PERNIKAHAN TANPA RENCANA

114



114

0Duminah bercucuran air mata. Ia tak kuasa menahan keresahannya sendirian. Suaminya memelukanya supaya melunturkan kegelisahan istrinya itu. Namun tak berarti apa pun. Duminah tetap merasa bahwa kehidupan ini kejam padanya. Dan ia di paksa untuk menerimanya.     

"Tidak Mas. Aku benar-benar serius." Ucap duminah dengan sorot mata tenang namun berarti sebuah keseriusan. Ayah lalu melepas pelukannya. Ia menatap lekat-lekat istrinya itu. Ia tak menemukan sedikit pun keraguan dalam mata sembabnya.     

"Ada apa Dum, kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Ayah.     

"Aku bukannya berubah pikiran Mas. Aku memang tak pernah mengatakan setuju." Duminah berkata dengan sedikit bergetar. Ia lalu duduk di kursi di mana itu adalah tempat biasa mereka makan.     

Ayah mendesah dengan keras. Rasanya pikirannya tiba-tiba penuh. Apa lagi kali ini yang akan terjadi. Ia sudah melewati cukup banyak rintangan hingga sampai ke titik ini. Sebentar lagi, tinggal menghitung hari. Dan kini istrinya terlihat meragukan jalan yang di pilihnya.     

"Apalagi Dum? Kenapa lagi? Apa Ibumu? Ibumu datang lagi ke sini? Apa yang dia katakan?" Tanya ayah pada simbok. Ia berlutut di depan duminah yang masih menangis dalam diamnya.     

Namun duminah masih saja hanya menggeleng kepala. Dan itu membuat ayah semakin frustasi. Tak mendapat jawaban apa pun darinya.     

"Lalu siapa yang membuatmu menjadi seperti ini."     

"ini bukan karena siapa yang membuat aku seperti ini mas. Ini karena apa yang kamu lakukan!"     

Tiba-tiba suasana menjadi memanas.     

"Karena aku! Aku? Maksud kamu karena aku itu apa! Aku melakukan ini demi kamu. DEMI ANAK KITA DUM!"     

"JANGAN KATAKAN DEMI AKU MAS! Semua karena rendah dirimu akan anak kita. Iya kan?"     

Ayah dan simbok pun saling berteriak. Sampai keduanya tidak mendengar tangis Bayi Sardi.     

"Apa katamu! Jadi selama ini itu lah yang ada dalam pikiranmu? Kamu…kamu..!"     

Ayah mengepalkan tangannya. Iya tak kuasa memendam amarahnya lagi. Sementara duminah terus menangis tak henti-henti.     

Dengan kesal ayah memasukkan semua persyaratan yang sudah ia kumpulkan ke dalam sebuah karung. Termasuk kepala rusa itu. Ia lalu memanggulnya danmenuju ke arah pintu keluar. Dengan cepat duminah meraih lengannya.     

"Mas, dengarkan dulu aku belum selesai." Ucap Duminah dengan sesenggukan tangisnya.     

"SUDAH DUM. APA PUN YANG KAMU KATAKAN TAK AKAN MERUBAH APA PUN. KAMU TIDAK TAHU APA YANG SUDAH KU ALAMI HINGGA SAMPAI DI TITIK INI." Tutur ayah dengan penuh penekanan dan sorot mata marah serta kecewa. Ia pun kemudian mengibaskan tangan Duminah yang seketika langsung terpental.     

Ayah pun berjalan keluar rumah dengan cepat. Sementara istrinya yang sedang hamil tua kewalahan mengejar langkah kakinya.     

"MAS! MAS! MAS!" Suara panggilan duminah begitu keras bahkan tangisnya pun terdengar jelas. Namun entah apa yang menutupi telinga ayah sampai ia tak mau mendengarkan lebih jauh apa yang di katakan istrinya itu. Ia yakin pada akhirnya istrinya akan mencegahnya melakukan ritual yang tinggal selangkah itu. Tidak. Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Ucap ayah dalam batin.     

Dengan amarah yang membara di dalam batinnya. Tekad ayah malah semakin kuat. Mereka semua tak ada yang tahu, ia sudah mempertaruhkan nyawanya sampai di titik ini. Tak ada seorang pun yang bisa merobohkan tekadnya yang sudah hampir mencapai puncaknya itu.     

Terlalu awal bagi ayah untuk datang ke tempat ritual. Di tepi sungai inilah kelak akan di adakan ritual topo jogo banyu. Ayah belum tahu pasti apa yang akan dia kerjakan nanti. Sehingga dia memutuskan untuk duduk di bawah pohon klasem tidak jauh dari tepi sungai.     

Ia menggelar sebuah alas yang berasal dari karung bekas. Ia lalu meletakkan karung berisi segala printilan persyaratan yang ia bawa sejak tadi di atas alas tersebut. Ia lalu segera berbaring. Sambil menunggu kedatangan Dukun Kuring datang. Mungkin Ia akan datang selepas adzan ashar nanti. Masih ada waktu sampai dua jam ke depan untuk mengistirahatkan punggungnya dari rasa lelah.     

Silir angin bertiup dan suara riak sungai ternyata lebih ampuh sebagai senandung tidur. Tidak lama setelah ia merebahkan tubuhnya dan menatap dedaunan di atas. Ia pun terpejam, terlelap di alam bawah sadarnya.     

Ia berlari-lari bersama tiga saudaranya. Di atas pasir, di tepi pantai kisik yang tidak jauh dari perkampungan. Tiga saudaranya adalah dua kembar putra dan putri lalu satu laki-laki jangkung yang hampir sebayanya, atau mungkin lebih muda. Mereka berlarian dan tertawa seperti manusia-manusia kecil tanpa dosa.     

Mereka paling memegang tangan, mengayunkannya, melangkah, mengangkat kaki, selayaknya bocah yang belum akil baligh bermain. Si kembar menemukan kerang, ia lalu melempar ke bocah laki-laki yang sebaya dengannya itu. Si bocah laki-laki itu lalu melemparkan ke arah ayah. Ayah tertawa keras menerima lemparan kerang dari bocah laki-laki itu.     

Ia menatap kerang itu. Terus saja entah kenapa seperti di paksa untuk menatapnya. Seolah ada yang menekan kepalanya untuk terus menunduk melihat ke arah telapak tangannya. Air laut lalu bercucuran mengalir melalui kerang itu bersama dengan pasir. Melewati setiap sela ruas jari jemarinya. Air yang semula berwarna keruh bercampur dengan pasir itu perlahan-lahan berubah menjadi berwarna merah. Warna merah yang semula pudar pun perlahan-lahan menjadi kental.     

Ayah yang kala itu masih terlalu muda pun membelalakkan matanya melihat darah segar yang begitu banyak mengucur dari tangannya. Kerang itu lalu terbuka dengan cepat. Sebuah makhluk muncul dari dalamnya. Ayah pun berteriak semakin keras. Lalu dengan cepat tangannya membuang kerang itu ke pasir. Sebuah makhluk yang berukuran yang sangat kecil dan berambut panjang. Kulitnya berwarna hitam legam dengansenyum menyeringai yang sangat mengerikan. Kemudian membesar dan semakin membesar dengan mengeluarkan tawa yang begitu melengking hingga membuat ayah semakin bergidik ngeri dan menangis ketakutan. Kemudian makhluk itu pecah menjadi keping-keping darah dan mengalir ke lautan lepas.     

Suara itu menghilang setelah darah itu bebaur dengan air laut dan tercampur sehingga warna merahnya menghilang. Namun mata ayah teralihkan oleh ketiga saudaranya yang berada di tengah laut. Tubuh mereka yang kecil seolah mulai tenggelam dan tertelan oleh air laut yang luas. Mereka menagis bersamaan dengan suara yang begitu nyaring dan memekakkan telinga. Sehingga kedua tangan ayah pun seketika memegangi kedua telinganya. Ia ingin segera menolong mereka namun kakinya terasa begitu berat. Seolah tertancap ke dalam pasir. Ia terus meronta hingga terjatuh namun tak ada yang berubah kecuali ketiga saudaranya itu semakin hilang perlahan-lahan hingga akhirnya tangis mereka pun menghilang bersamaan dengan kepala mereka juga hilang di telan oleh air laut yang berwarna gelap oleh siluet sore hari.     

Ayah pun menangis sejadi-jadinya. Ia terus memukul-mukul kakinya karena tak mau bergerak. Ia juga memukul pasir di hadapannya. Kekesalannya begitu besar karena tak mampu menolong ketiga saudaranya itu. Namun kemudian seseorang menepuk pundaknya.     

Matanya sontak terbuka. Bersama dengan keterkejutannya karena seseorang menepuk-nepuknya. Ayah yang semula menghadap ke atas lalu menoleh ke samping kirinya. Ke arah orang yang baru saja membangunkannya dari tidurnya dan juga mimpi mengerikan itu.     

Ah ternyata dia adalah orang yang sebenarnya ia tunggu. Dukun Kuring. Orang yang akan memimpin jalannya ritual tengah malam ini. Ayah pun langsung membenahi diri. Ia lalu duduk dan mengucek matanya. Ia pun memegangi kerut keningnya yang terasa pusing karena terkejut dari tidur. Mimpi apa aku tadi. Ucapnya lirih.     

Sementara dukun kuring nampak tidak begitu mempermasalahkan apa pun. Ia hanya membawa karung yang tadi di bawa oleh ayah dari rumah itu ke pinggir sungai. Ia kemudian menggelar tujuh tampah. Anyaman bambu yang berfungsi sama seperti penampan itu kemudian di jejerkan searah dengan aliran sungai. Berurutan tepat dengan batu besar di tengah sungai.     

Tampah itu lalu di beri daun pisan sebagai alas berikutnya. Kemudian Dukun Kuring pun membongkar seluruh isi karung itu. Ia lalu menaruh kembang kanthil, kembang semboja, dan melati di atas tampah yeng paling kecil. Yaitu tampah yang pertama dari arah selatan. Lalu dukun kuring pun mengambil tampah itu.     

Ia tek memerintahkan ap pun kepada ayah. Sehingga ayah hanya duduk di sisi sungai seperti orang bingung. Yang sebenarnya adalah ia sedang memperhatikan dukun kuring. Dukun kuring terlihat serius dengan setiap langkahnya. Mulutnya terus komat-kamit mengucapkan sesuatu tanpa terdengar suara apa pun. Sesekali ia menyemprotkan ludah dari mulutnya ke arah sungai. Dan ayah yakin ludah itu pun tak sampai hingga ke sungai. Ternyata seperti ini ya ritual. Batin ayah yang begitu antusias melihat dukun kuring memulai semuanya.     

Dukun kuring lalu menaruh tampah itu di atas sebuah tugu kecil yang terbuat dari pahatan batu. Sebenarnya selama di kampung ini, ini adalah yang pertama kalinya ayah mengunjungi sungai ini. Sebelumnya ia sama sekali tak pernah ke sungai ini. Yang pertama karena jauh, yang berikutnya tentu karena ia tidak begitu suka bermain air.     

Di pinggir sungai terdapat tujuh tugu yang terbuat dari pahatan batu. Berbentuk balok yang seperti di tancapkan ke tanah. Namun seperti berusia telah lama terlihat dari rumput liar yang mulai menggerayanginya dari bawah. Berwarna abu gelap dan permukaannya rata sehingga mudah untuk menaruh benda apa pun di atasnya, termasuk tampah yang dukun kring bawa.     

Dukun kuring lalu menaruh tampah itu di atas batu pertama. Jarak setiap batu kurang lebih lima langkah kaki orang dewasa. Ayah sempat menghitung langkah kaki dukun kuring tadi saat menuju ke batu pertama.     

Dukun kuring lalu berjalan mengelilingi batu dan tampah itu. Tentu saja sambil mulutnya komat kamit. Ia lalu membuang sesuatu di tengah naman itu selama berkeliling. Entah berapa kali. Sampai akhirnya ia menengadah dan berbalik lalu berjalan menuju di mana tmpah terletak dan meninggalkan tampah yang pertama tetap di atas batu itu.     

Kemudian ia mengambil tampah yang kedua. Diambilnya daun pisang yang sudah ia siapkan. Ia lalu menaruhnya di atas tampah itu sebagai alas persyaratan yang kedua. Yaitu ayam cemani panggang dengan posisi kepala masih utuh namun seluruh badannya sudah di panggang. Ayah jadi teringat ketika ia memesannya di warung makan tadi pagi. Si pemilik warung terlihat terkejut dan bingung dengan permintaan aneh ayah, namun kemudian ayah mengatakan bahwa ayam itu bukan untuk di konsumsi melainkan akan di gunakan untuk ritual. Sedetik kemudian mereka pun memahaminya dan membuatkannya pesanan ayah saat itu juga.     

Dukun kuring melakukan ritual yang sama dengan ritual tampah yang pertama. Hanya saja ia menaruh tampah kali ini di atas batu yang kedua. Ia juga mengelilingi batu itu. Dan juga dengan komat kamit yang sama. Dukun kuring melakukan ritual itu sendiri hingga ke persyaratan yang ke enam. Dan tampah yang ke tujuh di gunakan untuk menempatkan kepala rusa yang satunya.     

Berjejer tujuh tampah dengan seisinya. Tampah yang ketiga berisi dupa dan telur ayam kampung. Karena biasanya dupa di tancapkan ke sebuah medan, seperti beras atau mungkin abu, maka ayah pun berinisiatif membeli sebuah temapayan berukuran kecil agar bisa untuk menaruh dupa. Dukun kuring tidak terlihat mengisi apa pun di dalan tepayan itu. Ia hanya menaruh dupa itu ke dalamnya sehingga hanya Beruntung angin tak terlalu kencang. Tanpa sadar hari pun telah sore. Mungkin sebentar lagi akan segera gelap dan tiba lah malam hari. Tujuh tampah yang berada di atas batu pun di beri sebuah lampu minyak. Masing-masing satu buah.     

Selesai adzan berkumandang, dukun kuring pun mengeluarkan korek api dan menyulutnya kemudian membagi apinya kepada masing-masing lampu minyak. Cahaya bulan menyinari kami dengan terang, tentu saja karena malam ini adalah malam purnama. Namun semakin terang karena tujuh cahaya lampu minyak yang ada di sisi kami saat ini.     

Dukun kuring memeberikan ayah titah untuk duduk di atas batu besar yang berada di tengah sungai. Batu terbesar yang ada di sungai itu. Awalnya kau ragu, namun perintah dukun kuring tak boleh di langgar bukan? Ayah pun melangkahkan kakinya ke dalam air sungai. Dingin menyeruak dari sekujur telapak kaki hingga keatas betisnya. Ia tak peduli lagi celana panjangnya telah basah di bagian bawahnya. Ternyata sungainya tidak terlalu dalam. Ayah merasa tidak perlu khawatir akan terkena air lagikarena ukuran batu yang cukup tinggi dan besar.     

Ayah pun duduk di atas batu itu. Dukun kuring berada di belakang tampah nomor tiga. Ia menghadap ke arah ayah begitu pun dukun kuring juga menghadap kearahnya. Wajah yadukun kuring yang terpapar siluet cahaya lampu minyak membuatnya tampak begitu mengerikan. Angin tiba-tiba saja berhembus lembut. Ah iya, sejak tadi ayah tak merasakan desiran angin. Akhirnya keluar juga, dan mampu membuat sekujur tubuhnya merinding karena udara malam yang semakin dingin.     

Suara riak sungai terasa semkainkencang meski debit air mengalir masih sama saja sejak siang tadi. Ayah tak mengerti kenapa bisa begitu. Ia tak tahu apa penyebabnya. Mungkin karena keheningan malam. Sehingga ia terasa menggema.     

"apa kau siap?" tanya dukunkuring tiba-tiba sambil menatapku tajam. Tentu saja aku siap. Angat siap.     

"Si…ap Ki.." padahal aku benar-benar siap, tapi entah kenapa suaraku tercekat seolah ragu.     

"APA KAU SIAP?!" tanyanya lagi dengan membentak ayah yang kemudian sangat terkejut. Ternyata dukun kuring bisa juga membentak. Aku sedikit tertegun. Namun kemudian aku menegapkan lagi tubuhku. Lalu kukatakan."SIAP! SANGAT SIAP!" Dukun kuring pun namapak menyeringai sambil menatapku dengan tajam.     

Di titik ini ayah merasa telah melihat sisi mengerikan dukun kuring. Tatapannya lain dari sebelumnya. Seolah ia sedang di rasuki makhluk yang jahat di dalam tubuhnya. Seperti yang sudah Ia ajarkan padanya tadi. Ia mengajari bagaimana posisi seorang petapa yang benar pada ayah. Ayah yang tidak tahu apa pun hanya mengikuti setiap hal yang dukun Kuring ajarkan.     

Mata harus tertutup, tak boleh sekali pun membuka mata sekali pun hati di penuhi dengan rasa penasaran. Posisi tangan menyatu antara telapak kanan dan kiri. Di taruh di depan dada. Seolah sedang menyembah sesuatu di depannya. Nafas di buat teratur antara tarikan dan hembusan. Jangan menahan nafas agar tak ada kejadian kehabisan nafas saat ritual sudah berjalan. Punggung lurus namun santai, jangan tegang agar kuat hingga akhir ritual. Dan terakhir kaki bersilah ke depan.     

Ayah mulai memejamkan matanya. Suara guntur tiba-tiba saja menggelegar. Beruntung ayah hanya terkejut dan tak sampai membuka mata. Padahal awan sama sekali tak mendung entah ada angin apa hingga guntur datang tiba-tiba di hari yang cerah ini.     

Dengan mata tertutup, pendengaran ayah bekerja jauhlebih baik dari sebelumnya. Selain binatang-binatang malam yang begitu kentara, suara arus juga terasa lebih keras pada pendengarannya saat matanya tertutup.     

Dukun kuring sibuk membaca mantra. Kali ini ia membaca mantra-mantra dengan begitu lantang dan cepat sehingga ayah sendiri tak mengerti apa sebenarnya yang di ucapkan oleh dukun kuring. Sampai kini ayah masih di titik ketenangannnya. Ia masih belum menemukan rintangan berarti apa pun. Bahkan anehnya, nyamuk sekalipun tak datang menghinggapinya.     

Waktu terus bergulir. Malam pun semakin menampakkan jati dirinya.semula udara terasa sedikit hangat berkat paparan panas dari siang hari tadi namun kini dingin mulai menerpa. Angin pun semakin sering kedatangannya. Beberapa kali ayah bahkan di buat bergidik karena angin malam itu.     

Tiba-tiba ketenangan ayah terusik. Kaki ayah merasakan ada sebuah genangan yang mengalirinya.sedikit demi sedikit air itu mulai meninggi. Airnya begitu tenang. Sampai ayah sadar, ternyata posisinya kini telah berdiri.     

Ia berada di atas sungai. Sungai yang begitu jernih dan segar. Airnya beriak tanda tak begitu dalam. Nampak batu-batu kerikil berwarna putihdi dasarnya. Kakinya maju mundur memainkan air itu. Ia tahu ini adalah tempat ritual, tetapi beberapa hal terlihat berbeda. Seperti hilangnya batu-batu yang besar dan yang sangat besar yang ia duduki tadi. Semuanya sirna.     

Siang hari itu nampak begitu sepi. Tak ada seorang pun di sisi kanan kiri sungai. Padahal sungai seperti ini biasanya sangat ramai pengunjungnya. Mungkin karena ini siang hari. Mungkin sekitar tengah hari karena matahari yang tepat berada di atas kepala.     

Terik seolah membakar ubun-ubunnya. Ayah pun menenggelamkan kepalanya ke sungai. Ia mendapatkan kesegaran di dalamnya. Namun seketika ia hendak mengangkat kepalanya ke udara. Ada seseorang yang menahannya. Sehingga ia gelagapan setengah mati kehabisan oksigen dalam paru-parunya.     

Hingga ia menelan air berkali-kali melalui mulut dan hidungnya. Bajingan yang memegang tengkuknya itu tak kunjung melepaskannya. SIALAN KAU! Racau batin ayah. Sekarang Ia berada di ambang kematian jika saja ia bisa menangkap kaki orang itu lalu menyeretnya. Namun orang itu begitu kuat sehingga mendorong kepalanya hampir melewati pertengahan antara lututnya. Hampir ke belakang melewati kakinya sendiri.     

Ayah terus berusaha keras untuk mendorong kepalanya melebihi kekuatan orang yang tak ia ketahui itu. Namun gagal. Yang ada ia malah semakin banyak kemasukkan air ke dalam mulutnya. Habislah sudah kalau seperti ini.     

Ayah baru sadar tangannya tak berguna sama sekali sejak tadi. Di mana sejak tadi sebenarnya otaknya ini. Ia lalu mencari tubuh orang di hadapannya ini. Namun nihil. Aneh. Seharusnya ia menemukan betis atau lutut tapi ia tak menemukan apa pun. Kecuali udara kosong.     

Tak kehabisan akal ayah pun lalu meraih kerikil di bawahnya. Ia lalu melemparkan ke arah depannya. Sesuatu yang ia yakini bukan manusia yang memegang tengkuknya begitu keras. Menginginkan kematiannya.. meski tahu yang ia hadapi tak berbentuk rupa. Ayah tetap terus melempari batu kearah depannya. Bahkan hingga ke arah atas sehingga kerikil itu kembali ke bawah dan mengenai kepalanya. Ia tak peduli. Sampai akhirnya kekuatan mendorong itu perlahan melemah, melemah dan melemah lalu hilang .     

Dengan cepat ayah mengangkat kepalanya lalu menghirup udara sebanyak mungkin agar paru-parunya terisi kembali dengan udara. Dan pada akhirnya ia tersedak berkali-kali. Hidungnya terasa perih berikut matanya. Namun ia merasa lega pada akhirnya ia dapat mengalahkan setan alas biasab itu.     

Ia melihat wajahnya kearah pantulan air sungai. Air menetes dari setiap ujung-ujungn rambutnya. Namun air sungai berubah menjadi warna merah dari tetesan itu. Tetesan dari kepalanya. Ia lalu memegangi kepalanya dan disananlah ia menemukan cairan yang terasa lebih kental dari air sungai. Cairan itu sedikit lengket sehingga ayah mencoba untuk melihat apa yang ada di jemarinya itu.     

Ternyata dara merah kental memenuhi kepalanya. Ia pun terkejut melihat darah itu. Ia lalu terjerembab ke dalam air. Dan ternyata airnya semakin dalam hingga ia kehilangan keseimbangan. Ia terus bergerak panik sehingga membuatnya terus semakin kehilangan keseimbangan. Darah yang semula ada pada kepalanya pun terurai di air sungai.     

Ayah yang sebenarnya tak begitu panda berenang pun terus saja di permalukan oleh air yang menenggegelamkannya.matanya terbuka. Tampak buram dan keruh oleh merah darah miliknya. Ia hampir kehilangan kesadarannya namun pada akhirnya ia tak meenyerah. Ia berdiam diri. Supaya mendapatkan ketenangannya kembali.     

Perlahan ia tenggelam. Namun kemudian tenaga dan ketenangannya mulai pulih. Ia lalu meluncur ke atas untuk menemukan kembali cahaya. Padahal ia memasuki sungai yang dangkal, entah kenapa tiba-tiba ia sampai di sebuah laut yang dalam.     

Dan akhirnya kepalanya keluar dari genangan air. Ia berteriak seolah baru saja mendapatkan semangatnya. Ia mulai kesaldengan kejadian tak masuk akal ini. Berulang kali ia memukul-mukul air namun tak ada yang berubah. Ia hanya seorang diri di sini.     

Ayah pun berencana untuk mentas. Ia mengangkat langkah kakinya. Namun, ia tak berhasil keluar dari sungai itu. Air yang semula hanya setinggi mata kakinya kini berubah menjadi setinggi pahanya. APA-APAAN INI! Teriak dalam batinnya. Anehnya, ia tak menemukan pijakan yang lebih tinggi, seolah-olah dasar sungai itu terus sama rata seiring langkah kakinya menuju pinggir sungai. Dan tepi sungai pun seolah menjadi menjauh dari jangkauannya.     

Ayah mengepalkan tangannya. Ia benar-benar gusar pada kondisinya saat ini.ia bahkan sampai di buat lupa bahwa sebenarnya ia sedang bertapa di atas sebuah batu. Ia sudah lupa sampai beberapa saat lalu.     

Langkah kakinya semakin berat. Seolah tak menemukan ujung. Namun ia tak berhenti melangkah. Ia terus melangkah dan meraih-raih rerumputan di tepi sungai meskipun tak ada kemajuan sama sekali.     

Pijakan yang semula padat pun semakin lama semakin lunak. Seperti berubah dengan sendirinya dari tumpukan kerikil yang padat menjadi sebuah pasir yang halus dan membuatnya semakin kesulitan melangkah dan menapak.     

Ayah memegangi kedua lututnya. Ia merasakan pegal yang luar biasa. Selain itu ia juga merasakan ngilu dan kelelahan. Kali ini apa yang bisa ia lakukan untuk lepas dari kejadian yang memuakkannya itu. Ia menoleh karah kanan dan kiri. Tak ada sebatang akar pun yang bisa menyelamtakannya.     

Namun akhirnya ia menemukan sebuah jalan keluar. Beberapa meter dari tempatnya berdiri sekarang ada sebuah air terjun. Di sisinya ada sebuah pohon yang tumbuh dengan unik. Batangnya mengarah horizontal mengikuti lebar sungai dari sisi ke sisi. Tepat berurutan dengan posisinya sekarang. Jika ia mengikuti arus dan melompat ka arah batang itu ia pasti akan selamat. Pikirnya.     

Ia mulai mengangkat kakinya dan mencoba menenggelamkan diri pada air yang tidak terlalu dalam itu. Arus yang cukup kuat pasti dapat membawanya hinggga ke sana. Namun. Hal tak terduga tiba-tiba saja muncul.     

Suara gemuruh air terdengar dari arah berlawanan. Ia yang menyadarinya sontak langsung menoleh ke arah di mana sebelumnya ia berada. Air yang begitu besar muncul dan hendak menerjangnya. Ayah tak sempat menyelamatkan diri. Ia tenggelam. Ia tak mampu mengalahkan air yang begitu besar itu.     

Ayah tak kuasa menahan air bah yang muncul tiba-tiba dari arah gunung itu dengan tubuhnya. Meenyadari kondisi sekarang Ia hanya membiarkan tubuhnya terus terseret arus yang begitu kuat. Hingga dengan cepat ia sampai di pangkal air terjun. Di situlah kesempatan terakhirnya agar selamat. Sekuat tenaga ayah mengangkat tangan agar dapat meraih pokok pohon itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.