menerus. Yang mereka hasilkan hanya asap yang membuat mataku kian perih. Ia hanya menyala sebentar lalu mati. Sampai membuatku muak. Kalau Ibuku di sini beliau pati sudah cerewet mengejekku. Karena apapun tak bisa ku lakukan.     

Aku melempar korek api di tanganku. Air mataku berhasil mengucur membasahi pipi. Aku yakin sekLi mataku kali ini juga memerah. Hal sekecil ini saja bisa membuatku begitu kesal. Lalu tanpa di duga-duga seseorang datang. Ia halnya seperti malaikat yang bersinar karena kedatangannya memberi harapan terang untukku bisa menyalakan api ini.     

Dia mendekat ke arahku. Lalu meletakkan beberapa alat dan ranselnya. Belum berkata apa-apa dia sudah geleng kepala lebih dulu. Jadi rasanya ingin kutarik anggapanku bahwa dia sebagai malaikatku. Mungkin sebaliknya musuh dari malaikat.     

"Kamu ngapain sepagi ini nangis di depan tungku. Di hutan lagi." Ucap laki-laki yang tidak bukan dan tidak lain adalah Edi.     

Aku hanya menggeleng. Dan menunjukkan kegagalan di hadapanku. Ia lalu berjongkok dan menggeser posisiku.     

Dengan sigap Ia membakar sebuah daun kering. Lalu daun-daun kering itu mulia membakar kayu-kayu seiring berubah menjadi abu. Api yang semula dari dan kering pun merembet ke kayu-kayu yang di pilih oleh Edi.     

Edi nampak serius. Padahal masih terlalu pagi. Apakah karena aku menyusahkannya? Biasanya dia tak seperti ini. Dia tidak pernah memasang wajah malas kepadaku. Aku yakin Edi menyembunyikan sesuatu. Bahkan aku ingat, biasanya dia selalu memberiku senyum pertama. Tapi saat datang tadi wajahnya hanya datar.     

"Di..." aku berusaha menepis kecanggungan.     

"Ambil air." Titah Edi padaku. Ia memberiku sebuah panci.     

"Iya." Jawabku. Aku pun langsjng bergegas mengambil air di sungai. Dengan pikiran yang berkecamuk tentu saja.     

Akhirnya aku sampai.     

"Ini." Kuberikan air itu kepadanya. Ia lalu menumpangnya di atas tungku. Aku pun ikut berjongkok di sampingnya. Namun Ia malah berdiri. Kini aku pun mengikutinya berdiri.     

"Di..." Panggilku lagi.     

Dia tak bergeming. Hanya menoleh ke arahku tanpa suara dan ekspresi. Hal itu membuatku semakin sadar bahwa Edi sedang marah atau menyembunyikan sesuatu dari ku.     

Aku hanya berani menatap Edi. Jika suasana hatinya sedang buruk aku tidak cukup berani untuk semakin memperburuknya.     

Ia membuka bajunya lalu mengganti dengan baju kotor atau baju kerjanya. Ia lalu memakai sepatu boot, masker dan juga topinya. Kemudian Ia mengambil sebuah tanki berisi air atau obat dan menaruhnya di punggungnya. Tangannya dengan lihai memegang alat semprotannya.     

Ia pun pergi meninggalkan aku tanpa sepatah kata. Edi yang ku kenal tak pernah bersikap seperti ini. Namun sepertinya bukan hari yang tepat untukku menegurnya kali ini. Sehingga aku hanya membiarkannya saja.     

Air di panci telah mendidih. Aku menuangkannya ke gelas yang ku isikan kopi instan. Kemudian sisanya kugunakan untuk merebus mi instan.     

Setelah selesai aku pun menyantap masakanku di tangga pondok. Semburat kuning mulai menyala di ufuk timur. Tepat di mana aku menghadap sekarang. Suara binatang pagi semakin riuh dan beragam. Beberapa kali aku juga mendapati burung-burung beterbangan di langit yang tinggi.     

Mereka juga mencari makan sepagi ini.     

Kulihat di hadapanku sawit-sawit yang masih bayi. Posisiku gang lebih tinggi membuat aku bisa melihat sekeliling hingga jauh. Sisa-sisa kayu dan tunggak -tunggak terbakar masih menjadi saksi bahwa pembukaan ladang di sini dilakukan dengan ugal-ugalan.     

Beberapa kali perjalanan ke sini. Aku pun beberapa kali menemui hutan yang sengaja di bakar tanpa seorang pun yang menjaga. Padahal mereka pasti tahu. Tanah gambut riskan akan api. Setetes api menjalar mungkin butuh waktu berminggu-minggu untuk memadamkannya.     

Namun mereka tidak punya pilihan hidup di tempat seperti ini. Mereka tidak terlalu memikirkan aparat toh disinipun tak ada seorang pun aparat yang mengawasi. Bahkan aku pun ragu kalau kakakku punya izin untuk menanam sawit di kebunnya.     

Hari pun berada pada pertengahannya. Aku pun telah menghabiskan sebungkus roti kukis yang kj temukan di dalam pondok. Di depanku sudah terhidang dua piring mi rebus dan segelas kppi juga air putih dalam teko.     

Aku tidak tahu harus bagaimana menghibur Edi. Tapi aku akan perlakukan dia sangat baik kali ini. Bukan karena dia marah. Bukan. Tapi lebih karena dia sering membantuku jadi hari ini aku ingin berusaha menghiburnya.     

Tibalah Edi di pondok. Aku menyapanya dengan senyum. Lalu kusuruh di bersih-bersih. Adzan terdengar dari radio yang sejak tadi menemaniku. Edi selesai dengan bersih-bersihnya. Ia mengenakan sarung dan singlet. Apa ia mandi? Batinku. Rambutnya nampak basah juga wajahnya.     

Ternyata Ia menunaikan sholat. Aku menunggunya di teras pondok. Sementara Ia sholat di dalam pondok. Ekspresi wajahnya masih sama. Ekspresi wajah enggan meski aku tak tahu salahku apa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.