PERNIKAHAN TANPA RENCANA

107



107

0"Apa yang harus aku berikan kepada mereka Ki?" Tanya Ayah dengan penuh rasa was-was dan ingin tahu.     

"hmmm…aku tidak bisa memberitahukannya kepadamu karena itu hak dari mereka." Ucap dukun kuring.     

Ayah terdiam. Sesuatu yang akan menjadi teka-teki kelak. Hasilnya mungkin akan bisa menyelamatkan atau malah menjadi bumerang baginya. Ia menunduk untuk berpikir.     

"Kenapa?" Tanya dukun kuring.     

Ayah menatap dukun kuring kembali de gan percaya diri. Ia tak mungkin ragu setelah tahu segalanya dan hampir sampai pada tujuannya. Ia lalu memenda, dalam-dalam keraguan yang tak penting baginya itu.     

"Ragu?" tanya kuring lagi dengan wajah yang sedikit meremehkan.     

"Tidak. Aku hanya sedang berpikir. Tidak adil rasany ajika jawabannya tidak ku ketahui. Bukankah transaksi ini harus adil dan seimbang?" Ucap ayah berusaha mencari celah. Ia tak mau berkorban untuk hal yang sia-sia.     

"Kamu memang orang yang cerdas dan pemberani. Bagaimana bisa kamu berusaha bernegosiasi dengan seorang dukun yang terkenal sakti sepertiku." Ucap dukun kuring.     

"Apa kau mendapat gelar dan ketenaran itu dengan Cuma-Cuma? Aku yakin pasti ada kerja keras di baliknya. Dan sesuatu yang di lakukan dengan kerja keras haruslah mendapat imbalan yang setimpal" ucap ayah.     

"Saya sedang membahas kamu. Kenapa kamu sekarang jadi membahas aku? Tidak usah di tutup-tutupi jika kamu ragu. Itu akan menjadi sia-sia jika dilakukan tanpa sebuah keyakinan."     

Ayah mengangguk. Kali ini ucapannya benar dan ayah setuju dengan pendapatnya. Meski maksudnya adalah hal lain.     

"Aku tidak ragu sama sekali. Aku akan melakukannya begitu pun dengan konsekuensinya. Jadi beritahu aku sekarang apa yang harus aku lakukan selanjutnya.?" Tanya ayah dengan nada bicara yang dua kali lipat lebih serius dari sebelumnya.     

"Meskipu harus di bayar dengan nyawamu?!" dukun kuring mendekatkan kepalanya lebih dekat ke ayah. Ia juga memicingkan matanya.     

Namun ayah semakin menantang dan menatapnya dengna tajam.     

"Tentu saja." Ucap ayah tegas.     

"Baiklah nak, sekarang kucatat semuanya. Namamu dan juga anakmu." Ucap dukun kuring sambil meremas-remas stangkup bunga mawar di tangannya. Ia lalu menaburkan remasan mawar yang sudah tak berbentuk rupa itu ke wadah menyan yang kini sudah berhembus asap mengepul keudara. Menimbulkan bau mistik yang sebenarnya tidak berarti apa pun kecuali sebuah wewangian. Namun di anggap sakral oleh orang-orang awam higga kini.     

Dukun kuring menanyakan nama ayah beserta bin nya, dan juga nama simbok. Tanpa basa basi ayah memberitahukannya. Dukun kuring lalu merapalkan mantra-mantara di depan kepulan asap kemenyan itu. Ia lalu meniup atau lebih tepatnya menyemburkan sebuah udara dari mmulutnya ke arah menyan itu.     

Tidak lama kemudian dari kemenyan itu menyala sebuah api.     

Ayah sedikit terkejut. Namun ia kemudian kembali khidmat menatap dukun kuring yang sedang memejamkan mata dan merapalkan mantra-mantra.     

Dukun kuring lalu membuka matanya. Ia mentap ayah dengan tatapan yang kosong. Namun mulutnya segera terbuka untuk mengucapkan sesuatu.     

"Kembang kanthil, sembojo, melati tiga tangkup." Ucap dukun kuring dengan tatapan aneh dan juga suaranya yang sedikit berubah lembut. Namun kemudian terpejam lagi. Lalu ia merapal lagi mantra-mantranya.     

Satu. Dalam batin ayah menghitung. Lalu otaknya pun mengingat.     

Dukun kuring kemudian membuka mata. Dan berkata.     

"Jangan tanya apapun sebelum aku mengatakan hal selain persyaratan yang kamu harus bawa nanti. Ingat apapun yang ku katakan, karena jika kamu bertanya setelahnya tidak akan kuberi tahu."     

"Baik Ki." Jawab ayah sambil mengangguk.     

Dukun kuring meremas mawar kembali dan menaburkannya di atas kemenyan itu. Asap kembali mengepul ke udara. Ia kemudian merapalkan mantra-mantra yanag tak ayah ketahui lalu terpejam kembali dengan tetap komat kamit.     

Kali ini Ia tiba-tiba menarik napas sangat dalam namun belum sampai puncaknya ia terhenti. Kemudian Ia membuka mata kembali. Kepalanya menoleh kanan kiri, masih dengan tatapan kosong. Ia kemudian mengatakan sesuatu.     

"Ayam Cemani panggang. Ndas wutuh." Ucap dukun kuring dengan suara yang berbeda lagi.     

Maksudnya adalah cemani panggang dengan kepala yang masih utuh.     

Dua. Agak mengerikan dengan kata kepala utuh. Rasa penasaran memang menumpuk dalam benak ayah. Tapi ia urungkan untuk bertanya lebih lanjut.     

Dengan cepat dukun kuring kembali komat-kamit mulutnya. Tiba-tiba ia menggeram. Dengusan keras terdengar dari hidungnya. Matanya yang memejam perlahan membuka, namun pupilnya tengglam entah kemana. Hingga hanya terlihat bagian matanya yang berwarna putih saja.     

"Selamat siang" Ucap dukun kuring tiba-tiba.     

Ayah sedikit terkejut. Namun ia lalu bergegas membalasnya.     

"Iya selamat siang Ki." Balas ayah.     

"Bawakan aku dupa, dan telur ayam kampung yang baru pertama kali bertelur." Ucapnya lalu terpejam kembali.     

Tiga. Ada-ada saja. Batin ayah. Bagaimana cara nya tahu ayam baru pertama atau tidak bertelur?     

"Baik Ki." Jawab ayah mantap. Meski dalam batinnya mulai gelisah juga.     

Dukun kuring kemudian seperti orang yang menggigil. Meski matanya tetap tertutup, namun Ia tetap mengatakan sesuatu.     

"Bambu kuning dan kembang takir."     

Empat. Apa? Kembang takir? Kali ini ayah benar benar tidak tahu. Apakah harus di tanyakan? Jawabannya adalah ya.     

"Kembang takir?" Tanya ayah tak mengerti.     

"Bunga tujuh rupa dalam daun pisang yang menyerupai mangkuk." Ucap dukun kuring.     

"ohh,…baik Ki."     

"Kalau begitu permisi." Ucap dukun kuring kembali.     

"Baik Ki"     

Kali ini ayah mulai memahami bahwa setia persyaratan yang diucapkan dukun kuring adalah dari sosok lain yang merasukinya. Itulah kenapa dukun kuring mengatakan bahwa ayah harus mengingat perkataan dukun kuring saat itu juga.     

Merinding segera menjalari ke sekujur tubuh ayah. Ia tak menyangka tekadnya telah membawanya melangkah sejauh ini. Selama ini keluarganya di Semarang sangat lah jauh dengan perihal klenik. Bahkan hampir tidak percaya.     

Mungkin yang merasuki dukun kuring sedari tadi adalah sosok yang ia sebut sebagai lelembut penjaga tujuh arus, yang kelak akan ia temui di ritual semedi topo jogo banyu nanti. Seperti yang di ceritakan dukun kuring sebelumnya. Begitulah tebakan dalam batin ayah.     

Tiba-tiba saja dukun kuring bersin berkali-kali. Menimbulkan suara yang mengundang gelak tawa. Ayah sendiri kini sedang tertawa. Tapi kemudian ia segera mengatupkan mulutnya. Menyadari yang di hadapannya kali ini bukanlah manusia melainkan lelembut.     

"Kain mori, kain mori, tujuh lembar." Ucap dukun kuring tiba-tiba.     

Untuk persyaratan yang ke lima ini terdengar mengerikan bagi ayah. Meski demikian ia juga tetap menyanggupinya. Suara dukun kuring yang berubah menjadi anak kecil itu pun langsung menghilang setelah ia mengucapkan persyaratan yang ia inginkan.     

Ini yang ke lima. Suara anak kecil itu serasa bergema di telinga.     

Tiba-tiba dukun kuring membuka matanya lebar. Seolah ia sedang melototi ayah.     

"Bawalah dua ekor kepala rusa kembar. Bungkus dengan kain mori. Dan bawalah kembang tujuh rupa. Masukkan kedalam sebuah bejana berisi air."Ayah tak mempedulikan ucapan Nenek. Kala itu Nenek menangis melihat keras kepalanya Ayah yang tak mendengar nasihat dari mertuanya itu. Ayah pergi tanpa pamit setelah tekadnya bulat untuk menemui Kuring dan bertanya perihal topo jogo banyu.     

Nenek terus menyalahkan Simbah akan tindakan Ayah kali ini. Menurutnya mendatangi dukun adalah kesalahan dan bukanlah solusi yang tepat. Namun Ayah yang sudah tak kuasa menghadapi penderitaan anaknya itu tak menggubris udapan Nenek sama sekali. Dalam pikirannya hanyalah satu, yaiutu keselamatan anak pertamanya.     

Ayah berjalan tergesa-gesa. Tanah yang basah membuatnya beberapa kali hampir tergelincir. Telapak kakinya yang tak beralas menyebabkan gumpalan besar di setiap jemari kakinya dan membuat langkahnya semakin berat dan tak sampai-sampai.     

Rumah Kuring yang berada di ujung desa dan tertutup semak-semak membuatnya lama untuk di jangkau. Jalannan yang tertutup oleh tumbuhan-tumbuhan perdu serta serangga-serangga datang menyambut kedatangan Ayah ke rumahnya.yang menyambut pertama kali adalah si burung hantu yang bertengger di pilar rumahnya yang terbuat dari bambu dan di berinya penyangga untuk bertenggernya burung.     

Ayah terkejut dengan kepakan burung hantu itu. Yang awalnya Ayah tak fokus dengannya. Burung itu mendelik kepadanya. Lalu kepalanya berputar. Tatapannya terus mengerikan. Batin Ayah.     

Suasana rumahnya memang terasa mengerikan. Ini pertama kalinya bagi Ayah mendatangi rumah dukun dalam seumur hidup. Tak pernah sekalipun ia berurusan denga yang namanya dukun. Ayah semakin terkejut ketika seorang yang terlihat renta memakai jubah berwarna hitam keluar menyambutnya tanpa aba-aba. Ia bahkan hampir berteriak.     

Sebelumnya ia tak pernah membayangkan kalau rupa dari Dukun Kuring yang terkenal itu seperti ini. Ia tak menyangka sudah terlihat serenta ini. Ia kira penampakannya akan seperti lelaki seusia Ayah. Selain itu penampilannya juga terlalu menyeramkan baginya. Dalam pikiran Ayah, rupa Dukun Kuring mungkin akan mengenakan blankon tua dan baju lurik usang. Bukan malah jubah berwarna hitam yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya hingga kepala.     

Jalannya hampir bungguk. Sehingga Dukun Kuring memakai tongkat untuk menyeimbangkan diri. Rambutnya sudah semua memutih, terlihat dari helaian yang jatuh di sekitar pelipisnya karena kepalanya tertutup oleh hudi jubahnya. Namun dari semua itu yang menajubkan adalah tatapannya yang begitu tajam setajam bocah usia dini.     

Tanpa aba-aba Dukun Kuring pun masuk. Ayah hanya mengikutinya. Langkah pertama memasuki rumahnya membuat seluruh bulu kuduknya merinding. Tanpa menoleh Kuring terus memimpin Ayah menuju sebuah ruangan.     

Ruangannya terletak menjorok ke dalam dari rumah tersebut. Ayah kira rumahnya kecil. Ternyata cukup panjang untuk ukuran rumah yang dindingnya masih menggunakan bambu. Sebuah lampu minyak tertancap di dinding ruangan. Aroma bunga menyeruak di seluruh ruangan tersebut. Anehnya hanya tercium ketika Ayah mulai melangkah ke ruangan tersebut. Sebelumnya tak ada sedikitpun bau harum bunga.     

Dukun itu lalu duduk. Sementara Ayah masih berdiri di pintu masuk ruangan itu. Lalu Dukun Kuring mengisyaratkan Ayah untuk mendekat dan duduk di depannya. Ayah yang mengerti maksudnya pun lalu melangkah maju dan duduk di depannya.     

"Ssssttt…bicaralah pelan-pelan. Ada yang sedang tidur." Ucapnya ketika Ayah baru menempelkan bokongnya pada lantai beralaskan anyaman bambu itu. Padahal di sini tidak ada siapa pun kecuali mereka berdua.Dukun Kuring lalu mendekatkan wajahnya kepada Ayah. Ayah yang terkejut hampir menjauhkan badannya namun Ia tahan.meski sebenarnya merasa risih.     

"Timbul yang menyuruhmu ke sini?" tanya Dukun Kuring.     

Ayah hanya mengangguk. Ia sama sekali tidak terkejut dengan kepiawaian dukun ini menebak karena itu sudah sangat terkenal.     

"Kamu tahu apa yang sebenarnya dalam pikiranmu itu sangat berbahaya?" tutur Dukun Kuring.     

"Maksudmu Ki?" tanya Ayah tak mengerti.     

"Semua yang kamu perbuat pasti ada imbalannya. Kesenangan, kesedihan, kekayaan, cinta, balas dendam, hal yang ingin kamu capai dan menyalahi takdir akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan bisa merenggut nyawamu." Ucap Dukun Kuring sambil menatap tajam Ayah.     

Ayah yang datang kepadanya dengan penuh tekad bulat pun membalas tatapannya tanpa rasa takut.     

"Saya tidak takut meskipun nyawa saya yang menjadi taruhannya.!" Ucap Ayah dengan penuh percaya diri.     

Dukun Kuring tersenyum miring lalu tertawa terkikik kemudian terbahak-bahak hingga menggema. Ayah mengangkat alisnya tak mengerti dengan tingkah dukun di depannya ini. Justru kali inilah sisi mengerikan yang pertama kali Ia temukan dari Dukun Kuring. Membuat merinding saja tertawanya itu.     

"Apa yang lucu Ki.?" Tanya Ayah padanya.     

Dukun Kuring lalu berhenti tertawa dan kembali menatap Ayah dengan tajam. Tatapannya itu membawa aura gelap untuknya.     

"Apa yang bisa kamu berikan anak muda?" tanya Dukun Kuring.     

Ayah tak kekurangan akal untuk menjawab.     

"Apa? Apa pun yang kamu butuhkan."     

"AHahahahaha…" tawa Dukun Kuring semakin keras dan menggema. Semakin memunculkan pertanyaan di benak Ayah.     

"Dari mana kamu mendapatkan keberanian ini Nak?" tanya Dukun Kuring yang tak mendapat jawaban apaun dari Ayah. Tangan Ayah mulai mengepal geram. Ia datang ke sini dengan tujuan yang besar bukan untuk basa basi.     

"Kamu yakin kamu kuat?"     

Dahi Ayah mengernyit. Ia merasa di remehkan.     

"Kalau saya tidak kuat, saya tidak akan datang ke sini ki."     

"Masih ada jalan lain Nak. Kenapa memilih jalan ini."     

"Jalan lain yang mana Ki! Tunjukkan sekarang! Aku sudah menunggunya selama dua tahun. Dan itu sangatlah melelahkan. Dan sampai sekarang tak ada satu pun yang bisa menolong anakku dari kemalangan demi kemalangan. Aku sudah bosan dengar kata sabar. Seluruh orang yang ku temui selalu mengatakan hal yang sama. Jadi tidak usah katakan itu di depanku ki!" Ayah menggebu-gebu mulai merasa kesal.     

"Jalan itu harus kamu temukan sendiri. Itu takdirmu. Tidak bisa kamu dapatkan dari aku."     

"Maksudmu, kamu tidak bisa membantuku Ki!?" tanya Ayah dengan penuh rasa marah.     

Dukun Kuring hanya diam.     

"Kalau begitu percuma aku jauh-jauh sampai ke sini. Ternyata juga menemui orang yang salah." Ucap Ayah merasa putus asa.     

"Aku belum mengucapkan apapun!" ucap Dukun Kuring.     

"Ternyata kamu orang yang begitu mudah pututs asa. Lalu bagaimana kamu bisa kuat untuk menghadapi ritual dua hari dua malam nanti?" lanjutnya.     

Ayah terdiam. Dia sendiri tak tahu ujian macam apa yang akan ia lalui kelak saat ritual topo jogo banyu.     

"Topo Jogo Banyu. Kamu akan menemui tujuh arus. Sampai arus ke tujuh. Kamu harus menyelesaikannya. Selama dua hari dua malam. Waktu akan semakin terasa panjang apabila kamu merasa kalah. Namun waktu akan terasa cepat apabila kamu yakin bahwa kamu akan menang melawan mereka."     

"Mereka?" tanya Ayah bingung.     

"Dalam setiap arus ada lelembut penjaganya. Setiap lelembut yang datang akan memberimu ujian dan hadiah. Jika ujian itu bisa kamu lalui, maka dia akan memberimu hadiah. Jika kamu gagal maka kamu wajib membayar kegagalan ritualmu kepada mereka."     

"Apa yang harus aku berikan kepada mereka Ki?" Tanya Ayah dengan penuh rasa was-was dan ingin tahu.Angin berderu kencang. Pertanda buruk telah datang. Begitulah setiap saat balak datang. Setiap saat itu tiba, Duminah bersegera memeluk erat Mas Sardi yang masih bayi. Ayah bersiap merapal doa-doa dan lampu nyamplik pun segera di nyalakan di setiap pojok rumah bambu itu.     

Hari semakin malam, hujan tak juga reda. Sementara tangis Mas Sardi kala itu tak henti-henti hingga tertinggal suara serak dan rintihan karena lelah terlalu lama menangis. Bayi yang belum tahu apa pun itu sudah mampu merasakan kehadiran yang tak diinginkan.     

Simbok tak sedetik pun mampu memejamkan mata. Mendengar rintihan si jabang bayi yang tak kunjung mereda bersama dengan hujan di luar sana. Sementara air matanya juga ikut mengalirkan air mata tak kuasa Ia tahan mendengar anak semata wayangnya merintih dan tak bisa seorangpun membantunya. Berulang kali tubuhnya menggeliat karena pegal. Sebab yang di gendongnya bukan hanya tubuh mungil Mas Sardi saja melainkan bayi yang kini kian membesar dalam perutnya.     

Akhirnya pagi pun tiba, Mas Sardi yang kelelahan pun sudah tertidur pulas. Simbok yang merasakan punggung pegal pun memaksa untuk segera menyiapkan sarapan untuk suaminya dan dirinya sendiri.     

Seperti biasa, ritual yang ayah jalani sudah hampir satu tahun itu adalah mengumpulkan lampu minyak yang semalam ia letakkan di sisi setiap pojok rumah. Ia menaruhnya di sebuah kotak khusus terbuat dari kayu agar tidak berserakan.     

Ayah bernapas dengan keras. Rasanya begitu berat setiap kali hari seperti semalam datang.begitu terasa berat meskipun sudah menjadi kebiasaan setiap waktu yang tak pernah Ia tentukan. Gusar batin ayah semakin menuju puncaknya. Ia tak bisa lebih sabar lagi menghadapi hal seperti ini. Lebih-lebih harus menyaksikan anaknya mengalami hal yang tak seharusnya anak seumur Mas Sardi alami kini.     

Simbok menata meja untuk sarapan ayah. Namun ayah bergegas pergi dengan raut muka yang marah. Simbok hanya menghela nafas melihat perilaku suaminya itu.     

Tibalah ayah di rumah Simbah. Simbah kala itu sedang menyeruput kopinya di teras. Tanah basah masih tercium segar mengiringi kedatangan ayah ke rumahnya. Rahang ayah yang terus mengeras dan tangannya tak berhenti mengepal. Kekesalannya yang semakin memuncak membutuhkan solusi yang nyata. Lebih dari sebuah kata-kata penenang.     

Pagi ini. Tanopa membuat keributan. Ayah mendatangi rumah simbah dengan hati yang bergemuruh. Ia lalu memperbaiki raut mukanya ketika memasuki pekarangan rumahnya. Simbah bergeming. Seolah bisa membaca dengan jelas kegamangan dalam dada ayah.     

"Asalamualaikum." Sapa ayah pada simbah setibanya di teras.     

"Waalaikumsalam." Jawab simbah. Simbah lalu meletakkan cangkirnya.     

Ayah pun mencium punggung tangan simbah.     

"Ayo masuk." Ajak simbah yang sudah menduga kedatangan ayah kali ini pasti akan serius.     

Duduklah mereka di ruang tamu rumah simbah. Nenek yang sedang di belakang pun menghampiri mereka berdua. Ayah tidak lupa mencium punggung tangannya juga.     

"Ada apa le…kok kelihatan serius sekali masih pagi.?" Tanya nenek pada ayah.     

Simbah juga memasang wajah serius untuk mendengar jawaban dari ayah.     

Namun ayah malah terlihat mengurut dahinya. Ia tidak merasa pusing. Namun air mata pelan mulai mengalir di pelupuk matanya.     

"Aku sudah ndak kuat Pak. Ini sudah yang kesekian kalinya Sardi anakku menangis tidak hentinya hingga suaranya menghilang. Anak itu terlalu kecil untuk mengalami hal seperti ini. Aku sudah ndak kuat melihat penderitaannya yang entah akansampai kapan. Setiap angin kencang tengah malam datang, dia mulai menangis dan merintih. Orang tua mana yang tahan menyaksikan itu selama bertahun-tahun. Apa yang harus aku lakukan pak, buk, tolong beri tahu aku. Akan aku lakukan apapun itu." Ayah menumpahkan kegelisahannya saat itu juga dengan berderai air mata di depan Simbah dan nenek.     

Nenek yang tidak tega pun ikut menangis dan mengelus pundak ayah dengan penuh rasa iba.     

Simbah menghela nafas. Hendak menjawab keputus asaan ayah saat itu juga namun ia tahan. Karena ini bukan perihal yang mudah.     

"Kamu yakin Le, akan melakukan apapun? Anakmu akan segera lahir. Mungkin saja obatnya akan ada pada anak keduamu?" Tutur Simbah.     

"Mungkin pak? Sampai kapan kehidupan anak pertamaku itu di bayangi dengan kata mungkin? Sampai kapan kehidupannya di buat seperti permainan. Ia terlalu kecil pak… terlalu kecil untuk mengalami itu" Ayah serasa ingin meledakkan seluruh isi hatinya sekarang juga. Namun hal itu tidak akan ada artinya. Keputus asaannya tak kan terbayar hanya dengan bercerita dan menangis di depan simbah dan nenek.     

Simbah menghela napas dengan keras kembali.     

"Ada satu hal yng bisa kamu lakukan Le. Tapi aku tidak yakin akan imbasnya kelak. Aku takut malah akan menjadi bumerang untukmu. Atau Sardi kelak." Tutur simbah.     

"Apa Pak? Beritahukan kepadaku sekarang juga. Akan aku laksanakan dan akan aku terima apapun resikonya." Tiba-tiba ayah seolah mendapatkan oase dalan perjalanan panjajngnya melintasi gurun yang sangat luas.     

"Topo Jogo Banyu." Tutur simbah yang membuat dahi ayah berkerut.     

"Apa maksudnya itu Pak?" Tanya ayah tak mengerti.     

"Ini adalah ritual semedi yang bisa kamu lakukan untuk menghilangkan balak anakmu." Ucapan simbah terhenti.     

Ayah menunggu kelanjutan percakapan mereka.     

Sementara Simbah tak kunjung melanjutkan ucapannya.     

"Kenapa Pak? Kenapa ngomongnya berhenti. Aku akan melakukan apa saja. Demi anakku. Demi cucumu yang pertama itu." Ucap ayah menggebu-gebu.     

"Tapi semuanya tidak akan mudah."     

"Akan aku lakukan.!" Jawab ayah dengan cepat.     

Simbah kali ini menarik nafas panjang lalumemejamkan mata.     

"Baik Le, ayo kita ke rumah Kuring." Ajak Simbah.     

Dahi nenek berkerut seolah tak setuju dengan ajakan simbah terhadap menantunya itu.     

"Apa to Pak sampean itu!. Ndak usah macem-macem pergi ke dukun segala. Sudah tahu nanti ujung-ujungnya ndak baik. Tapi malah ngajak-ngajak ke sana." Tutur Nenek marah pada simbah. Simbah hanya terdiam. Namun sorot matanya mengartikansesuatu pada menantunya yang putus asa itu.     

Teman yang di maksud adalah Kuring. Simbah memang cukup terkenal berteman dekat dengan Kuring. Itulah kenapa simbah sedikit memiliki pandangan tentang magis. Semuanya berkat berlatih dengan Kuring.     

Kuring adalah salah satu dukun yang terkenal kesaktiannya. Namun tidak hanya kesaktiannya, Kuring juga terkenal dengan kelicikannya. Beberapa kali orang yang datang kepada Kuring berakhir tragis setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan sudah tidak menjadi rahasia lagi di kampung ini.     

Namun bagi simbah itu tak masalah. Berhubungan dengan dunia magis memang mengandung banyak sekali resiko. Apalagi bagi manusia yang mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari mereka para makhluk yang tercipta tanpa raga itu. Mereka pasti akan meminta imbalan yang setimpal. Yang biasa di sebut sesembahan.     

Ayah tak pernah tahu tentang latar belakang Dukun Kuring yang terkenal itu. Dalam benaknya, terpikirkan sesuatu yang ingin segera ia capai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.