PERNIKAHAN TANPA RENCANA

104



104

0Malam itu adalah malam yang sangat panjang bagi Duminah. Nama simbok sebenarnya. Ia tak pernah berpikir akan mendapatkan ujian sepedih ini sebelumnya. Ia adalah wanita polos sejak mulanya. Menikah untuk yang kedua kalinya karena dalam pernikahan yang pertama Ia dikhianati.     

Pertemuan dengan ayah yang hanya singkat dan berakhir di pelaminan kala itu. Langgeng hingga kini telah memiliki anak yang ke lima.     

Duminah yang melihat anak sulungnya di papah ke arahnya yang setengah tak sadarkan diri itu pun mencelos hatinya. Tubuhnya serasa gemetar dan rasa takut serta khawatir menyelimutinya.     

Mas Sardi tertidur seharian. Tak ada yang berani membangunkannya. Tidak satu pun tanpa seijin ayah. Ayah mondar-mandir mencari solusi untuk anak sulungnya yang sedang ternyata sedang ketiban sawan itu pun akhirnya berhasil .     

Ayah pergi ke rumah simbah. Pagi setelah membaringkan Mas Sardi. Begitu ayah memberi wejangan kepada anak-anak lainnya agar tak membangunkan Mas Sardi. Sementara anak-anaknya duduk di sekeliling Mas Sardi yang tertidur pulas sepanjang hari.     

Tak ada satu pun pertanyaan yang keluar dari mulut mereka. Melihat gurat kepanikan wajah ayah sudah cukup menjelaskan seberapa genting masalah hari itu. Seperginya ayah meninggalkan keheningan di antara mereka.     

Akhirnya ayah sampai di depan rumah Simbah. Lelaki yang kian renta dimakan usia itu sedang mencabut rumput di depan rumahnya yang kecil. Simbah memang tinggal sendirian semenjak di tinggal oleh istrinya. Aku tidak sempat mengenal mbah putri karena beliau sudah meninggal bahkan sebelum aku lahir.     

Melihat gurat kepanikan ayah, Simbah langsung pergi masuk rumah diikuti ayah di belakangnya. Sudah pasti simbah bisa menebak apa yang terjadi. Dahulu sekali, saat Mas Sardi baru terlahir. Simbah nampak memberikan tatapan khawatir terhadapnya. Ayah yang mengetahui langsung menanyakan kekhawatiran yang di pendam simbah saat itu.     

"Pak... kenapa to, cucu panjenengan lahir kok malah sedih." Tanya ayah pada simbah saat itu.     

Simbah tak segera menjawab pertanyaan Ayah saat itu juga. Selang hari di mana hari puputan atau lepas pusarnya Mas Sardi, barulah Simbah datang kembali dan menjawab pertanyaan Ayah.     

"Le..." Panggilan Ayah dari simbah. Simbah duduk di kursi tamu dengan membawa sebuah bungkusan yang terbuat dari daun jati.     

"Iya pak.. ada apa?" Tanya Ayah waktu itu.     

"Anakmu itu wetonnya ganjil. Kamu tahu artinya?" Ucap Simbah pada Ayah.     

Ayah hanya menggeleng kepala.     

"Weton ganjil itu artinya nyonggo balak. Kamu tahu nyonggo balak?"     

"Maksudnya mudah kena sial?" Jawab Ayah.     

Simbah menggeleng. Lalu menghela nafas dengan berat.     

"Sedulur papat limo pancer. Kamu tahu kan mereka?" Tanya Simbah pada Ayah.     

Ayah mengangguk.     

Istilah ini sudah ada sejak jaman dulu di mana para raja-raja jaman dulu selalu mengatakan bahwa dirinya memiliki pendamping spiritual, sehingga ketika mengalami masalah yang bingung biasanya sang raja akan diam sebentar untuk bersemedi atau menunduk sambil pejam mata dan langsung berkata ke semua pembesar kerajaan bahwa barusan mendapat bisikan dari sedulur nya untuk melakukan sesuatu tentang kerajaan. Dan titah raja ini diikuti oleh seluruh keluarga kerajaan. Istilah, "bisikan sedulur" akhirnya menjadi omongan di kerajaan dan meluas di jaman itu, sehingga banyak pembesar kerajaan yang juga ingin mendapatkan hal itu, dan banyak yang melakukan berbagai ritual untuk memiliki kekuatan itu. Proses memiliki sedulur papat limo pancer dianggap suatu kesaktian sehingga yang bisa memiliki dianggap sudah mumpuni. Dan istilah ini terus menurun sampai saat ini, dan proses memiliki sedulur papat limo pancer terus menjadi pembicaraan di kalangan spritualis.     

Empat saudara, dianggap sebagai simbol perlindungan dengan posisi melindungi diri kita dari empat penjuru arah mata angin. Jadi satu di utara, satu di selatan, satu di barat, satu di timur sehingga dengan empat sosok saudara itu bisa menjadi pelindung kita dari berbagai bahaya. Dan kata limo pancer, adalah diri kita sebagai pusat atau sebagai pengontrol dari keempat saudara kita itu. Lalu apakah sedulur empat itu adalah sosok fisik yang nyata? atau kah makhluk lain? sebenarnya sedulur papat itu adalah saudara kembar kita yang sudah Tuhan ciptakan untuk membantu kita.     

"Orang yang terlahir dengan weton ganjil itu menarik perhatian balak dan mereka para pembawa balak, lelembut dan sebagainya. Masalahnya di sini adalah sedulur papat anakmu tak mau menjadi pelindung limo pancer nya. Alias anakmu. Dan hal itu menjadi menjadi musibah bagi kita."     

Ayah menatap simbah dengan serius dan juga raut khawatir. Kelahiran anak pertamanya itu di bumbui dengan dilema dan nasib yang mengerikan.     

"Mbah, lalu apa yang harus saya perbuat?" Tanya ayah pada simbah berharap mendapatkan solusi yang terbaik.     

"Saya juga tidak tahu, mungkin teman saya tahu. Cuman satu pesan saya. Mulai sekarang bersiaplah. Karena hari-hari kedepan kalian akan di kejutkan dengan berbagai kesialan yang aku sebutkan tadi menimpa anakmu. Sukur-sukur kamu bisa melindungi anakmu dengan tanganmu sendiri. Kalau ndak bisa ya harus belajar ikhlas. Kamu beritahu perihal ini sama Duminah. Pelan-pelan pasti dia akan terkejut pertamanya. Karena itu pelan-pelan beritahu masalah ini. Supaya dia mengerti dan kalian bisa mencari solusi bersama-sama dengan tenang." Ucap simbah memberikan ayah sebuah piweling.     

Ayah mengangguk dan menelan semua nasihat Simbah dengan hati-hati. Pikirannya saat itu menjadi penuh dengan kekhawatiran akan kehidupan anak semata wayangnya kala itu.     

Simbok menangis m3ndengar cerita Ayah tentang piweling dari simbah pagi tadi. Ia sebagai seorang wanita yang baru pertama kali mempunyai anak menjadi merasa tidak berdaya dan tidak berguna. Sementara kekhawatiran memenuhi kepala dan pikirannya solusi pun serasa tidak mungkin di temukan.     

Namun ayah berusaha meyakinkan Simbok. Bagaimana pun juga ayah tidak akan putus asa mencarikan obat untuk kesembuhan anaknya.     

"Dum... sudah jangan menangis. Kasihan anak kita. Kamu harus tegar. Jangan biarkan anak kita ikut merasakan kekhawatiran kita." Begitu tutur ayah menguatkan Simbok.     

"Tapi Mas... bagaimana dengan anak kita. Bapak saja tidak tahu bagaimana menyembuhkannya. Kita mau cari kemana?" Duminah terisak dengan Mas Sardi di pangkuannya.     

"Sudah. Kamu tenang saja. Tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Ini memang ujian untuk kita. Kita harus kuat. Besok saya akan cari obat itu. Kamu harus mendukung saya demi kesembuhan anak kita." Tutur ayah pada Simbok.     

Dua tahun berlalu. Ujian-demi ujian pun bertubi-tubi Simbok dan ayah hadapi, terlebih Mas Sardi. Mas Sardi yang menginjak usia dua tahun tak kunjung tumbuh. Melainkan tetap seperti bayi utuh baru lahir. Baik secara fisik maupun psikis. Meski demikian baik Simbok Maupun ayah berusaha sabar menghadapi setiap ujian yang Mas Sardi lalui.     

Sementara Simbok sudah hamil lagi dan usianya kini menginjak tujuh bulan.Mas sardi mengirim surat kembali. Waktu tempuh yang tak bisa cepat membuat keluarga di Jawa tak bisa tepat hari mendapat kabar meninggalnya si kembar. Kabar duka itu datang dua hari setelah datangnya surat lain yang Mas Sardi kirimkan.     

Dalam surat yang pertama Mas Sardi mengatakan kepada Ayah bahwa Ia telah membawa si kembar ke dukun bayi. Lalu Ia mengatakan bahwa si kembar mengidap sawan. Namun dalam surat itu tertulis bahwa sawan itu bukanlah sawan langsung, melainkan sawan turunan dari seseorang.     

Aku tidak tahu kenapa kalimat-kalimat dari surat Mas Sardi itu membuat ayahku menangis tersedu-sedu. Pasalnya ayahku itu orang yang kuketahui selama itu tak pernah menangis. Beliau selalu tegas dan bijaksana. Tak pernah menjatuhkan air mata sepedih apapun yang di hadapinya. Berbeda dengan Simbok yang lebih mudah menangis, setiap apa pun permasalahan yang dihadapi pasti diiringi dengan tangisan.     

Pada saat ayah menangis, aku tidak menanyakan apa alasannya melainkan langsung ku ambil alih surat di tangannya itu. Di surat pertama belum kutemukan hal sepedih tangisan ayah. Di surat kedua lah aku menemukan kabar yang begitu memilukan dari pulau nan jauh di sana. iku Dari situ lah kuduga bahwa ayah terlalu sedih dengan kepergian cucu pertamanya yang bahkan belum sempat beliau temui itu. Kabar itu kami semua berduka.     

Dari situ lah awal mula ayah mulai sakit-sakitan. Tak sampai satu tahun kemudian ayah menghembuskan nafas yang terakhir kalinya. Kesedihan kami pun berlipat ganda.     

Aku baru tahu kalau sawan bisa menjadi sebuah penyakit turunan. Sawan yang kutahu adalah salah satu penyakit umum yang diderita masyarakat baik tua, dewasa, maupun anak-anak, dan balita. Penyakit sawan lebih sering menyerang pada bayi, anak-anak, dan ibu hamil. Ketika seseorang mendadak mengalami perubahan tingkah laku dan kesehatan fisik dengan tanpa alasan, maka orang tua akan menghubungkannya dengan sawan.     

Penyakit ini umum di sebutkan di Jawa. Namun bukan rahasia lagi. Biasanya penyakit ini di kaitkan dengan unsur magis. Misal, seseorang mengalami sakit demam, menggigil sedangkan suhu badan panas tinggi, telapak tangan dan kaki berkeringat, dada berdetak kencang kemudian akan dihubungkan dengan sawan, yakni sawan pada orang meninggal, petir, juga kejadian tertentu. Padahal, apabila dirunut secara logika orang tersebut mengalami ketakutan atau kaget terhadap sebuah peristiwa yang menyedihkan, menakutkan, menjengkelkan, menyedihkan sehingga terbawa pikiran dan menyebabkan tegang hingga sakit. Dan jika pasien ini dibawa ke rumah dokter maka prediksinya akan berbeda yaitu terjadi peradangan karena virus atau bakteri tertentu.     

Sawan pada bayi, balita, dan ibu hamil biasanya dihubungkan dengan terlanggarnya mitos sehingga berakibat pada sakit. Berikut beberapa contoh penyakit sawan; pertama, ketika bayi menangis rewel tanpa sebab hingga tidak bisa didiamkan maka orang tua panik dan orang pintar akan mengatakan anak tersebut terkena sawan karena bapak atau ibunya bepergian tanpa membawa penangkal sawan.     

Kedua, peristiwa pada ibu hamil yang tiba-tiba sakit panas atau perut sakit padahal belum waktunya melahirkan, dukun bayi akan menandainya sebagai terkena sawan karena suami melakukan pekerjaan tertentu atau menyakiti binatang tertentu. Ketiga, saat anak balita terkena ruam parah pada lipatan pergelangan kaki, tangan, atau leher maka diasumsikan terkena sawan karena orang tua melihat orang menyembelih binatang tanpa menyebut nama si anak atau jabang bayi sehingga terkena sawan. Demikian peristiwa-peristiwa penyakit yang dianggap sebagai penyakit sawan oleh masyarakat.     

Penangkal sawan sendiri bermacam-macam, seperti contoh gunting, pisau, sapu lidi, sapu jerami, kaca, sisir dll.     

Pengobatan pada keluarga yang mengalami sakit sawan dengan membawa si sakit berobat kepada dukun pijet bayi atau orang pintar. Di sini si sakit akan diberi obat berupa rempah-rampah yang telah diberi mantera-mantera atau doa-doa yang dikenal dengan sebutan sawanan.     

Sawanan biasanya berupa rempah-rempah Jawa di antaranya daun dlingo, bangle, adas waras, kunyit, bawang merah, ketumbar, laos, jinten, kulit pohon secang, kayu manis, akar wangi, cendana, daun kemukus, daun kemuning. Rempah-rempah tersebut diambil sedikit tiap jenis dan ditumbuk jadi satu kemudian ditambah dengan jenis sawan penyebab sakit dan ditempelkan atau dibalurkan pada tubuh si sakit pada tiap persendian utamanya ubun-ubun dan belakang telinga.     

Aku teringat kembali peristiwa itu. Ketika simbok berkata bahwa sawan itu turunan dari ritual yang ayah lakukan. Sesaat setelah Simbok berbaring di ranjangnya. Beliau memegang tanganku dan mengatakan hal yang aneh.     

"Sawan itu di sebabkan oleh ayahmu." Kata Simbok dengan suara yang lemah setengah berbisik.     

Aku memang sedikit terkejut. Namun kuingat kembali peristiwa surat itu membuat aku tahu penyesalan apa yang bisa membuat ayahku menangis begitu tersedu-sedu. Ternyata beliau dipenuhi rasa bersalah kala itu.     

"Maksud simbok apa mbok?" Tanyaku yang masih belum mengerti.     

"Ayahmu terlambat menyadari bahwa ritual yang Ia lakukan mengemban sawan yang mengerikan." Simbok menghela nafas. Ia mulai menatap awang-awang. Berusaha mengingat kejadian pahit yang selama ini terpendam diantara mereka berdua.     

Aku mengambil kursi yang berada di sisi lemari kayu di sisi ranjang simbok. Pantulan sosok simbok terlihat dari kacanya. Kutarik kursi itu ke sisi ranjang agar aku bisa lebih dekat dengan simbok. Kupegang tangannya supaya bisa menyalurkan energi penyemangat agar Simbok lebih kuat untuk menceritakan kelanjutan kisah dari kematian si kembar.     

Bibir Simbok mengatup kencang seolah menahan tangis yang begitu dalam. Sebelum sepatah kata pun mampu terucap Ia telah memenuhi pelipisnya dengan basah air matanya yang mulai mengalir perlahan namun deras.     

Mulailah Ia bercerita.     

Malam itu Simbok sedang menumbuk kopi. Tak ada seorang pun yang menemani, terakhir kali Mas Kardi membantunya sebentar kemudian Ia juga minta izin agar bisa pergi ke pagelaran sintren di kampung Utara.     

Ketika semua orang pergi menonton pagelaran. Tiba-tiba ayah keluar dari kamar. Ia berlari keluar rumah dengan terburu-buru. Simbok sempat bertanya namun ayah bahkan tak sempat mendengar seluruh pertanyaannya.     

Kemudian keesokan harinya dengan penuh khawatir Simbok menunggu kepulangan mereka yaitu ayah dan Mas Sardi, karena Mas Kardi sudah pulang malam itu juga.     

Dengan tergopoh-gopoh Mas Sardi di papah oleh ayah dan Kabul. Simbok mempersilahkan mereka masuk. Membiarkan Kabul membaringkan Mas Sardi ke ranjangnya. Kemudian Simbok membuatkan dua gelas teh.     

Di situlah malamnya ayah menceritakan apa yang terjadi dengan Mas Sardi sebenarnya pada hari itu. Sebelumnya simbok tak pernah tahu bahwa Mas Sardi selama ini mempunyai kelainan atas kelahirannya. Karena itu simbok sangat terkejut dengan penuturan Ayah kepadanya malam itu.     

Ayah mengatakan hal yang benar-benar membuat Simbok terkejut setengah mati. Pasalnya selama ini tak pernah ada yang salah dengan Mas Sardi atau pun anak yang lainnya.Tangis Simbok tak kunjung reda. Seolah pelukan kami tak mempu menjadi penghangat hatinya. Air matanya merembes di pundak baju kami. Tanpa sadar kami pun ikut menangis dalam diam. Meski kami masih belum mengerti apa yang salah sebenarnya. Namun air mata dingin yang tak kunjung reda itu menjelaskan segalanya.     

Kini tangis beliau telah mereda. Malah sesenggukan kami yang tak mereda. Kami menatap simbok yang menunduk entah apa yang coba beliau sembunyikan. Kenapa begitu sulit dan kenapa begitu berat. Beliau berusaha menghapus air matanya, kaming pun membantunya. Kutahan seribu pertanyaan dalam kepalaku. Kubiarkan waktu mengalir menyembuhkan beliau dengan sendirinya.     

Beliau menghela nafas. Ia lalu memandang jauh ke arah luar tepat ada pintu di belakang kami yang terlihat hamparan air tambak. Namun bukan pemandangan itu yang beliu tatap saat ini. Tatapannya semakin jauh dan kosong. Tingkahnya semakin membuat kami tak mengerti. Aku dan Mba Ranti saling pandang bingung harus berbuat apa.     

Tiba-tiba simbok menghela nafas yang begitu panjang. Terdengar kelegaan di sana. Beban yang coba beliau urai kepada kami. Kalimat yang pertama muncul adalah.     

"Semua karena ayahmu." Tutur simbok dengan suara yang berat.     

Aku dan Mba Ranti saling tatap. Kami sama-sama tak mengerti apa yang dimaksud simbok kali ini. Mba Ranti mengusap punggung tangan simbok. Lalu simbok kembali menangis. Ia mengusap-usap tangan Mba Ranti dengan tatapan penuh rasa bersalah.     

"Maafkan Simbok Ndok, maafkan ayahmu,…maafkan Simbok…" Simbok menangis penuh penyesalan. Suaranya lirih hampir merintih sambil menundukkan pandangannya. Air mata kembali terus menetes deras.     

Aku mengusap bahu Simbok dengan penuh kasih. Mba Ranti menatapku kebingungan.     

Ia lalu memegang kedua pundak Simbok dan menegapkan tubuhnya. Diluruskan pandangan Simbok agar menatapnya. Dia berusaha menenangkan Simbok yang terus memohon untuk di maafkan.     

"Mbok,…ssttt…sudah Mbok" Mba Ranti lalu memeluk Simbok kembali sembari mengusap-usap punggungnya lagi. Tangis Simbok menjadi.     

"Apapun kesalahan Simbok, kami pasti akan berusaha mengerti." Ucap Mba Ranti kepada SImbok. Aku menghapus air mataku yang sesekali juga ikut terjatuh. Menatap mereka berdua yang entah terlibat takdir mengerikan apa sehingga membuat Simbok terus menangis dan memohon permintaan maaf kepadanya.     

"Itu tidak mungkin Ndok. Kesalahan kami terlalu besar." Simbok menatap Mba Ranti yang semakin bingung.     

Mba Ranti menghapus air mata Simbok kembali dengan jemarinya.     

"Sekarang Simbok tarik nafas, perlahan saja jelaskan kepada kami ada apa sebenarnya." Simbok memalingkan mukanya. Ia masih merasa berat untuk mengatakan kebenarannya.     

"Kematian Si Kembar." Simbok menghentikan ucapannya. Suaranya seolah tercekat di kerongkongan. "Kematian Si Kembar adalah karena kegagalan ayahmu." Seketika Mba Ranti membelalakkan mata. Tangannya mulai bergetar hebat beserta dengan tubuhnya.     

Suaranya mulai meracau tak karuan. Ia mulia berteriak-teriak tak jelas. Tangannya mengacak-acak sanggul dikepalanya yang kini sudah tak berbentuk rupa. Sementara kegaduhan didapur yang kian riuh, Mas Sardi yang mendengarnya pun berlari terpincang-pincang ke arah kami.     

"Ada apa ini! Apa yang terjadi kenapa bisa sampai seperti in!" Bentak Mas Sardi kepada kami berdua yang kurasa ia panik, sama paniknya denganku dan simbok.     

"Aku lupa Di…" Ucap Simbok kepada Mas Sardi.     

"Kan sudah ku bilang jangan sekali-kali mengungkitnya! Kalau sudah seperti ini bagaimana?!" Mas Sardi mulai marah-marah terhadap Simbok. Simbok hanya terus menangis karena merasa bersalah. Mba Ranti semakin tak terkendali. Mas Sardi kewalahan. Aku berusaha membantunya. Namun aku malah terpental. Sementara simbok hanya terpaku menatap apa yang ada di hadapannya.     

"Aghhh…!!!!" Mas Sardi kalap. Aku memegangi Mba Ranti agar tenang meski malah aku yang terseok-seok oleh gerak tubuhnya yang tak karuan.     

Mas Sardi lalu menghampiri Simbok. Tangannya terangkat. Kurasa emosinya benar-benar memuncak di ubun-ubun. Aku berlari meninggalkan Mba Ranti lalu menutupi tubuh Simbok dari Mas Sardi yang mulia gelap mata.     

"Hentikan Mas! Hentikan!" Teriakku kepadanya meski aku yakin Ia tak kan mendengarkanku. Tangannya berhasil mengenai bagian belakang kepalaku. Aku sangat bersyukur meski terasa sakit dan kebas. Setidaknya aku telah berhasil melindungi simbok dari amukan Mas Sardi.     

Aku menatap Mas Sardi nanar. Air mataku mulai berkumpul dan sebentar lagi pasti luruh. Benar sekali, Ia menetes dengan derasnya. Aku tahu mas Sardi memang begitu keras perangainya. Ia adalah orang yang begitu dingin dan sedikit tak berperasaan. Tapi bukankah kehilangan kendali pada Ibu sendiri terlalu berlebihan?.     

"Sudah puas Mas? Ayo pukul lagi. Sementara aku babak belur, tidak akan menyembuhkan Mba Ranti." Ucapku sambil berderai air mata.     

Sementara simbok di belakangku terduduk lemas menyaksikan kejadian yang tak pernah ia duga sama sekali. Satu jam yang lalu kita masih tertawa-tawa sambil makan jambu air.     

BUGGG!!! Suara gedebuk teerdengar keras dari jatuhnya tubuh Mba Ranti. Mba Ranti telah pingsan. Mungkin karena Ia kelelahan meronta-ronta penuh energi.     

Sementara Simbok terduduk lemas di belakangku seolah kehilangan seluruh energinya. Air matanya terus mengalir tanpa sedikit pun suara ia keluarkan. Betapa Ia merasa bersalah atas yang terjadi hari ini. Bahkan sebelum ini pun Ia telah memendam perih yang begitu hanya dalam. Setelah kepergian ayah Beliau hanya memendamnya dan menanggung beban yang begitu berat itu sendirian.     

Mas Sardi berbalik ke arah Mba Ranti. Ia juga terlihat menyesali tindakannya kali ini. Tangannya mengepal penuh amarah. Ia lalu memapah Mba Ranti ke kamarnya.     

Setelah Mas Sardi pergi, aku berusaha memapah tubuh simbok untuk berbaring di ranjang kamar. Agar pikirannya yang kacau kali ini segera pulih. Namun simbok seolah bergeming tak meu mendengarku. Kukira simbok benar-benar menyesali peruatannya. Namun tak ada artinya jika simbok hanya duduk di sini dan menangis tak ada hentinya.     

"Mbok, ayo masuk istirahat. Ku bantu berdiri." Ucapku pelan pada simbok.     

Ia menggelengkan kepala tak mau berpindahtempaat barang sesenti pun.     

"Aku tahu Mbok, simbok pasti menyesal. Tapi tak akan ada yang selesai dengan seperti ini."     

Simbok masih tak mau mendengarkanku.     

Aku lalu berpindah kehadapannya, berjongkok tepat di depannya. Ku hadapkan wajanya ke hadapku. Sehingga Ia menatapku. Dalam diam, air matanya tak berhenti mengalir seolah sedang menceritaka seisi benaknya yang kacau kali ini. Namun dalam bahasa verbalnya itu aku masih tak bisa memahami permasalahan sebenarnya antara Simbok, Ayah, Mas Sardi dan kematian mendiang Si Kembar.     

Seingatku memang Sikembar meninggalkarena sakit. Meski sampai sekarang tak seorang dokter pun bisa menjelaskan kematian mereka berdua. Kala itu, dalam surat yang kubaca diarsipnya ayah, bahwa sikembar telah mengalami sakit hingga berminggu-minggu. Anehnya tak seorang dokter pun bisa memberi diagnosa tentang penyakit mereka.     

Lalu ayah pun menyarankan untuk datang ke dukun bayi. Disitulah Mas Sardi terkejut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.