Kuliah Kerja Berhantu 40 hari (KKB 40H)

Bagian Sembilan Tangis, Rintih & Sesal



Bagian Sembilan Tangis, Rintih & Sesal

0Aku dan Tony membawa Endy yang terlihat pucat untuk kembali ke rumah KKN. Mak kemudian menyusul pulang, anak-anak yang lain masih berada di acara lelang. Pak Dirman yang merupakan salah satu orang BPD yang melaksanakan lelang sebelumnya memang telah berjanji untuk membantu soal pendanaan biaya Program Kerja KKN kami dan menyumbang sebesar 5 juta rupiah. Aku cukup senang dengan tawaran itu dan menerimanya begitu saja, anak-anak yang lain masih berada disana tidak lain adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih serta acara serah terima pemberian bantuan tersebut.     

Aku dan Tony kemudian membaringkan Endy di kasur dan Mak terlihat mengambil kompresan untuk Endy, kami masih menduga kalau Endy terkena deman, "Mungkin ini karena dia belum makan!" ujarku pelan. Endy hanya diam, matanya terlihat kosong dan kini terpaku dengan langit-langit kamar. Mak mengambil kompres dan mulai mengompres kepala din yang sepertinya sedikit hangat karena demam.     

"Dia sudah makan tadi, mak?" tanyaku.     

"Entahlah, dia ini sangat susah makan akhir-akhir ini!" jelas Mak kepadaku.     

"Ikut aku sebentar!" ajak Tony mengajakku ke luar kamar. Aku hanya mengekor dan mengikuti kemauan Tony barusan.     

"Ada apa, Ton?"     

"Aku melihat gejala yang aneh dengan, Endy! Apa kamu tidak merasakan hal itu juga?" tanya Tony.     

"Memangnya ada apa? Aku hanya tau kalau dia itu sedang sakit!" beberku.     

"Aku merasa kalau dia itu kerasukan! Tingkahnya sangat aneh! Aku takut apabila berada di dekatnya, lagipula anak itu sekarang gemar bicara sendiri di tengah malam!" timpal Tony dengan raut muka takut.     

"Ah yang benar?" selidikku tak percaya.     

"Kau lihat ini!" Tony mengeluarkan handphonenya dan memperlihatkan sebuah video, di dalam video tersebut terlihat Tony sedang memperhatikan Endy yang berada di dekat pintu kamar, Endy sedang duduk, wajahnya menghadap tembok membelakangi Tony. Endy kemudian terlihat bergumam hal yang tidak jelas dan kemudian hal aneh terjadi, Endy tiba-tiba dapat memutar kepalanya 180 derajat dan terlihat tersenyum ke arah Tony. Tony yang ketakutan segera cepat-cepat mematikan video itu dan menutup dirinya dengan selimut.     

"Jadi itu yang kau lihat?" tanyaku kepada Tony.     

"Anak itu kerasukan makhluk halus! Apa yang harus kita lakukan?" gumam Tony.     

Sesaat kemudian Mak masuk, ia juga terlihat ingin membicarakan sesuatu. Aku sudah memberikan tanda kepada Tony dengan menginjak kakinya dan menggeleng, hal ini pertanda agar Tony menghentikan perkataannya dan mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Mak. Mak kemudian mendekat dan berkata, "Aku merasa Endy ini seperti memiliki kepribadian ganda. Apa dia Bipolar?" tanya Mak kepadaku.     

"Entahlah mak, aku juga merasa perubahan sifatnya yang mendadak seperti sekarang ini menjadi cukup memperihatinkan!" terangku kepadanya.     

"Iya ... aku hampir tidak masuk akal dengan keadaan Endy ini, tidak mau mandi, tidak mau makan dan tidak mau shalat. Apa yang sebenarnya ia kerjakan!" beber Mak.     

"Mungkin hanya rindu akan keluarga, Mak! Terlalu jauh dengan keluarga membuatnya kesepian!" ujarku mencoba menenangkan suasana, tapi Mak tampaknya tidak sependapat dengan perkataanku. Ia kemudian meningalkan aku dan juga Tony yang kini masih berada di ruang tamu.     

"Apa kita minta bantuan Pak Abdur saja ya, Han!" usul Tony.     

"Entahlah ... kita lihat saja perkembangannya dalam beberapa hari ke depan. Kalau memang sudah membahayakan, apaboleh buat!" ujarku. Aku masih mencoba untuk menghindari kegemparan dan sangat berharap agar KKN ini selesai dengan gemilang, bukan dengan sensasi, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku melihat nomer telepon ini dari Pak Rahman dan segera mengangkatnya, "Waalaikum salam, pak! Ada apa pak?" tanyaku kepadanya.     

"Bagaimana program kerja sudah berjalan?" tanyanya di ujung telepon.     

"Sedang berjalan pak, mengajari anak-anak, membuat plang desa, mengecat balai desa, memfasilitasi pemberian tenis meja untuk balai desa, membantu program BPD dan terakhir mengadakan lomba-lomba untuk anak-anak di desa ini Pak!" terangku kepada Pak Rahman.     

"Baguslah ... aku juga ingin mengabarkan jikalau beberapa proposal yang kita masukkan kemarin sudah ada beberapa yang cair. Nanti uangnya, bapak antarkan ke kalian semua!" beber Pak Rahman.     

"Terimakasih banyak, pak!" balasku.     

"Ada hal apa tentang anak-anak KKN? Ada yang bermasalah?" ujarnya kepadaku.     

"Oh tidak ada, pak! Hanya Endy saja ini sedang sakit, ini lagi mau diobati. Dia sedang deman, Pak!" jelasku.     

"Ya sudah ... kalau memang bahaya, bawa dia ke rumah sakit di kota atau kalau memang parah hubungi bapak kita hubungi keluarganya!" terang Pak Rahman.     

"Baik pak!" teleponpun mati dan kemudian aku harus berpikir bagaimana Endy bisa sembuh dari penyakit anehnya ini.     

Bidan dari poli desa akhirnya datang pada sore hari, beliau mencoba memeriksa keadaan Endy. Menurutnya tidak ada hal yang aneh, hanya sedikit demam saja, mungkin dikarenakan kondisi tubuh Endy yang sedikit menurun. Aku dan Tony tidak menceritakan lebih detail mengenai keadaan Endy yang cukup aneh ketika malam tiba, lagipula anak-anak KKN yang lain tampaknya juga belum terlalu paham dengan apa yang sebenarnya terjadi.     

Hari demi hari berlalu, tidak ada perubahan yang berarti pada diri Endy. Aku mulai mencoba untuk mendiskusikan hal tersebut kepada Pak Rahman selaku Dosen Pembina Lapangan KKN. Pak Rahman berpesan agar mencoba untuk membawa Endy bertemu dengan keluarganya. Tony dan Dwi sedang mencoba mencari tahu mengenai keluarga Endy.     

Beberapa hari kemudian kami akhirnya mengadakan suatu acara malam keakraban bersama dengan anak-anak karang taruna. Aku sedang berbincang dengan salah seorang ketua karang taruna membicarakan apa yang bisa kita adakan ke depan untuk warga dan anak-anak karang taruna, hasil dari obrolan tersebut adalah sepakat untuk mengadakan beberapa lomba untuk warga desa, bisa lomba voli atau sepakbola dan bisa juga membantu untuk mengadakan lomba-lomba islami untuk anak-anak Sekolah dasar seperti lomba ngaji, ceramat ataupun pidato.     

Aku beranjak untuk mengobrol dengan Pak Kades dan Pak RT mereka menawarkan untuk meminta sumbangan dana dari salah satu perusahaan minyak yang cukup besar yang berada tidak jauh dari desa, kebetulan Pak Kades memiliki relasi atau koneksi di bagian dalam perusahaan tersebut. Aku menyanggupi dan menerima uluran tangan dari Pak Kades, kami akhirnya membicarakan mengenai untuk apa alokasi dana bantuan itu semisalnya jadi, karena akan dibuatkan proposalnya.     

Endy entah tiba-tiba menuju ke lantai dua tempat rapat dan malam keakraban itu berlangsung. Feranda dan Ceni melihat Endy naik ke atas, mereka cukup khawatir karena melihat kondisi Endy yang tampaknya belum banyak perubahan. Endy masih mencoba tersenyum, ia terlihat kemudian berjalan dan mengobrol dengan ketua karang taruna yang bernama Rendra. Aku yang melihat itu hanya tersenyum, aku berpikir kalau Endy sudah sedikit mau untuk membuka dirinya terhadap orang lain, karena sebelumnya semenjak ia sakit. Ia tidak banyak berbicara kepada orang lain.     

Aku menyusuri anak tangga rumah dan berbincang di bawah dengan anak-anak karang taruna yang lain. Aku memang tidak suka untuk tidak berbaur, apalagi aku ini tipikal orang yang enggan mendengarkan kabar buruk dari orang lain yang ditujukan kepada diriku sendiri. Aku masih berbincang hingga kemudian kulihat Endy masuk ke dalam kamar KKN. Aku tidak terlalu mengindahkan apa yang dilakukan oleh Endy, hingga sekitar 10 menit kemudian Tony berjalan ke arahku dan berbisik pelan, "Ada yang tidak beres dengan Endy!" ujarnya dengan raut muka serius.     

Aku yang mendengarkan hal tersebut segera beranjak meninggalkan para tamu dan memasuki kamar KKN. Tony segera mengunci pintu tersebut dari dalam agar tidak terdengar banyak suara yang terdengar, di dalam ruangan ini ada Jawir yang sebelumnya telah pulang dari liburannya yang cukup lama, Dwi dan juga Tony. Endy kini tergolek lemah di atas kasur sembari memegangi perutnya.     

"Kenapa dia sakit perut?" tanyaku penasaran.     

"Entahlah ... dia sudah sedari tadi merintih seperti itu!" terang Dwi.     

Aku mendekat ke arah Endy. Aku mencoba mendekatinya dan memegang tangannya untuk memastikan suhu tubuh Endy. Apakah ia terkenda demam hebat lagi? Atau bagaimana. Namun hal yang tidak kusangka-sangka akhirnya terjadi, sebuah sapuan tangan mengarah kepadaku dan mendarat tepat di wajahku, 'Plak!!'     

"Lepaskan, bangsat!!! Pergi dari sini!" Endy mendelik ngeri ke arahku dengan suaranya yang berubah menjadi parau.     

#Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.