PERNIKAHAN TANPA RENCANA

108



108

0Ayah tergesa-gesa pulang. Pundaknya terasa semakin berat.oleh beban yang di berikan dari dukun kuring. Konsekuensi yang harus dia bayar tunaj setelah berhubungan dengan dukun tersohor itu.     

Beberapa kali tubuhnya terhuyung hampir terjatuh. Jalanan yang semakin licin karena semalam hujan deras dan banyaknya daun kering yang basah menutupi permukaan tanah. Belum lagi rumput yang mulai meninggi di kanan kiri jalan beberapa kali hampur menjerat kakinya dn membuatnya tersungkur.     

Entah apa yang ayah rasakan. Ia merasa tubuhnya jadi lebih semangat kali ini. Namun hatinya merasa ada kegelisahan yang Ia pendam rapat-rapat.     

Sampailah ayah di depan rumahnya. Terdengar suara tangisan dari dalam rumahnya. Ia tahu, suara itu adalah suara nenek.  Dia pasti sedang mengadukan perihal tadi pagi kepada istrinya, Duminah.     

Ayah mencuci tangannya. Di depan rumah memang di sediakan genyong besar yang selalu di penuhi air sehingga siapapun yang hendak bertamu sebaiknya mencuci tangannya terlebih dahulu.     

Ayah kemudian masuk rumah. Ia menuju sumur, melepas bajunya lalu mengguyur tubuhnya dengan air. Agar pikiran beratnya segera hilang. Ia tak mau membebani istrinya dengan beban yang saat ini sedang Ia emban.     

Selesai mandi ayah pun mengganti pakaiannya. Ia lalu bergegas menuju kamar. Di sanalah sumber suara tangis dari nenek. Ia melihat istrinya juga menangis namun dalam diam.     

Seketika Bayi Sardi menangis tak henti-henti. Nenek yang melihatnya terlihat panik. Simbok dan ayah malah terlihat tenang. Sudab dua tahun ini, inilah yang mereka hadapi. Tak ada solusi untuk tangisan anaknya yang mengiris isi hatinya itu.     

"Sekarang lihat bu... cucumu menangis seperti itu dan sudah hampir dua tahun berjalan. Apa ndak sakit hati rasanya mendengar rintihan bocah bayi ini? Yang belum mengerti apa-apa. Apa ndak teriris rasanya bu..." ayah menangis di depan ibu.      

Ibu yang tak bisa berkata-kata pun ikut menangis. Terlebih lagi Simbok yang mendekap bayi Sardi kian deras meneteskan cairan bening itu.     

"Saya akan sudahi ini bu. Jangan cegah saya. Ijinkan saya. Dukung saya." Ucap ayab lagi.     

"Tapi Le, kamu itu ndak tahu kuring itu orangnya seperti apa. Kamu ndak tahu apa yang harus kamu bayar kelak. Apa ndak bakalan menyesal?"     

"Aku akan lebih menyesal kalau terlambat memberikan pertolongan untuk anak ini Bu. Sudah Bu.. jangan halangi aku lagi. Inj sudah keputusanku."     

Akhirnya nenek pun tak bisa berkata apa pun selain membiarkan ayah melakukan apa yang akan Ia lakukan.     

Meski sebenarnya ayah tahu dan sangat mengerti dengan jelas bahwa yang harus ia bayar kelak tidaklah murah. Tapi ayah tetap harus melakukannya kali ini. Demi kesembuhan anak pertamanya, Sardi.     

Hari berlalu sejak kedatangan ayah ke dukun kuring. Dua pekan yang dukun kuring tetapkan hingga hari h sudah terpotong tiga hari. Dan tiga hari ini ayah merasa kebingungan.     

Ayah sudah menemukan bagaimana catanya mendapatkan persyaratan-persyaratan itu. Namun ada satu yang terasa sangat sulit. Yaitu Rusa. Di mana Ia harus mendapatkan rusa tanpa harus berburu?     

Ayah pun mendatangi simbah. Ia bermaksud untuk menanyakan perihal rusa tersebut.     

"Apa Le? Rusa?" Simbah nampak terkejut dengan pertanyaan yang ayah ajukan. Yaitu dimanakah Ia bisa mendapatkan kepala rusa kembar.     

"Kenapa Pak? Apa ada yang aneh?" Tanya ayah dengan wajah yang bingung.     

"Hmmm .. apa kuring tidak memberitahukan sesuatu kepadamu saat itu?"     

Ayah semakin tidak mengerti arah pembicaraan simbah. Apakah ada yang salah?     

"Kamu tahu rusa itu berarti apa?" Tanya simbah hang jelas ayah tidak tahu.     

Ayah hanya menggeleng kepala.     

"Dalam tatanan primbon jawa kawi. Rusa itu diartikan keturunan. Korbanmu kelak adalah keturunanmu."      

Dahi ayah berkerut. Ia sedikit tidak percaya dengan ucapan simbah. Menurutnya primbon hanyalah karangan empu jaman dahulu saja. Tidak akan berarti lebih di jaman sekarang.     

"Pak... itu kan cuma primbon. Jangan di percaya." Jawab ayah ngeyel.     

"Le... tapi primbonnya orang jaman dulu itu banyak benernya." Ucap sinbah menasehati ayah.     

"Sudahlah Pak. Bapak ini mau bantu aku biar cucumu sembuh atau tidak? Aku ini sudah cukup pusing dengan masalah di rumah. Kalau bapak gak bisa bantu ya sudah!" Sungut ayah yang membuat simbah langsung terdiam.     

Selang beberapa menit simbah tak kunjung memberikan jawabannya. Ayah pun sudah semakin kesal. Akhirnya Ia memutuskan untuk pamitan.      

"Ya sudah Pak saya pamit saja. Terimakasih nasehatnya." Ucap ayah dengan nada kesal.     

"Kalau kamu mau pergilah ke Bukit Peteng. Nanti ikuti jalan setapak yang kamu temukan saat memasuki hutan pertama. Ikuti saja terus. Sampai kamu bertemu dengan gubuk di sebelah lereng. Nah di situ hidup kakek tua. Pekerjaannya adalah berburu. Biasanya dia menyimpan terlebih dahulu hasil buruannya sebelum Ia menjualnya ke kota." Jelas simbah tiba-tiba.     

Ayah hanya mengangguk dan berlalu meski wajahnya terlihat masih kesal namun hatinya kini lega. Akhirnya Ia menemukan jalan untuk mendapatkan kepala rusanya kali ini.     

Pagi sekali ayah telah bersiap. Hari demi haru berlalu. Kini tinggal satu pekan lagi hingga hari di mana ritual akan dilangsungkan.     

Simbok yang mendengar suara gemericik air pun terbangun. Karena bayi Sardi sedang tidur Ia pun akhirnya menghampiri suaminya itu.     

"Mas... pagi buta begini mau ke mana?" Tanya Simbok.     

"Ssssttt jangan berisik. Nanti kalau ada yang tanya. Bilang saja saya ke kota mau cari jamu." Dahi Simbok berkerut mendengar jawaban suaminya itu. Tidak pernah gelagatnya seperti ini.     

"Kenapa Mas... bilang dulu sama saya. Mas mau ke mana?" Bujuk Simbok dengan nada khawatir.     

"Aku mau ke hutan Dum. Aku harus mencari rusa." Jawab ayah lagi. Semakin membuat simbok bingung.     

"Rusa? Untuk apa?" Tanya Simbok lagi.     

"Bukankankah aku sudah bilang. Ini syarat yang Dukun Kuring berikan. Aku harus bergegas. Tidak ada waktu lagi." Ucap ayah.     

Simbok pun bergegas pergi ke dapur. Ia membungkus ubi rebus sisa semalam ke dalam sebuah daun pisang lalu memasukkannya ke tas goni yang yang kelak akan ayah bawa.     

Ayah pun berpamitan. Semula Simbok yang tidak menyetujui rencana ayah menemui dukun kuring pun kini malah semakin mendukung dan mendoakan semoga semuanya berjalan lancar.     

Dengan penuh percaya diri. Dan bersembunyi dari masyarakat banyak. Ayah berjalan menuju hutan yang berada di ujung timur kampung.     

Pakaiannya tertutup dan gelap agar menghindari terkaman binatang buas. Dan juga sebuah tas goni yang kelak akan digunakannya untuk membawa kepala rusa.      

Langkah kakinya terkesan cepat agar bisa mengejar hari supaya tak seorang pun melihatnya mendatangi hutan ini.      

Cerita kelam tenyang hutan peteng yang membuat setiap masyarakat kampung menganggapnya menjadi keramat. Ayah tak mau pusing dengan ucapan-ucapan mereka. Terlebih lagi niatnya adalah mencari syarat yang di ajukan oleh dukun kuring. Yang sebenarnya semua adalah rahasia tak seorang pun tahu bahwa ayah mendatangi dukun kuring kecuali keluarganya dan dukun kuring sendiri.     

      

 Seseorang datang ke Gunung Peteng. Dan hingga kini tak kunjung kembali. Dia bernama Sanem. Sanem lah yang hingga kini di katakan menjadi penunggu Gunung Peteng.     

Banyak orang percaya bahwa Sanem kemungkinan masih hidup. Namun berada di dunia lain. Sehingga Sanem bisa melihat kita namun kita tak bisa melihatnya. Raganya lenyap namun jiwanya kembalu. Sehingga tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya.     

Yang paling lucu adalah. Kebiasaan masyarakat kampung yang mengatakan jika terdapat barang-barang yang hilang maka hal itu di lakukan oleh Sanem. Padahal tidak ada yang tahu kebenarannya.     

Meski mengetahui cerita orang-orang kampung itu. Ayah tak merasa gentar. Ia mendatangi gunung dengan niat yang baik. Tidak ada secuil pun niat jahat untuk mencuri atau merusak. Sehingga dalam gelapnya pagi buta Ia menelusuri setapak demi setapak jalan yang di penuhi oleh ilalang dan berusaha mencari gubug milik kakek pemburu binatang buas itu.     

Ayah tak sempat menanyakan siapa nama kakek itu. Karena kemarin perasaannya sedang kesal. Dan sekarang Ia menyesal.     

Langkah demi langkah Ia susuri. Hari pun ternyata cepat sekali berjalan. Seperti tiba-tiba saja matahari seolah mengejar untuk berada di atasnya.     

Namun perjalanan hingga hampir setengah hari itu tak juga mempertemukan ayah dengan gubuk kevil yang di maksud Simbah.      

Ayah melemparkan tubuhnya di sebuah rerumputan. Rasanya lelah sekali. Menapaki jalanan menanjak terjal dan juga licin. Untung sejak tadi Ia tak sekali pun bertemu dengan yang namanya binatang buas.     

Ia mendengus kesal. Angin berhembus kencang dari atas membawa sedikit kesejukan di hari yang begitu panas ini.     

Meski berada di gunung. Cuaca hari ini memang begitu panas.     

Tiba-tiba Ia mendengar suara anak-anak kecil tertawa riang. Ia terkejut. Di gunung seperti ini tidak mungkin Ia ada anak kecil.      

Ia lalu meletakkan kembali Ubi yang hendak ia makan ke dalam tas nya. Ia lalu bergegas ke sumber suara.     

Ah ternyata memang benar anak-anak kecil yang sedang bermain air. Ia tidak mengetahui kalau sedikit lebih jauh melangkah lagi Ia akan menemukan sungai.     

Sungai yang begitu bening dan lebar namun tidak terlalu dalam membuat bocah-bocah kecil itu bebas bermain di dalamnya.     

Ayah yang merasa menemukan surga pun lalu bergegas menyeburkan diri kedalamnya. Hingga terasa sekujur tubuhnya segar kembali.      

Bocah-bocah itu lalu menghentikan kegiatannya. Dan menoleh ke arah ayah. Ayah yang sudah menjeburkan kedua kakinya lalu menyingkap tasnya. Dan segera membasuh wajahnya.     

Ia tidak peduli. Tiba-tiba salah satu dari mereka menghampiri ayah. Ia memberikan sebuah buah mengkudu.  Ayah yang masih membungkukan badannya segera tegap berdiri dan menerima buah itu.     

Tiba-tiba anak-anak itu tertawa melengking dan berlari. Diikuti semua teman-temannya. Lalu menghilang tertutup oleh daun-daun semak belukar.     

Ayah yang merasa aneh lalu melihat dalam genggamannya. Buah berwarna hijau dan bertotol-totol itu kini berada pada genggamannya. Ia bingung harus diapakan buah ini. Mau dimakan rasanya pahit. Mau di buang sudah di kasih sama bocah tadi.     

Lalu ayah pun memutuskan untuk membawanya dan memasukkan ke dalam tasnya.      

Ia pun lalu melanjutkan perjalanan.     

Perjalanan tanpa peta yang ayah mulai tadi pagi dan kini pun hari sudah siang. Belum menghasilkan apa pun. Bahkan satu tanda pun tak Ia temukan di selama perjalanan tadi.      

Satu-satunya penunjuk jalan yang ayah tahu adalah gubuk yang berada di pinggir jalan setapak.      

Tanpa basa basi ayah menuju jalan setapak yang tadi Ia lewati. Meski jalan itu sudah tidak begitu nampak namun cukup dipastikan jalan ini adalah satu-satunya akses ke dalam hutan. Tak ada cabang atau pun jalan lain lagi.     

Puncak yang semakin tinggi, udara yang semakin dingin dan angin yang semakin kencang. Membuat perjalanan semakin berat.     

Tiba-tiba angin kencang berhembus. Di sertai suara deru yang begitu kencang. Baju ayah yang tidak terlalu tebal tak cukup mampu melindunginya dari terpaan  badai yang tiba-tiba muncul itu.     

Ayah dengan sekuat tenaga melawan arus angin tersebut. Meski akhirnya kekuatannya kalah juga. Akhirnya Ia pun duduk dan berbaring. Supaya tak terombang ambing oleh angin tadi. Sambil menahan dingin yang luar biasa. Ia menunggu badai agar seggera reda.     

Ia menggigil, sepertinya tubuhnya juga sudah mencapai batasnya dalam menahan dingin. Jemarinya telah menjadi keriput dan bibirnya kini mulai membiru.      

Dalam tubuhnya yang mulai kaku. Ia mulai terlelap, lalu matanya terpejam seluruhnya. Dan dunia pun menggelap.     

"Hai nak. Hai nak. Apa kau sudah sadar?" Seseorang dengan suara yang sudah parau karena usia itu terlihat menggoyang-goyang kan pundaknya.     

Ia belum sadar sepenuhnya. Sampai matanya terbuka sempurna Ia pun baru menyadari. Kini Ia berada pada sebuah gubug.     

Yang ayah lihat hanya punggungnya saja. dengan tubuh yang hampir mungil dan berjalan bungkuk. suaranya khas suara orang yang telah lanjut usia. Ah iya, rambutnya tetcetak jelas berwarna putih.     

Ayah terbaring di sebuah ranjang kecil terbuat dari bambu. tubuhnya terlentang dengan selembar kain menutupi hampir seluruh badannya.     

Sinar lampu minyak yang temaram membuatnya sulit mendeskripsikan keadaan di sekitar. yang Ia tahu Ia sekarang berada di sebuah gubuk kecil bersama seorang kakek.     

Tenggorokkan Ayah terasa kering. Rupanya kulit bibirnya hampir mengelupas. Ia mencoba untuk menelan ludahnya sendiri namun berakhir malah kesakitan.     

"Kamu mengalami hipotermia tadi Le..." Ucap kakek itu. Lalu membantu ayah duduk dan memberinya sebuah minuman.     

Ayah berusaha menggeser tubuhnya. bermaksud untuk waspada.     

"Tidak usah takut Le, ini bukan racun. Ini hanya wedang uwuh." Ucap kakek itu.     

Lalu dengan wajah penuh waspada ayahpun mendekatkan hidungnya pada cangkir di tangan kakek itu.     

ternyata memang hanya sebuah wedang. Ia pun segera meminumnya agar rasa hausnya segera reda.     

Kakek itu pun tersenyum.     

"Ngomong-ngomong saya di mana sekarang kek?" Tanya ayah.     

"Kok malah bertanya to Le... kan kamu yang datang ke sini." Ucap kakek itu malah membuat bingung.     

"Ya tadi kan saya pingsan." Ucap ayah mengingat kejadian saat badai menerpa seluruh tubuhnya dan berhasil menumbangkannya.     

"Kamu ada di gubug saya. Saya Karsin pemilik hutan ini. Kamu bertemu dengan orang yang tepat." Dengan percaya diri kakek itu lalh tertawa setelah mengatakan hal konyol. Bagaimana mungkin sebuah hutan bisa di miliki oleh seseorang. sementara hutan adalah milik seluruh kehidupan di dalamnya.     

"Maksud kakek hutan milik kakek itu apa?" Tanya ayah.     

"Maksud saya adalah sayalah satu-satunya orang yang mampu menaklukkan hutan dan seisinya di dalam sini. tak ada seorang pun yang berani. Dan aku lah satu-satunya yang akhirnya berada di sini."     

Ucap kakek Karsin yang membuat ayah mengangguk-angguk.     

      

 Tak ada yang mengetahui keberadaan ayah saat ini. Terkecuali Duminah, istrinya. Namun kini malah ayah hampir saja celaka. Ia telah melupakan bahwa alam bisa lebih ganas dari siapapun. Terjangan badai yang mengombang-ambingkan tubuhnya tadi telah menumbangkannya dan kini ia terdampar di tempat asing.      

Entah ia masih di dunia ini ataukah ia sudah berada di dunia lain. Ia bahkan meragukan dirinya sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa ia tanyai kecuali orang yang kini merawatnya, yaitu Kakek Karsin. Satu-satunya orang yang bisa Ia tanyai saat ini.     

"Mbah, sebenarnya saya ada di mana.?" Tanya Ayah padanya menuntut jawaban pasti meski dengan suara yang begitu lemah. Ia pun membetulkan posisinya hingga mampu duduk dengan betul. Kakek Karsin pun tersenyum dan membalikkan badan kembali dan memunggungi ayah untuk menaruh gelas ke sebuah meja yang terletak agak jauh di sana.     

"Berani sekali kau datang ke gunung Le, dengan badan selemah ini." Ucap Mbah Karsin yang lalu duduk di sebelah ayah dan mengambil kain basah berkat mengompres tubuh ayah. Ayah bahkan baru menyadari bahwa Ia ternyata mengenakan kain yang begitu tebal dan berlapis-lapis. Ia tak mengenali kain ini. Mungkin milik Kakek Karsin.     

Ayah terdiam. Ia merasa sudah melakukan kesalahan kali ini. Tanpa persiapan yang matang ia berani mendatangi gunung yang sudah jelas di katakan keramatnya. Ia meremehkan alam.     

"Kau tahu kenapa gunung ini di keramatkan?" Tanya mbah karsin. Ayah hanya mampu menggelengkan kepala.     

"Karena gunung ini memang keramat. Gunung yang mampu menelan kehidupan dan mampu menampakkan yang tak seharusnya terlihat. Beruntung kau terdampar di tempatku. Bagaimana kalau kau berakhir seperti Sanem?"      

Ayah merasa bersyukur bahwa Mbah Karsin sudah menyelamatkannya. Namun Mbah Karsin yang mulai menghakimi dan tidak tahu apa-apa tentangnya mulai membuatnya kesal dan tersinggung.     

Ayah mendengus. Ia ingin marah namun tidak berdaya.     

"Sanem itu belum meninggal. Tetapi aku tak bisa menemukannya di mana pun di belahan gunung ini. Kau tahu apa yang ku lakukan untuk menemukannya?"      

Ayah menggeleng lagi.     

Ternyata cerita tentang Sanem di kalangan masyarakat itu benar adanya. Bukan omong kosong. Dan mbah Karsin inilah saksi satu-satunya yang masih hidup. Mbah Karsin pun mulai menceritakan bagaimana akhirnya hingga ia berada di gunung ini dan memutuskan untuk menetap.     

"Aku dan Sanem memiliki hubungan spesial…     

Mbah Karsin mulai bercerita dengan pikiran yang menjelajah di awang-awang.     

Dahulu ketika muda Mbah Karsin dan Sanem adalah teman. Setelah sekian lama berteman mereka akhirnya saling jatuh cinta. Cinta mereka yang tulus membuat seluruh warga kampung iri. Termasuk seorang laki-laki bernama Yoso yang juga iri dengan kisah Mbah Karsin dan Sanem.     

Sayangnya ke irian Yoso tidak cukup dalam benak saja. Perasaan Yoso berlanjut kepada rasa dengki hingga Ia berani berbuat keji terhadap Sanem.      

Yoso yang juga punya hati terhadap Sanem pun akhirnya mengungkapkan perasaannya. Meskipun ia tahu bahwa Sanem sudah milik Karsin. Dalam benak Yoso tertanam kalimat selagi jalur kuning belum melengkung. Semua kemungkinan masih bisa terjadi.     

Berbekal keberanian dan tekad dalam hati niat tulusnya Ia sampaikan kepada Sanem malam itu di pasar malam. Karsin yang datang terlambat pun tak sempat menyaksikan adegan di mana Yoso salah satu pemuda kampung yang jatuh cinta pada kekasihnya itu mengutarakan perasaannya.     

Yoso sakit hati. Ia tak terima dengan keputusan Sanem yang tak mau menerima cinta Yoso dan malah memilih setia kepada Karsin.     

Yoso pun kalap. Ia kemudian merencanakan sebuah balas dendam jahat terhadap Sanem pujaan hatinya.     

Malam itu hujan mengguyur kampung. Namun perjalanan Sanem masih harus dilanjutkan agar cepat sampai rumah. Dengan jalan yang tergesa Sanem menuntun kakinya menuju jalan pulang ke rumah.     

Padahal Sanem dan Karsin sudah janjian agar besok pagi bisa berangkat bersama ke sawah.      

Beberapa kali sendalnya tenggelam dalam balutan tanah basah dan juga genangan air. Namun Ia tak berhenti barang selangkah pun.      

Tiba-tiba saja seseorang menariknya di jalan gelap. Sanem tak sempat melihat wajahnya. Namun Ia jelas tahu suara siapa itu.     

Iya. Dialah Yoso yang beberapa hari yang lalu mengutarakan perasaannya kepada Sanem. Namun di tolak olehnya.     

"Apa yang coba kamu lakukan." Teriak Sanem di antara hujan deras. Payungnya yang sudah terbang entah ke mana tak ia hiraukan. Air hujan mulai merembes bahkan ke dalam baju Sanem.     

"Aku tahu itu kamu Yoso. Kau tahu aku.." Yoso embekap mulut sanem agar diam.     

"DIAM!" Bentak Yoso.     

Tiba-tiba guntur menggelegar menyambar di langit.     

"Kau tahu aku menginginkanmu tapi kau malah memilih si Karsin Sialan itu. Kau pikir kau berhak menolakku HAH!" Sombong Yoso penuh kemarahan di bawah lebatnya hujan.     

Sanem yang di pepet di tepi pohon pun memberontak. Ia mencoba mengerti perasaan Yoso. Namun Sanem tidak bisa memaksakan perasaannya untuk Yosi. Dan ini sudah keterlaluan baginya.     

Sanem lalu menghalau bekapan tangan kekar Yoso.     

"Sudahlah Yoso... Kita tidak bisa memulai apa pun. Aku memang sudah akan menjadi milik Karsin. Dan itu tidak bisa berubah."Ucap sanem pada Yoso sampai hampir berteriak karena beradu dengan deru hujan.     

"APA! Tidak bisa kamu bilang! Kalau begitu akan aku buat agar semuanya menjadi bisa!" Ucap Yoso dengan mata berapi-api     

Tiba-tiba Yoso menyergap Sanem dalam dekapannya yang erat. Sanem yang meronta-ronta namun kalah dengan tenaga perkasa Yoso. Sanem mencoba berteriak namun apalah daya suara hujan mengalahkan suara parau nya.     

Di guyur lebatnya hujan dan petir yang menyambar-nyambar. Yoso kesetanan mencumbui Sanem yang sudah tergeletak lemas oleh belaian kasar Yoso. Yoso tak memberikan sedikit pun jeda untuk Sanem meronta. Ia telah mengalahkan wanita yang mencintai lelaki lain itu sepenuhnya.     

Hujan pun reda. Yoso terengah-engah. Ia baru saja menyadari perbuatan kejinya kepada wanita yang Ia cintai itu. Dan wanitanya kini tergeletak lemas di sampingnya. Berbantal akar pohon di belakangnya.     

Yoso menatap Sanem dengan wajah khawatit juga ketakutan. Ia lalu menagis. Apa yang sudah Ia perbuat. Sampai Sanem tewas di hadapannya.     

Yoso berteriak. Ia lalu berlari meninggalkan Sanem. Ia ketakutan setengah mati. Tengah malam itu hanya jangkriklah yang berderik. Tubuh Sanem yang mendingin dan mulai membiru di kegelapan dan hanya sendirian.     

Namun Yoso pun kembali lagi. Ia membawa sebuah cangkul. Bermaksud menguburkan jasad Sanem. Sebelum ada seorang datang dan mengetahui perbuatannya.     

Sayangnya saat Yoso kembali ke pohon asem dimana mayat Sanem tergeletak. Tak ada seorang pun di sana. Kecuali kain yang Sanem kenakan tadi.Yoso pun semakin panik dan ketakutan.     

Ia sangat yakin bahwa Sanem sudah tidak bernafas. Lalu siapa yang mengambil jasadnya? Apakah orang itu melihat apa yang sudah Yoso perbuat kepada mendiang Sanem beberapa saat lalu? Pikiran Yoso di penuhi oleh bayang-bayang wajah lemah Sanem saat terakhir kali Ia tinggalkan sendiri di bawah pohon asem itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.