Bullying And Bloody Letters

First Kiss



First Kiss

0Tubuh Aldi dan Deni masih dalam cengkeraman Mentari, dan mereka tampak sangat ketakutan saat ini.     

      

"Tari! Ampun, Tari, Ampun!" mohon Deni.     

Tapi Mentari tak menghiraukannya, dan dia melemparkan kedua tubuh pria itu hingga melayang dan ke luar dari dalam toilet.     

      

Rupanya di luar sudah mulai ramai orang, dan mereka semua melihat ke arah  Deni dan Aldi dengan tatapan keheranan.     

Setelah itu dari dalam toilet juga mulai tampak Mentari yang baru saja keluar.     

      

"Ampun, Tari! Ampun!" mohon Aldi dan juga Deni yang terlihat sangat kompak.     

      

Haha haha haha haha!     

Haha haha haha haha!     

Haha haha haha haha!     

      

Mentari tertawa-tawa dengan kencang dan membuat semua orang menjadi ketakutan, apa lagi dengan melihat keadaan Aldi dan Deni yang tampak babak belur.     

Sebagian dari para siswa itu pun berlari ketakutan, mereka tidak mau memiliki nasib yang sama dengan Aldi dan juga Deni.     

Hingga akhirnya Laras dan Alvin pun datang menghampiri Mentari.     

"Tari! Kamu kenapa?!" tanya Laras dengan wajah paniknya.     

"Sepertinya dia kerasukan arwahnya, Cinta," bisik Alvin ke telinga Laras.     

"Terus gimana dong, Vin?" tanya Laras yang masih panik.     

"Kita, sadarkab dulu dia," ujar Alvin.     

      

Dan perlahan Alvin memberanikan diri untuk mendekati Mentari, dia merangkul tubuh Mentari dan berbisik.     

"Aku tahu kamu bukan, Tari, kamu Cinta, 'kan? Sekarang ayo cepat keluar dari dalam tubuh, Tari, kasihan Tari, Cinta, semua orang ketakutan melihatnya," bisik Alvin di telinga Mentari.     

      

Lalu sambil memejamkan mata dengan wajah datarnya, Mentari menganggukkan kepalanya.     

Cinta segera keluar dari tubuh Mentari, dan seketika Mentari pun terjatuh lalu pingsan.     

      

"Hah, syukurlah, dia mau keluar" ucap Alvin.     

"Gimana, Vin. Tari, pingsan nih?" tanya Laras.     

"Udah gak apa-apa, kita langsung bawa aja dia ke klinik sekolahan," ujar  Alvin.     

Dan Alvin pun menggendong mentari lalu mengantarkannya ke klinik sekolahan.     

      

      

Sesampai di klinik sekolahan, Laras dan Alvin terus mencoba untuk membangunkan Mentari.     

"Tari, Tari, ayo bangun Tari," panggil Laras sambil menepuk-nepuk wajah Mentari.     

"Ayo, bangun, Tari. Bangun," panggil Alvin.     

      

Berkali-kaki, Laras mengoleskan mintak kayu putih, di bagian hidung dan kening Mentari, dan berharap Mentari segera tersadar.     

"Tumben sih, Mentari gak sadar-sadar, biasanya kalau udah di olesi minyak begini pasti dia cepat sadar." keluh Laras.     

"Aku, juga gak tahu, Ras. Coba kasih nafas buatan aja kali ya?" tanya Alvin.     

Laras pun malah tersenyum bukannya menjawabnya.     

"Loh, kok malah senyum-senyum begitu sih?" tanya Alvin.     

"Yah, habisnya, masa kalian mau ciuman di depan aku yang lagi jomblo ini, " kelakar Laras.     

"Astaga!" Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya.     

"Aku itu mau kasih, nafas buatan, Ras. Bukannya berciuman!" sangkal Alvin.     

"Haha, iya deh, iya. Yaudah silakan!" sahut Laras.     

      

Dan Alvin menghapus keraguannya dan meyakinkan diri untuk memberikan nafas buatan untuk Mentari.     

Wajahnya sudah mendekat ke arah wajah Mentari, Laras yang melihatnya pun sampai menutup matanya.     

Karna tidak mau terbawa suasana.     

      

Namun belum sampai memberikan nafas buatan sungguhan, ternyata Mentari malah sudah bangun duluan.     

"Alvin," tukas Mentari, "kamu mau ngapain?" tanya Mentari.     

Dan seketika Alvin pun langsung gugup pipinya langsung memerah, dan salah tingkah.     

      

Sementara Laras tak kuasa menahan tertawanya.     

"Ya ampun, aku tertawa begini kira-kira dosa enggak ya?" kelakar Laras.     

"Diam kamu, Laras!" bentak Alvin, dan Alvin pun langsung keluar dari dalam klinik.     

      

"Loh, si Alvin, kenapa sih?" tanya Mentari dengan lugu.     

"Ah, gak tau! Emang tu orang rada gak jelas!" jawab Laras.     

Sementara Mentari hanya bisa garuk-garuk kepala karna merasa tidak paham dengan penjelasan Laras.     

      

***     

Tak terasa bel pulang sekolah kembali terdengar, dan saatnya para siswa dan siswi berbondong-bondong keluar kelas.     

Tak terkecuali Mentari dan juga Laras.     

"Kamu di jemput sama, Papa kamu lagi ya?" tanya Mentari kepada Laras.     

"Iya, Papa sudah menunggu di depan gerbang, kalau kamu?" tanya balik Laras.     

"Aku, paling pulang sama Alvin, soalnya om Dimas gak bisa jemput," jawab Mentari.     

"Wah, senangnya, bisa pulang sama pacar. Pasti dalam hati berbunga-bunga tuh!" ledek Laras.     

"Ah, Laras bisa aja deh,"     

"Hehe, oya, pastinya. Aku jadi iri tau,"     

"Yaudah, cari pacar dong, Ras!"     

"Ah, susah!"     

"Mau aku bantu cariin?"     

"Emm, boleh, hehe!"     

Saat mereka tengah asyik mengobrol dari kejauhan tampak seseorang memanggilnya.     

"Laras!"     

"Eh, Papa!" Laras menepuk pundak Mentari, "aku duluan ya! Papa udah manggil tuh!" ujar Laras.     

"Iya, ati-ati, Ras!'     

"Ok," jawab Laras.     

Dan Laras pun pegi bersama sang ayah.     

Tak setelah itu Alvin memanggil Mentari.     

"Woy! Tari!"     

Mentari pun menengok, dan ternyata Alvin sudah menunggunya di atas motornya.     

"Ayo!" ajak Alvin.     

"Ok,"     

Mantari berjalan mendekat ke arah Alvin.     

Dan entah mengapa, Alvin mendadak menjadi orang yang pendiam.     

Mentari mulai bingung akan hal itu.     

"Vin, kamu kenapa?" tanya Mentari.     

"Enggak, kok, Tari, aku gak kenapa-kenapa," jawab Alvin.     

"Tapi, kayaknya ada yang beda deh," cecar Mentari.     

"Ah, enggak kok, mungkin perasaan kamu aja deh," jawab Alvin.     

"Ah, kamu kok, jadi kayak malu-malu gitu,"     

"Ah, enggak kok, biasa aja!" ujar Alvin.     

"Vin, kita mampir ke cafe bentar, yuk, aku lapar, sekalian aku mau negerjain tugas," ajak Mentari.     

"Ok,"     

      

      

Sesuai dengan ajakan Mentari, mereka pun berhenti di sebuah Cafe langganan mereka.     

"Vin, jujur deh, kamu canggung begini gara-gara waktu di klinik ya?" tanya Mentari.     

"Emmm, iya sih, hehe,"     

"Kenapa harus canggung, kamu kan mau nolongin aku?"     

"Ya, aku gak enak aja, pasti kamu ngerasa kalau aku tadi mau berbuat yang enggak-enggak ke kamu, 'kan?" tanya Alvin dengan wajah yang terlihat sangat takut dan ragu-ragu.     

      

      

Tapi wajah santai dan terlihat biasa saja tampak di wajah Mentari.     

"Ah, enggak kok, justru aku malah bahagia, karna kamu itu peduli banget sama aku, lagian ...."     

"Lagian apa?"     

"Lagian kalau pun kamu mau menciumku wajar, kan, kita ini pacaran,"  ujar Mentari dengan polosnya.     

      

Mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh Mentari membuat Alvin tercengang, dia tidak. Menyangka ternyata Mentari seberani ini.     

"Kamu, belajar dari mana soal itu?"     

"Hah, ya aku nonton di tv," jawab Mentari polos.     

Alvin pun tak kuasa menahan senyumannya.     

"Haha, ow, jadi kamu nantangin ya,"     

"Nantangin apaan sih!"     

"Ada deh!"     

"Ih Alvin gak jelas!"     

"Bodo!"     

      

      

      

      

Setelah selesai makan dan mengerjakan tugas sekolah di cafe, Alvin mengantarkan Mentari pulang ke rumahnya.     

"Gak terasa kita sampai rumah sudah gelap aja," ujar Mentari.     

"Iya, habisnya kamu, tadi ngerjain tugasnya lama banget," keluh Alvin.     

"Ya, habisnya mau gimana lagi, naggung kan, kalau gak selesai hari ini juga," jawab Mentari.     

"Iya, deh,"     

Perlahan Alvin membelai rambut Mentari dengan lembut.     

Dan setelah itu dia memegang wajah Mentari dengan kedua tangannya.     

      

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.