Kuliah Kerja Berhantu 40 hari (KKB 40H)

Bagian Tujuh Lolongan Anjing & Ular Dua Warna



Bagian Tujuh Lolongan Anjing & Ular Dua Warna

0Halo ... selamat pagi, siang, sore ataupun malam para pembaca Kuliah Kerja Berhantu 40 hari (KKB 40H)     

Penulis begitu mengapresiasi untuk hampir 80.000 views di Kaskus dan 45.000 views di Webnovel serta tidak lupa 5.400 share dari para semua pembaca setia tulisan ini. Teruntuk kalian yang sudah koment, share ataupun memberikan rate untuk cerita ini terimakasihku yang sebesar-besarnya teruntuk kalian semua. Tak lupa untuk Kaskus yang telah mempromote cerita ini di akun sosial media mereka. Terimakasih yang sedalam-dalamnya dan luar biasa sekali.     

Untuk kalian yang mungkin ingin bertanya tentang kelanjutan cerita, spoiler ataupun ingin merasa lebih dekat dengan penulis cerita ini bisa lewat sosial media penulis di :     

Instagram : https://www.instagram.com/mayhard20/?hl=id     

Facebook : https://web.facebook.com/esp.hardy     

Jangan lupa untuk share, koment, dan rate cerita ini agar makin banyak yang baca. Karena semua itu adalah support kalian bagi Penulis agar terus bisa berkarya ke depannya. Kritik dan saran dipersilahkan.     

Terima kasih.     

Hormat Saya     

Mayhard20     

Back To Story     

Part 7     

Lolongan Anjing & Kemunculan Ular Dua Warna     

Part sebelumnya :     

Keesokan harinya, undangan itu disebar, menurut saran dari Pak Kades untuk mengantarkan undangan tersebut setelah memasuki waktu petang, karena kebanyakan warga desa ada yang berkerja di kota dan tentunya ketika siang hari tidak ada di rumah. Kami menyanggupi dan mulai mengantar undangan itu satu persatu, kesalahan kami adalah ketika mengantarkan undangan ini terlalu lama berhenti di setiap rumah, karena tidak enak jika menolak tawaran dari warga desa, ada yang menawarkan makanan, minuman dan mengajak shalat berjamaah bersama. Aku tidak bisa menolak, begitupun juga dengan anak-anak KKN yang lain, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, akhirnya acara mengantar undangan itu selesai, tak terasa kami berada cukup jauh dari rumah KKN.     

***     

Aku, Jawir, Endy, Dwi, Tony dan Mak menyusuri jalan gelap, tak jauh dari rumah KKN memang terdapat sebuah jembatan besi sepanjang kurang lebih 8 meter dan memiliki tinggi sekitar 3 meter, jembatan besi ini merupakan penghubung antara bagian desa barat dan desa sebelah timur. Kami berjalan beriringan, menurut Mak sendiri anak-anak yang lain sudah pulang duluan setelah maghrib tadi. Mak memang lebih nyaman berkumpul bersama kami anak laki-laki, daripada berkumpul dengan para anak perempuan. Menurutnya anak-anak perempuan terlalu sering bergosip dan menurutnya dia tidak satu frekuensi dengan hal-hal seperti itu. Mak memang sebenarnya termasuk anak yang tomboi, tapi ya selama ini yang kutahu dia adalah teman yang baik.     

Kami masih menyusuri jalan yang gelap itu, dengan bermodalkan lampu senter dari handphone masing-masing, kami menyusuri jalan yang gelap itu dan kemudian Endy pun berkata, "Tempat ini cukup sepi ya, padahal baru jam 8.30 wib malam, tapi sudah sesepi ini, dari tadi aku tidak melihat sama sekali ada orang yang ada di luar rumah." beber Endy.     

"Sama ... aku juga memperhatikan poskamling itu, namun tampaknya tak ada orang, warung pun tampaknya tidak ada yang buka, padahal aku berniat membeli anti nyamuk, nyamuknya banyak di rumah KKN!" balas Tony.     

"Tampaknya memang sudah kebiasaan di desa ini, kalau setelah isya warganya lebih memilih untuk berada di dalam rumah!" terang Mak.     

"Ya ... seperti itulah, mau bagaimana lagi!" timpalku.     

"Haha ... bukan karena kalau malam di desa ini seram atau berhantu ya?" sindir Jawir, anak ini benar-benar membuat suasana menjadi tidak enak.     

Aku yang mendengar sindirannya itu hanya menjawab, "Kalau ketemu kan ada kamu, Wir! Kau tahu banyak soal perhantuan kan? Silahkan diusir nanti ya!"     

"haha ... ketua bisa saja!" ejek Jawir.     

"Kalian ini pacaran saja, ribut sekali!" ejek Tony.     

"Sudah-sudah ... tidak ada gunanya berdebat! Fokus saja KKN masih lama!" ujar Mak mencoba menengahi.     

Aku hanya diam dan kemudian melanjutkan perjalanan, kini kami telah berada di ujung jembatan. Namun pemandangan tidak enak kini ada di hadapan kami semua, mungkin ada sekitar 4 ekor anjing berwarna hitam menunggu kami di bawah jembatan, Tony yang ketakutan kemudian berkata, "Anjing-anjing itu tampaknya sedang menunggu kita!" Tony segera beranjak ke belakangku dan juga Dwi.     

Aku kemudian mencoba menenangkan Tony, "Sudah ... itu cuma anjing, kok! Tidak usah takut, yang pasti jangan lari. Nanti kamu dikejar anjing loh!" terangku kepada Tony.     

Tony tetap ketakutan, begitu juga dengan Mak dan Endy. Mereka tampak ketakutan dengan anjing-anjing yang berada di hadapan kami. Mungkin karena tidak mengenal siapa kami, anjing-anjing ini mulai menyalak, "Guk ... guk ... gukk!!!" salah satu dari anjing itu kemudian menggonggong dengan lolongan yang menyayat hati, "Guk ... Guk ... auuummmmm!!" raungan itu terdengar begitu keras dan kemudian anjing-anjing itu seolah bergerak mendekat ke arah kami.     

Aku, Jawir dan Dwi berjalan ke arah depan, mencoba untuk tidak membuat gerakan yang mencurigakan agar anjing-anjing ini tidak menyalak ataupun mengejar kami. Tapi ... beda cerita dengan Endy, Tony dan Mak, mereka yang melihat anjing itu mengendus-endus tubuh mereka malah menjadi begitu takut, mereka kemudian mencoba lari menerobos barisan dan berlari ke arah rumah KKN yang masih berjarak sekitar 100 meter lagi, "Kyaaa ... anjing!!!!" teriak Mak. Tony dan Endy mengikuti Mak yang lari tunggang langgang.     

"Mereka ini, hadeh!!!" ujarku. Kini pemandangan yang ada di depanku adalah mereka bertiga sedang dikejar-kejar anjing yang menuju ke arah rumah KKN. Beruntung ketika mereka sudah dekat dengan rumah KKN tiba-tiba tiga orang dari rumah sebelah keluar dan mencoba mengusir anjing-anjing tersebut.     

"Huss ... huss!" sambil melempar anjing-anjing itu dengan batu.     

Aku, Jawir dan Dwi yang melihat kejadian itu segera berlari kearah mereka dan mencoba mengucapkan terimakasih dengan terengah-engah, "Terima kasih, bang!" ujarku.     

"Sama-sama, kalau ada anjing menggongong seperti itu jangan lari, kamu dikira ancaman bagi mereka!" beber salah seorang pria kurus dengan rambut cepak yang ada di depan Dwi.     

Tony, Mak dan Endy juga tidak lupa mengucapkan terimakasih, akhirnya kami berkenalan. Mereka bertiga adalah anak karang taruna desa ini, yang berbicara dengan kami tadi bernama Yadi, kemudian ada salah satu pria berambut poni, berbadan tegap, berkulit putih dan memiliki tinggi sekitar 165 cm namanya adalah Nofex serta seorang pria yang tampaknya memiliki gelagat yang aneh, pria yang terakhir ini tidak memperkenalkan dirinya kepada kami dan hanya tertawa cengegesan saja, 'Anak ini sehat atau tidak ya?' batinku.     

Kami kemudian pulang ke rumah KKN. Yadi dan Nofex mengikuti kami ke rumah KKN dan kemudian menjadi teman baru kami. Yadi bersedia membantu kami untuk perkenalan lebih lanjut ke pihak Karang Taruna, menurutnya anggota Tarang Karuna ini banyak yang ia kenal. Aku menyambut baik niat tersebut dan senang bertemu dengan mereka. Setelah semuanya selesai, Yadi dan Nofex pulang tinggal tersisa aku dan Jawir. Kami berdua kebetulan belum makan malam. Aku kemudian mengajak sosok sombong ini untuk makan malam bersama.     

"Sudah makan, Wir?" tawarku kepadanya.     

"Belum .. ketua! Masih ada makanan tidak?" tanyanya kepadaku.     

"Entahlah ... mari kita lihat!"     

Kami kemudian mengecek tudung saji dan terdapat setengah mangkuk ikan sarden sambal dan rebusan sayur. Aku pikir cukuplah untuk kami berdua. Aku dan Jawir kemudian makan dan mulai terlibat obrolan ringan, tampaknya kecanggungan kami akan mulai berkurang setelah ini. Setelah makan, aku dan Jawir kemudian beristirahat.     

***     

Keesokan harinya.     

Aku mengucek-ngucek mataku, mencoba bangun ketika matahari sudah menyeruak masuk ke dalam kamar, segera melihat jam dan terlihat jam 6.30 pagi. Aku beranjak menuju ke kamar mandi untuk sekedar kencing dan mencuci muka, sedang asyik-asyiknya buang hajat, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah luar.     

"Arghhhh!! Ular-ular!!!" teriak Ceni.     

Aku yang mendengar teriakan tersebut segera menyudahi acara kencingku, menyiramnya dan setengah berlari ke arah luar, "Ada apa, Cen?" tanyaku yang melihat Ceni kini tengah menutup pintu masuk sembari meringkuk ketakutan.     

"Ada ular, Han! Ularnya ada di luar!" terangnya dengan raut muka penuh rasa takut.     

Aku yang penasaran kemudian mencoba untuk keluar, sebelumnya aku sudah mengambil sapu lidi yang ada di belakang pintu, kali-kali ular itu ada di depanku, tinggal kupentung saja dengan sapu lidi itu pikirku. Namun apa yang kulihat di dekat anak tangga yang menuju ke lantai dua adalah terdapat dua ekor ular yang satu ular berwarna hitam putih melingkar-lingkar, entah ular jenis apa ini dan terakhir adalah ular yang memiliki corak hitam kuning, tapi setauku kedua ular ini beracun. Tapi ada yang aneh dengan ular-ular ini, kedua ular ini kepalanya pecah, lebih tepatnya kedua kepala ular ini hancur dan ular yang dilihat oleh Ceni tadi tampaknya sudah mati cukup lama, hanya tersisa kepala yang hancur dan bola mata ular ini yang mencuat keluar.     

Anak-anak yang mendengar Ceni masih menangis dan teriak-teriak tadi mulai berhamburan keluar. Dwi mendekatiku dan berkata, "Ular-ular ini kenapa, Han?" tanyanya penasaran.     

"Entahlah ... Ceni bilang tadi ada ular dan inilah yang kutemui di luar! Ularnya hancur!" terangku.     

"Aneh ... sepertinya ular ini dipukul benda keras hingga kepalanya hancur. Tapi siapa yang melakukannya?" tanya Dwi.     

"Entahlah ...! Aku juga baru lihat kejadian seperti ini! Apa mungkin anjing ya?"     

"Setauku, kalau anjing atau kucing yang melakukan ini kepalanya hanya putus, tidak hancur seperti ditumbuk batu seperti ini! Lagipula aku tidak mendengar suara benturan benda tumpul dari semalam!" terang Dwi. Ia memang tidur di dekat pintu garasi dan letak ditemukannya ular-ular ini adalah tepat disebelah Dwi tidur, hanya terbatas dinding tipis saja.     

Ceni kemudian mendekat bersama dengan Dona, "Ular-ular ini tadi masih hidup! Kamu yang bunuh, Han?" tanya Ceni dengan setengah tergagap.     

Aku mulai menyadari ada hal aneh disini, namun aku mencoba untuk menutupi hal itu semua dan berkata sembari tersenyum, "Iya ... ularnya sudah mati kok!" aku mengambil sapu lidi dan mengapitkan mayat ular tadi ke sapu lidi berniat untuk membuangnya kesamping rumah, dimana terdapat tempat pembakaran sampah dan tanah lapang yang dapat dijadikan tempat pemakaman ular-ular ini.     

Ceni dan Dona kemudian pergi lagi masuk ke dalam. Dwi yang mengetahui apa yang barusan saja terjadi, kemudian menyenggol tanganku sembari berbisik, "Katamu tadi, kau menemukan ular-ular ini sudah dalam bentuk seperti ini. Jadi kamu atau siapa yang melakukan hal ini kepada ular-ular ini dan kapan?" selidik Dwi.     

Aku diam sejenak dan berkata seadanya untuk menutupi hal yang terjadi, "Sudahlah ... hal itu tidak penting, lebih baik bantu aku mengubur mayat-mayat ular ini, kalau tidak nanti bangkainya membusuk dan mengelurkan bau tidak sedap!" ajakku kepada Dwi. Ia hanya mengikutiku mungkin dengan banyak teka-teki yang ada di otaknya saat ini.     

#Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.