Kuliah Kerja Berhantu 40 hari (KKB 40H)

Bagian Ketiga Kecurigaan Jawir



Bagian Ketiga Kecurigaan Jawir

0Part sebelumnya :     

Tony bukan memperhatikan sumur tersebut. Ia malah menunjuk tepat ke arah belakang sumur tersebut, "Hmm tangga ini mengarah ke lantai dua kan ya?" ujarnya pelan. Ia tampaknya penasaran dengan tangga yang menuju ke lantai dua.     

"Tampaknya iya!" jawabku datar.     

Tony sebenarnya tak pernah tahu, kalau sepasang bola mata berwarna merah kini tengah memperhatikannya dari balik pintu.     

***     

Hari sudah hampir menjelang petang, rumah ini sudah dibersihkan sedemikian rupa dan beruntunglah sudah terlihat kalau rumah ini cukup layak untuk dihuni. Aku tidak terlalu lagi memikirkan mengenai lantai 2 rumah ini yang masih terbengkalai, sebelumnya Pak Kades menyarankan agar para wanita tinggal di lantai dua dan kami para pria di lantai 1. Namun karena banyak dari anak-anak yang lain itu takut terhadap suasana di lantai 2 rumah itu, mereka akhirnya menyepakati untuk melakukan pembagian kamar, sebenarnya hanya ada 1 kamar di rumah ini. Tapi, para wanita berpikir kalau tidak masalah untuk tidur berdesakan di kamar berukuran 5x5 meter tersebut yang tidak lain adalah tempat dimana keris sebelumnya ditemukan.     

Feranda adalah salah satu orang yang mendukung kebijakan tersebut untuk para wanita mendapatkan kamar, sedangkan kami para laki-laki bebas untuk tidur di antara ruang tamu ataupun ruangan yang sebelumnya menjadi garasi. Aku akhirnya memutuskan untuk mengambil bagian garasi bersama dengan Endy, Toni, Dwi dan Jawir, bagian garasi ini cukup kecil namun memanjang, terkadang juga Toni ataupun Dwi lebih suka untuk tidur di ruang tamu dengan membawa bantal ataupun kasur, hal itu juga dikarenakan adanya televisi yang mereka bawa dan ditaruh di ruang tamu.     

Aku masih berkutat membersihkan sampah, debu dan juga kotoran yang berada di garasi, kemudian membersihkan kasur usang yang terdapat disana, setelah dirasa cukup aku pun merebahkan tubuhku di atas kasur tersebut. Endy, Tony dan Dwi tampaknya sedang ada di belakang rumah, mereka sedang membantu para wanita membersihkan kamar mandi yang ternyata sangat kotor. Jawir kemudian mendekat ke arahku dan duduk sembari bersender di dinding garasi.     

"Boleh aku lihat gelangmu, Han?" tanyanya pelan.     

"Hmm ... ada apa memangnya, Wir?" ujarku penasaran.     

"Ah tidak ada apa-apa! Aku hanya ingin memastikan sesuatu!"     

Aku mendekatkan tanganku kepadanya dan Jawir pun berkata, "Ahh pantas saja! Kamu memiliki penjaga ya?" ujarnya ceplas-ceplos.     

"Penjaga apa?" balasku.     

"Ahh sudahlah, aku tahu semuanya!" ujarnya cepat sembari pergi.     

Aku tidak mau ambil pusing dengan asumsi seseorang. Jawir kemudian meninggalkan aku sendiri di dalam garasi tersebut. Aku memang mengenakan sebuah gelang tasbih berwarna hitam yang terbuat dari olahan kayu yang dicat cantik, gelang ini diberikan oleh orang tua angkat mama yang merupakan orang dari daerah Banten berdarah sunda. Aku biasanya memanggilnya dengan Kakek Min.     

Aku kembali mengingat dengan bagaimana sebenarnya kepribadian Jawir ini. Dia bercerita kalau baru saja menikah, berprofesi sebagai seorang driver, berdarah Jawa dan bisa dibilang memiliki keyakinan yang berbeda dari orang kebanyakan, ditambah dengan sifatnya yang sok tahu dan juga sedikit arogan membuatnya menjadi sosok komplit yang boleh dibilang sangat mudah untuk disukai orang banyak. Tapi dibalik itu semua, aku tidak membenci sosok Jawir, aku tau kalau sebenarnya dia kesepian dan tidak memiliki banyak teman, namun caranya mengakrabkan diri terhadap orang lain mungkin berbeda dengan orang kebanyakan.     

Jawir kemudian lewat sekali lagi di depan pintu. Ia kembali berkata dengan nada pelan, "Hati-hati rumah ini ada yang menjaga! Hal buruk pasti terjadi hahaha!" ujarnya dengan nada mengejek.     

Aku segera bangkit dari posisiku sebelumnya, "Setiap tempat pasti ada penunggunya, hal itu tergantung padamu. Apakah ingin bertingkah sompral seperti ini terus? Atau mau sekedar merendahkan diri, kau tidak pernah tau apa yang akan terjadi, kawan!" balasku dengan nada santai. Aku paham benar dengan maksudnya barusan, namun aku memilih untuk tidak terlalu meladeninya, lagipula akan menimbulkan kegaduhan yang besar, bisa-bisa acara KKN ini tidak berjalan dan diharuskan untuk mengulang di tahun depan. Aku tentunya mengejar target untuk segera menyelesaikan S1ku pada saat ini.     

Aku kembali ke posisiku semula dan tiba-tiba terdengar teleponku berdering dengan cukup keras, "Halo, Kakek!" ujarku cepat mengangkat telpon tersebut, ternyata Kakek Min yang sekarang ini sedang meneleponku.     

"Bagaimana kabarmu, cucuku?" tanyanya datar. Aku paham benar dengan keadaan ini, tampaknya beliau mengkhawatirkan keadaanku sekarang ini.     

"Oh ... lancar saja, kakek! Tidak ada banyak hal yang berarti!" ucapku dengan nada riang.     

"Tidak usah kau tutup-tutupi! Aku tau semua apa yang sedang terjadi!" balasnya dengan nada tinggi.     

'Sial' batinku.     

"Hehe ... maaf, kakek! Ya seperti yang kakek tahu, ada beberapa gangguan di tempat ini!" balasku cepat.     

"Perbanyak istighfar di desa itu! Desa itu bukanlah desa yang terlalu suka beragama, masih banyak orang di daerah itu yang melakukan hal-hal yang di luar nalar, jangan asal makan pemberian orang, selalu mengucap doa sebelum bertingkah ataupun berkerja dan yang pasti jangan terlalu berbuat sembarangan. Kau tau apa yang aku maksud, cucuku!" terang Kakek Min.     

Aku hanya diam, tidak berani membantahnya, hal itu memang benar dan merupakan sebuah pertanda, karena sebelumnya aku sudah melihat sosok hitam bermata merah yang berada di lantai dua.     

"Tidak usah terlalu takut dengan makhul yang ada di lantai dua. Dia tidak akan menganggu selama tidak ada hal buruk yang kalian lakukan, tapi harap berhati-hati dengan daerah pemakaman di desa ini. Itu saja pesanku, dan jangan lupa untuk melaksanakan shalat lima waktu serta shalat malam. Aku memantaumu dari sini! Ingat jangan takabur!" Kakek Min kemudian menutup telponnya dan aku hanya mencoba mengingat-ingat apa saja pesan yang ia sampaikan barusan. Kakek Min memang terlihat keras, namun sebenarnya ia adalah orangtua yang baik. Ia selalu memperhatikanku, beliau adalah keluaran salah satu Pesantren yang cukup terkenal di kota Jawa, mendalami ilmu kebatinan, suka membantu orang-orang yang kesurupan seperti ruqiah dan lain-lain serta merupakan salah satu tukang urut patah tulang yang cukup terkenal di kotaku, pasiennya sudah banyak dan tentunya sudah banyak juga yang sembuh dari sakitnya setelah berobat dengan beliau.     

Aku kemudian terlelap dalam tidurku untuk sementara waktu. Aku tak pernah sadar, kalau Jawir menyelinap ke dalam kamar dan memasukkan keris berkain putih dengan kepala naga itu ke dalam tas kecil yang ada di pinggangnya. Matahari pun terbenam menuju ke ufuk barat. Aku bergegas bangun dan bersiap untuk mandi, air yang kami andalkan adalah air yang ada dari sumur rumah ini yang penuh melimpah ruah, tidak memerlukan tenaga yang banyak, hanya tinggal mengambil gayung dan mengambil air dari sumur tersebut, hal ini tentunya terjadi karena air di sumur itu sudah tahunan tidak pernah diambil airnya.     

Aku segera mandi, membasuh semua badanku dengan sabun dan kemudian membilasnya kembali. Aku juga berniat untuk mengambil air wudhu pada saat itu, namun tiba-tiba bulu kudukku meremang, aku merasakan seperti ada sosok yang sedang memperhatikanku dari arah lantai dua, tepatnya anak tangga yang mengarah ke lantai dua, tangga tersebut terbuat dari kayu dan memiliki pintu kayu untuk mengarah ke lantai dua, pintu itu tiba-tiba terbuka secara perlahan-lahan disusul dengan munculnya bayangan hitam dengan bola mata merah itu untuk kesekian kalinya.     

Aku benar-benar takut kala itu, sosok itu kembali menampakkan wujudnya semenjak terakhir kali aku melihat sosoknya di jendela lantai dua. Apa yang dikehendaki makhluk ini pikirku, makhluk tersebut perlahan-lahan mendekat dan kemudian tertahan oleh suatu hal hingga tidak bisa mendekat ke arahku, setidaknya ada jarak sekitar 2-3 meter saat ini dari tempatku berdiri dengan makhluk ini. Aku kemudian membaca doa-doa sesuai apa yang diajarkan agamaku untuk menghalau makhluk ini pergi dan berhasil. Makhluk itu menghilang sembari berteriak dengan sangat keras, hingga membuat aku terpaksa harus menutup daun telingaku rapat-rapat, "Arghhh!!!" kemudian sosok itu hilang menembus pintu kayu tersebut dan disusul dengan suara daun pintu yang terbanting serta menutup kembali, 'Brak!!'     

Aku segera menuntaskan mandiku dan berpakaian kembali. Tony sudah ada di depan pintu kamar mandi, karena aku penasaran. Aku mencoba bertanya kepada Tony, "Apa kau mendengar sesuatu di dalam, Ton?" Tony yang kelihatan binggung hanya menjawab, "Tidak ... memangnya kenapa? Kau tadi main sabun ya, Han?" ejeknya kepadaku.     

"Ah sudahlah ... lupakan saja!" sambil ngeloyor pergi.     

#Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.