Bullying And Bloody Letters

Menggandeng Tangan



Menggandeng Tangan

0Anton sangat kesal dengan perlakuan Tyas terhadapnya.     

Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.     

"Apa yang wanita itu katakan kepada, Ayah?" tanya Brian, yang berada satu mobil dengannya.     

Namun Anton tak menjawab pertanyaan putranya.     

Lalu Brian pun bertanya lagi, "Apa dia mengancam Ayah?" tanya Brian lagi, "jawab Ayah, jawab!" pintanya.     

Tapi lagi-lagi sang Ayah masih diam  saja, dan wajahnya semakin kesal.     

"Ayah itu tidak biasa diam begini, dan kenapa Ayah tidak mau bercerita?" Brian terus mencecar Ayahnya dengan pertanyaan.     

Lalu Anton yang sedang kesal, mendengar pertanyaan Brian putranya, pun menjadi semakin kesal saja.     

"Sialan! mulut mu itu bisa diam tidak!?" bentak Anton kepada Brian.     

Seketika Brian pun langsung terdiam karna mendengar bentakan sang Ayah.     

"Maaf, Ayah,"     

Dan Anton melirik sinis ke arah Brian yang ketakutan.     

      

Dan dalam otak Anton pun langsung terbawa kedalam bayangan 30 tahun lalu.     

Saat itu, setelah dia meniduri Larasati. Dia langsung terbang ke Jerman.     

Dan tanpa rasa bersalah dia meninggalkan Larasati yang tak sadarkan diri begitu saja di dalam hotel.     

      

Beberapa bulan tinggal di Jerman, hari-harinya tampak biasa saja. Hingga suatu ketika dia bermimpi.     

Dia menggendong seorang bayi laki-laki. Dan dia merasa sangat bahagia sekali, dia merasa seperti menjadi seorang Ayah sungguhan, padahal saat itu usianya baru belasan, tapi entah mengapa dia merasa sangat bahagia menggendong bayi itu.     

Namun perlahan bayi yang ada di dalam gendongannya itu pun menangis. Dan perlahan-lahan keluar darah dari tubuh bayi itu. Dan darah mengalir semakin banyak keluar dari tubuh sang Bayi. Perlahan-lahan tubuh bayi itu menyusut dan menjadi sangat kecil, lalu menghilang dari gendongannya, namun sisa darah masih menempel di tubuhnya.     

Anton merasa kaget dan sangat takut, lalu tiba-tiba dari kejauhan Larasati menangis sambil duduk meringkuk dengan lantai yang juga penuh darah dan saat itu juga dia melihat ada Seruni dan Amara serta beberapa anak lain tengah menertawai Larasati yang terjatuh dan menangis itu.     

Lalu setelah itu Anton terbangun. Dan sampai saat ini Anton masih terus teringat mimpi yang aneh sekaligus menyeramkan itu.     

      

Brian melirik kembali kearah ayahnya yang sedang melamun dengan pandangan yang tampak kosong. Brian merasa khawatir kepada ayahnya apa lagi  dia sedang menyetir, tentu akan sangat berbahaya sekali jika dia biarkan ayahnya melamun.     

Namun Brian tak berani menegurnya karna takut sang Ayah akan marah apalagi, pikiran ayahnya tampak sedang kacau.     

Dan tiba-tiba di depan mereka ada seorang pria tua hendak menyeberang jalan, lalu Brian pun langsung berteriak kepada sang Ayah.     

"Ayah! awas di depan!" teriak Brian.     

Lalu Anton pun langsung tersadar dari lamunannya dan dia menginjak rem mendadak hingga mobil yang di kendarainya pun sempat tergelincir dan menyenggol bahu jalan.     

Untungnya si Pria Tua yang sedang menyeberang itu tidak tertabrak serta Anton dan Brian pun juga tidak terluka sedikit pun.     

"Hufft, syukurlah kita tidak apa-apa," ucap Brian.     

Dan Anton pun langsung keluar dari dalam mobilnya, lalu dia menghampiri pria tua itu lalu memarahinya.     

"Hey, Pak Tua!" teriak Anton, "sudah bosan hidup ya?!" teriaknya lagi dengan mata melotot.     

Dan Brian pun segera keluar dari dalam mobil dan menghampiri sang Ayah untuk menenangkannya.     

"Sudah, Yah. Lagi pula Ayah yang salah, tadi Ayah menyetir sambil melamun," tukas Brian sambil memegang pundak sang Ayah.     

      

Namun Anton tak terima di salahkan, "Ais, kamu ini apa-apaan sih!" bentaknya.     

Lalu Anton mendorong Brian hingga Brian hampir terjatuh  dan polisi lalu lintas yang bertugas di tempat itu pun menghampiri mereka untuk melerai mereka yang bersitegang. Dan seluruh orang yang menyaksikan insiden itu pun menjadi saksi. Bahwa yang menjadi tersangka kecelakaan itu adalah Anton, bahkan Anton juga menerjang lampu merah, yang sempat terekam dari kamera CCTV dan akhirnya Anton pun terpaksa harus menanggung kesalahannya. Akhirnya dia mendapat beberapa sanksi berupa surat tilang.     

Namun bukan Anton namanya kalau tidak bisa menyelamatkan diri dari masalah hanya dengan uang.     

      

Dan akhirnya dia pun terbebas dari masalah itu dan pulang dengan tenang.     

Sesampai di rumahnya Anton tampak kacau, begitu pula dengan Brian dia juga tampak begitu murung, karna sejak tadi dia di marahi terus oleh ayahnya. Apa lagi dia juga hampir celaka dan bahkan hampir menghilangkan nyawa seseorang.     

      

"Huh, semua ini gara-gara Kepala Sekolah sialan itu!" umpat Brian sambil melemparkan tasnya ke atas meja dengan kasar.     

Lalu dia pun tertidur di sofa, dan saat itu muncul sekelebat bayangan Larisa, di otaknya. Dan Brian pun langsung terbangun lagi.     

"Ah, aku masih saja penasaran dengan gadis lugu itu," gumamnya sambil tersenyum, "lihat saja aku pasti akan mendapatkannya." Tukasnya dengan penuh keyakinan.     

      

***     

      

Esok harinya, Larisa dan Alex baru saja memasuki gerbang sekolahan dengan berboncengan motor.     

"Sampai ...," ucap Alex.     

      

"Alex kamu mau langsung ke kelas, atau mau ke kantin dulu?" tanya Larisa.     

      

"Langsung ke kelas aja deh, soalnya aku sudah sarapan di rumah." Jawab Alex.     

      

"Ow, begitu ya, yasudah ayo kalau begitu." ajak Larisa.     

      

Dan belum sampai di kelas mereka malah berpapasan dengan Tyas.     

"Eh, kalian sudah berangkat sepagi ini?" tanya Tyas.     

      

"Eh, Bu Tyas. Selamat pagi, Bu!" ucap Alex.     

      

"Pagi juga," jawab Tyas.     

      

"Yasudah, kami mau masuk ke kelas dulu ya," tukas Larisa.     

      

"Oh, iya silakan. Tapi ngomong-ngomong kalian ...?"     

      

"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Larisa.     

Dan Tyas pun melanjutkan ucapannya, "Kalian pacaran ya?"     

      

Doeng!     

Larisa dan Alex pun langsung  terdiam satu detik dan langsung menjawab kompak pertanyaan kepala sekolah mereka, "Enggak!"     

Dan Tyas pun langsung menutup mulutnya karna menahan tawa.     

"Bilang gak pacarannya kompak banget," tukasnya sambil berjalan pergi meninggalkan Larisa dan juga Alex.     

Sementara Larisa dan Alex langsung saling pandang satu sama lain, mereka mulai merasa canggung kembali. Perasaan yang selalu tiba-tiba muncul ketika mereka mendapati sesuatu yang bersinggungan dengan hubungan mereka.     

      

'Kemarin aku dan Alex saling merasa canggung gara-gara pegangan tangan. Dan sekarang rasa canggung sudah hilang, kenapa Bu Tyas malah bilang begitu sih, huh jadi canggung lagi, 'kan!' batin Larisa.     

      

Dan mereka berjalan menuju kelas dengan jarak saling berjauh-jauhan. Menyadari jika Larisa sangat canggung akan hal itu, Alex pun kembali mendekati Larisa, walau sebenarnya dia sendiri juga merasa canggung.     

"Larisa," panggil Alex, lalu Larisa pun menengok kearahnya.     

Larisa berhenti sejenak dan menunggu Alex yang masih berjalan di belakangnya.     

"Larisa, tunggu!" teriak Alex.     

      

"Iya, Alex. Aku sudah menunggumu nih, jalannya bisa agak cepat tidak?" ucap Larisa.     

Lalu Alex berlari dan menggandeng tangan Larisa.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.