Gairah Nona

Perlawanan Kepada Retno



Perlawanan Kepada Retno

0Gelmar meletakan koper di bagasi belakang mobil dibantu adiknya, Rehan. Ada dua koper. Yang pertama berisi pakaian dan peralatan sehari-hari, yang lain berisi makanan khas Indonesia yang sudah disiapkan ibunya jauh-jauh hari.     

"Coba dicek lagi, Kak," ucap Rehan mengingatkan. Gelmar kembali mengecek isi tasnya. Sebuah laptop beserta dokumen-dokumen yang sudah tertata rapi di File seperti paspor, visa Usa, Seamen book, BST, medical check up , serta job letter yang menerangkan bahwa dia mau sign on di kapal pesiar, dia letakkan paling depan. Buat persiapan menghadapi petugas imigrasi nanti.     

Gelmar tersenyum sembari mengacungkan jempol kepada adiknya. Senyum khas dengan lesung pipit itu berbeda sekali. Lebih lepas dan bebas. Rehan ikut senang karena sebentar lagi keinginan kakaknya untuk keliling dunia menjadi nyata. Rehan ingat betul perjuangan kakaknya yang bolak-balik dari Surabaya ke Jakarta, untuk keperluan interview dan mengurus dokumen. Setelah Letter of Employment dari perusahaan kapal pesiar turun, PT. Pesona Samudra – salah satu agen kapal pesiar di Jakarta - akhirnya memberikan schedule untuk Gelmar berangkat ke kapal pesiar. Schedule yang sudah dinanti berbulan-bulan.     

"Ayo, berangkat sekarang, keburu jalanan macet, " tukas Bu Farida yang bersiap masuk ke mobil.     

"Baik, Bu, sebentar." Rehan bergerak membukakan pintu. Saat pintu terbuka, Rehan tersenyum jenaka kepada ibunya, "silakan juragan."     

Bu Farida mengulum senyum sambil memukul pelan punggung Rehan. Gelmar terkekeh. Gelagat Rehan sering kali mengundang tawa, sehingga membuat kebersamaan keluarga kecil itu terasa hidup. Agaknya dia akan merindukan kebersamaan dengan keluarganya jika sudah onboard di kapal nanti.     

Perjalanan dari rumah mereka - Gubeng Kertajaya - ke bandara Juanda memakan waktu 30 menit di waktu subuh karena enggak terlalu macet. Jadwal keberangkatan masih empat jam lagi.     

Rehan mengemudi mobil sedan hitam peninggalan ayahnya. Bu Farida duduk di depan, sementara Gelmar di jok belakang. Mobil sedan yang sudah tua itu masih bisa berjalan normal. Ayahnya meninggalkan mereka tujuh tahun lalu, tanpa kabar, dan nafkah. Kala itu, uang pensiunannya Bu Farida sebagai guru tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga Gelmar yang baru lulus SMA itu terpaksa bekerja paruh waktu sebagai waiter dari hotel ke hotel, terkadang berangkat dari subuh buta sampai menjelang tengah malam. Waktu itu rehan masih kelas dua SMP.     

Tak dinyana, berkat ketekunan dan kerja kerasnya, Gelmar yang semula jadi Partime di hotel itu bisa menjadi Food and Beverage Manager di Golden Mermaid Hotel, salah satu hotel bintang lima kenamaan di kota Surabaya. Di usia muda, Gelmar mampu memimpin departemen itu dengan sangat baik. Bahkan, saat mendengar kabar bahwa Gelmar memutuskan untuk resign karena akan bekerja di kapal pesiar, banyak rekan kerjanya yang kecewa, tetapi mereka mendukung penuh keputusan Gelmar.     

Bu Farida memandang wajah Gelmar dari spion. Garis wajah yang dulu sering meneteskan keringat. Teringat ketika Bu Farida trenyuh melihat Gelmar yang kecapekan setelah pulang part time, Namun dengan senyum tulus, Gelmar berucap, "Gak papa,Bu. Sudah menjadi tanggung jawab Gelmar untuk menafkahi Ibu dan Rehan. Lagipula, Gelmar enjoy kok Bu, itung-itung cari pengalaman dulu sebelum berangkat ke kapal." Bu Farida terharu dengan pilihan Gelmar yang lebih mengutamakan keluarga daripada ego sendiri. Dalam hati, dia selalu berdoa untuk kesuksesan anaknya itu.     

Semua terasa lengkap, Namun ada yang mengganjal.     

Cinta.     

Selama ini, Bu Farida selalu mendengar curahan hati Gelmar tentang kerjaan di hotel, dan impiannya untuk kerja di kapal pesiar. Namun, jarang sekali, Bu Farida mendengarkan anak sulungnya itu cerita soal wanita pujaan hatinya. Meskipun sebenarnya banyak wanita entah itu rekan kerja atau anak dari teman arisannya yang gencar mendekatinya demi mencari perhatian Gelmar.Tetap saja Gelmar tak bergeming. Seolah tertutup rapat. Bu Farida menghargai pilihan Gelmar. Ia berharap suatu saat nanti ada wanita yang tepat yang akan mengisi relung hati anak sulungnya itu.     

"Lagi chattingan sama siapa sih, Kak? Kok, kayaknya serius gitu," ujar Rehan sambil sesekali melirik spion. Ia menangkap rona gelisah di wajah kakaknya yang sedari tadi sibuk menatap layar ponsel, seperti menunggu chat dari seseorang.     

Gelmar mendongak sembari melihat spion, "Mulai lagi deh , mending fokus nyetir saja kamu, ini urusan arek gede."     

Rehan memonyongkan bibirnya. Ia menoleh ke arah Bu Farida, "Bu, masa' Kak Gelmar punya pacar?"     

Bu Farida hanya tersenyum. Sering kali ia melihat dua putranya berdebat bahkan bertengkar meskipun sebenernya saling peduli.     

"Kakakmu itu lebih fokus ke karir dulu, ingin bebas, soal pacar banyak lho yang mau deketin kakakmu, kakakmu 'kan mapan, ganteng lagi, siapa sih cewek yang gak kepincut," tukas ibu yang seolah faham dengan isi hati anaknya. Gelmar mencebik sembari menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.     

"Tuh dengerin, makanya kamu belajar yang bener jangan pacaran mulu,"canda Gelmar mendorong jok kemudi Rehan.     

Rehan manyun saja. Sekarang dia adalah mahasiswa semester empat di fakultas pendidikan bahasa Inggris di UNESA. Ia memiliki wajah agak sedikit tirus dan badan yang berisi, beda sekali dengan kakaknya yang berwajah sedikit kotak dengan dagu maju. Dengan penampilannya yang keren, wajar saja dia menjadi idola di kampusnya, meski lebih tampan dari kakaknya, namun soal kharisma dan kedewasaan kakaknya lebih unggul.     

Di rumah, Gelmar adalah orang yang hangat dengan keluarga, namun, memasuki ruang lingkup hotel, semua berbeda. Pernah Rehan nge-date dengan pacarnya di restauran hotel tempat kakaknya bekerja, kakaknya itu terlihat sangat berwibawa, sehingga para waiter begitu menghormatinya. Itulah, meskipun di rumah sering berantem, tapi diam-diam, dia mengidolakan kakaknya.     

Sesampainya di depan bandara, Gelmar dan ibunya keluar dari mobil. Sementara Rehan, pergi untuk memarkir mobil terlebih dahulu. Mereka duduk di kursi di dekat pintu keberangkatan.     

Gelmar menghirup nafas dalam-dalam. Menikmati udara pagi yang masih sejuk, Sekaligus menenangkan hatinya yang sedikit was-was karena akan berangkat ke negeri Paman Sam sendirian. Seumur-umur, baru pertama kali ia keluar negeri, dan itu langsung ke Amerika. Dia akan sign on di kapal Dolphin Cruise line, salah satu kapal pesiar di Amerika yang berlayar di wilayah Carribean, Bahamas, dan Alaska. Hasrat untuk berlayar sudah membuncah didalam hatinya sejak lama, dan semua itu akan terbayar.     

Ketika Laut memanggil, Pelaut harus siap dalam kondisi apapun.     

Gelmar tersentak. Dia teringat sesuatu. Dia membuka ponselnya, bejibun chat yang mengantri untuk di baca, chat dari teman dan rekan kerjanya. Namun, pikirannya fokus mencari satu nama. Nama yang spesial yang mengusik hatinya selama perjalanan ke bandara tadi. Euforia kadang membuat seseorang lupa segalanya. Gelmar scrolling layar ponsel ke bawah. Dan nama itu tak muncul di barisan chat itu.     

Gelmar menghembuskan nafas kasar. Hatinya bergolak , Apakah gadis itu tahu aku akan berlayar? Ah, bodoh, bagaimana dia tahu sementara aku tidak memberi tahunya? kamu terlalu naif Gelmar, jangan kau tutupi perasaanmu?     

"Tuh... 'kan serius lagi," pekik Rehan mengagetkan Gelmar.     

"Sudahlah Kak, jangan ditutup-tutupi. Kakak lagi nunggu chat dari seseorang 'kan? dan berharap dia datang ke sini?" terka Rehan seolah bisa membaca isi hati kakaknya itu.     

Gelmar yang seolah terciduk oleh adiknya itu. Wajah putihnya memerah. Namun, Gelmar bersikap cool seolah tidak terjadi apa-apa. Mati kutu tidak ada dalam kamusnya.     

"Nunggu teman-teman kakak yang di hotel, katanya mau ke sini."     

"Temen apa temen?" imbuh Rehan, dia gemas dengan sifat jual mahal Kakaknya itu.     

"Sudahlah, Rehan, jangan godain kakakmu terus, nanti kamu gak dibawain oleh-oleh lho dari Amerika," seloroh ibu Farida.     

"Biarin, lagian punya cewek kok gak di kenalin ke kita."     

Gelmar tidak menanggapi adiknya lebih dalam. Namun, ia tak menampik ucapan adiknya itu karena memang ada seseorang yang sudah susah payah memecahkan keras hatinya saat ini.     

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kebersamaan mereka cukup sampai disini dulu. Gelmar harus berangkat.     

"Bu, Gelmar berangkat dulu ya," ujar Gelmar membungkukan badan sembari mencium tangan ibunya. Bu Farida mengelus- elus pundak putranya itu. Ini kali pertama mereka akan berpisah dalam kurun waktu yang lama,"Hati-hati di jalan ya, Sayang, doa ibu menyertaimu, semoga lancar sampai di sana."     

"Hati-hati ya Nak di negeri orang, kita tidak tahu hati orang seperti apa, jaga diri dan sikap," nasehat Ibu Farida lagi.     

"Baik Bu, saya akan baik-baik saja kok Bu."     

Tubuh Gelmar menegak dan berganti memeluk Rehan, "Kakak titip ibu ya,Han, kamu kuliah yang bener."     

"Iya, Kak, jangan lupa kabarin kalau udah sampai di sana."     

Gelmar melepas pelukannya dengan Rehan dan beringsut menarik dua kopernya masuk ke bandara. sesekali melihat kebelakang, dimana ibu dan adiknya senyum penuh arti. Sebenarnya, dia berharap orang spesial itu datang, setidaknya untuk sekadar mengucapkan "Selamat jalan".     

Saat akan mengantri untuk check in, tiba-tiba seorang gadis tergopoh-gopoh datang ke arahnya, "Pak Gelmar!!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.