Gairah Nona

Septi yang Licik



Septi yang Licik

0Anak kecil itu kegirangan lalu berdiri diatas kursi dan menggerakan burung origami itu seolah-olah terbang. Hal itu menjadi perhatian tamu lainnya yang memandang meja Gelmar. Gelmar menganggukan kepala sembari menyebar senyum, lalu berjalan kebelakang.     

Beberapa saat kemudian para assisten waiter berkerumun di meja masing-masing untuk mengambil piring yang sudah kotor dan dibawa ke mesin pencuci piring di galley (dapur). Sementara para waiter melakukan taking order,atau mencatat pesanan tamu yang terakhir yaitu dessert (makanan penutup). Gelmar memiliki partner orang india yang berwajah sangar dengan bekas cukuran jambang yang masih kentara, nada bicaranya juga tinggi, namun saat di depan tamu dia bisa selembut popok bayi. Orang india itu juga memberi arahan kepada Gelmar walaupun dia tak bisa menangkap omongannya seratus persen karena saking cepatnya.     

Akhirnya acara makan malam pun selesai. Tamu pun mulai berjalan keluar dari restoran. Setelah memastikan tidak ada tamu yang tersisa, para assisten waiter menata kembali peralatan makanan yang bersih di atas meja untuk persiapan besok. Begitupun Gelmar, yang sedang menata mejanya kembali, hingga seseorang menepuk bahunya.     

"Hai, baru datang ya." Gelmar pun menoleh ke sumber suara. Baru datang disini bermakna baru kerja ya? Seseorang dengan perawakan jangkung itu tersenyum penuh persahabatan. Gelmar langsung mengenalinya sebagai orang indonesia sama seperti dirinya.     

"Oh iya bro," sahutnya dengan senyum melebar. Dia melihat orang itu menggunakan seragam sama seperti dirinya, tandanya dia bekerja di restauran yang sama dengan dirinya. Namun, dia tidak ngeh dengan orang itu, mungkin karena terlalu fokus dengan pekerjaan.     

"Udah selesai set up (menata) mejanya?"     

"Sebentar lagi,"     

"Sini, biar aku bantu."     

"Makasih ya."     

Sejenak pria berbadan jangkung itu membantu menata meja. Tangannya sangat lihai seolah sudah melakukannya lebih dari ribuan kali. Gelmar sampai takjub. Tiba-tiba Louis datang menghampiri mereka.     

"Pram, show him how to do it properly," (Pram, tunjukan dia cara melakukannya dengan benar) perintahnya sembari melirik ke arah Gelmar dan berlalu begitu saja. Gelmar mengedikan bahu, tak ambil pusing dengan sikap atasannya itu yang terus mengintimidasinya di setiap kesempatan.     

"Gak usah dipikirin, dia emang gitu kalau sama anak baru," bisik pria itu seolah tahu apa yang ada di benak Gelmar.     

"Selesai deh." Pria jangkung itu mengesekan kedua telapak tangannya, lalu memandang ke arlojii di pergelangan tangannya, "Jam kerja kita sudah selesai. Yuk clock out."     

Dia berjalan keluar restoran. Gelmar mengekorinya dari belakang. Langkah mereka bersamaan dengan kru lainnya yang selesai bekerja. Mereka men-tap kartu di timesheet machine, tanda jika mereka sudah selesai bekerja. Kartu yang sama untuk membuka kabin. Selain itu, kartu itu berguna untuk membayar barang yang dijual di toko khusus kru atau di kru bar sehingga lebih praktis.     

" Ayo ke bar dulu," ajak pria itu seraya memencet eskalator menuju deck (lantai) tiga tempat kru bar berada. Restoran itu terletak di deck 11.     

"Oh iya, namaku Gelmar, kamu?"     

" Panggil saja Pram. Aku asli Surabaya."     

"Oh Arek Surabaya? sama kita, aku tinggal di kertajayanya, kalau kamu dimana bro?"     

Obrolan mereka berlanjut sampai keluar dari eskalator. Meskipun baru pertama kali bertemu, mereka terlihat akrab. Mungkin saja karena berasal dari negara yang sama, kota yang sama pula . Sebenernya Gelmar bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang baru. Namun karena Pram orangnya sangat welcome, Gelmar pun tidak merasa canggung sama sekali. Mereka berjalan ke bagian belakang kapal. Cukup jauh memang. Kru kapal pesiar harus memiliki kaki yang kuat untuk berjalan kemana-mana di dalam kapal yang luas itu.     

Genggap gempita ruang bar yang lebih mirip diskotek itu menyambut mereka. Musik Dj bertalu-talu dan lampu kelap kelip mengiringi para kru yang asyik berjoget. Ada yang sekedar yang duduk-duduk santai, mengobrol biasa. Ada juga merokok di ruang khusus. Kru bar adalah tempat favorit para kru untuk menghilangkan stress dalam bekerja.     

"Gimana kesannya setelah bekerja di kapal pesiar?" katanya setelah memesan dua kaleng beer heineken kepada barista. Suaranya hampir tenggelam oleh dentuman musik, Namun, Gelmar masih bisa mendengarnya     

"Lumayan capek sih," sahutnya lebih     

"Lama-lama juga terbiasa, aku dulu pas pertama bekerja juga gitu, nanti kalau sudah tahu medannya pasti gampang bro." Dia tertawa renyah, tangannya mengarahkan beer ke mulutnya yang mendongak. Dia seperti menyimpan trik khusus supaya bisa meringankan kerja tetapi kerjaan tetap beres tepat waktu.     

Gelmar meneguk beer pertama kali semenjak menginjakan kaki di kapal pesiar. Teman kabinnya sudah sering menawarinya untuk minum beer hanya saja Gelmar menolak secara halus, karena dia tidak hobi minum. Namun kali ini dia rasa perlu sedikit alkohol untuk menenangkan pikirannya yang pusing.     

Lalu fikirannya melambung jauh ke gadis cantik yang berada dibelahan bumi lainnya. Delinda sedang apa ya sekarang? Jika di Amerika malam, maka di Indonesia siang hari, berbeda dua belas jam. Dia lalu menggeser layar ponselnya. Dia terhenyak melihat banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Delinda. Beberapa hari ini, kegiatan di kapal memang sangat padat sehingga dia tak sempat membuka ponselnya yang sudah di mode silent itu.     

"Sebentar ya bro, saya mau telfon dulu," ujarnya Dia bergerak menjauh dari keramaian dan dentuman musik.     

"Kangen sama pacar ya atau sama istri," goda Pram yang sedang melihat serunya kru berjoget mengikuti hentakan musik.     

"Pacar," sahutnya sekenanya. Iya, dia bukan hanya calon pacar, tapi perempuan yang akan menjadi istriku, bisiknya dengan mantap dalam hati. Dia pun segera melakukan telepon vidio. Tak menunggu waktu lama orang di seberang jauh itu mengangkatnya.     

"Kak!" pekiknya dengan suara parau. Wajahnya kuyu dan kelopak mata yang menghitam. Dia terbaring di ruang kamar kos. Gelmar tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya,"kamu kenapa Linda? Sakit apa?"     

"Kakak, saya minta maaf Kak jika perkataan saya beberapa hari yang lalu itu menyinggung kakak," sahutnya tanpa menjawab pertanyaan Gelmar.     

"Perkataan yang mana sih?" Gelmar menautkan kedua. Dia merasa tak ada perkataan Delinda yang menyinggung.     

"Terakhir kakak telfon, yang aku bilang prihatin dengan keluarga kakak."     

Gelmar menyentuh pelipisnya dengan pandangan ke atas seperti mengingat-ingat, "astaga!" Gelmar reflek menepuk jidatnya, " Maafkan kakak Linda, kemaren kakak tuh kecapekan makanya kakak putus telfonnya?"     

Mata gadis itu sontak membulat, "Ih... jahat banget sih Kakak, bilang kek kalau kecapekan, jangan seenaknya sendiri. Linda jadi kepikiran nih enggak bisa tidur berhari-hari, apalagi kakak gak balas atau angkat telfonku," cerocosnya dengan seraya memalingkan muka, yang justru membuat Gelmar gemas ingin mencubitnya.     

"Maafin kakak deh, jangan ngambek dong." Kini Giliran Gelmar yang merengek. Hanya Delinda yang mampu membuat seorang Gelmar sampai merengek, walaupun itu hanya pura-pura. Sedikit rasa bangga terselip di hatinya.     

"Linda gak mau maafin, titik."     

"Jangan gitu dong, janji deh kakak enggak akan mengulanginya lagi."     

"Bodo amat."     

Tiba-tiba Gelmar memegang dadanya, nafasnya sesak lalu pingsan. Delinda menengok dengan ekor matanya. Dia membelalakan mata saat melihat Gelmar terkulai lemas tak berdaya. Gadis itu pun panik.     

"Ya ampun, Kak Gelmar bangun Kak!"     

"Siapapun tolong kak Gelmar, please." Serunya sembari menggigit bibir gelisah.     

"Yah jangan pingsan dong."     

Tak ada respon.     

"KAK!" pekiknya lebih keras, lelehan air mata terjun begitu saja dari kelopak matanya.     

"BHAHAHAHAHA, haha khawatir ya"     

"ih, Kakak! Enggak lucu tau!"     

"Masa' pingsan bisa pegang hp, hehehe." Gelmar terkekeh. Sekarang dia memiliki hobi baru, yaitu menggoda Delinda sampai wajahnya ditekuk. Pria itu seolah candu dengan rona wajah gadis itu ketika manyun tetapi tidak baik kalau keterusan, nanti jatuhnya Delinda bisa ilfeel dengannya.     

"Makanya jangan ngambek, nanti aku bisa pingsan jika kamu terus-terusan ngambek. Lagian bidadari kok cemberut? Biasanya 'kan selalu senyum."     

Delinda mengusap air matanya, dia mengulum bibir menahan diri untuk tersenyum. Namun, pertahanannya goyah, senyum manja merekah di pipinya.     

"Nah gitu dong, 'kan enak dilihat,"     

Dua sejoli itu larut dalam kerinduan. Entah kenapa, dengan hanya melihat Delinda di layar ponsel, rasa penatnya musnah dan berganti dengan semangat yang menggebu-gebu. Bahkan Gelmar hanya bertopang dagu sambil tersenyum melihat gadis itu bercerita tentang pekerjaannya di hotel.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.