Bullying And Bloody Letters

Kecurigaan Tyas



Kecurigaan Tyas

0Tyas berjalan menyusuri perpustakaan dan berharap agar dia bisa bertemu dengan Larasati.     

Ada banyak kenangan dalam perpustakaan itu dengan Larasati, sehingga membuat hatinya semakin terguncang saat berada di sini.     

      

Lalu di dalam perpustakaan itu, Tyas merasakan sayup angin  lembut menerjang tubuhnya, dia seperti merasakan ada sesuatu yang baru saja dia tabrak. Bulu kuduknya menjadi merinding, dia merasa ada yang tidak beres di tempat ini. Namun dia tidak peduli, dia tidak takut dengan hantu.     

Bahkan dia malah berharap apa yang dirasakan kini adalah tanda kedatangan dari Larasati.     

"Larasati, apa benar kamu ada di sini?" tukas Tyas sambil menangis.     

Dan dugaan Tyas itu memang benar, Larasati ada di sini. Dia sedang menatap Tyas dengan Nanar bahkan saat Tyas merasakan hembusan angin kecil dan seperti telah menyentuh sesuatu yang terasa lembut, saat itu Larasati hendak memeluknya, tapi Larasati tidak bisa melakukannya. Tubuhnya ringan dan hanya seperti sebuah bayangan sehingga dia menembus tubuh Tyas, jangankan untuk memeluk, untuk menyentuh Tyas saja dia tidak mampu.     

      

Padahal dia bisa menyentuh dan menyakiti orang-orang jahat, tapi anehnya dia tidak bisa menyentuh orang baik seperti Tyas.     

Wajah Larasati yang berdarah-darah itu perlahan meneteskan air mata dari sudut mata sipitnya. Dan di saat itu perlahan-lahan dia kembali dengan wujud normal seperti Larasati yang dulu, menggunakan seragam lengkap dan bersih tanpa darah. Tapi sayangnya dia masih tak dapat menyentuh Tyas.     

Larasati terus berusaha meraih tubuh Tyas agar dapat menyentuhnya, namun tetap saja dia tidak dapat melakukannya.     

Hingga Larasati pun merasa lelah dan dia pun menyerah lalu duduk di sudut tembok sambil melihat Tyas yang masih menunduk dan menangis  di atas bangku.     

Lalu perlahan Tyas mengangkat wajahnya dan menatap kearah sudut tembok tepat di mana Larasati tengah terduduk, dengan wajah putus asa karna tak dapat menyentuh dan memperlihatkan wujudnya kepada Tyas.     

Dan saat itu samar-samar Tyas dapat melihat ada seorang siswi yang tengah duduk di situ.     

Lalu Tyas melepas kaca matanya dan hendak membersihkannya, karna dia pikir pandangannya kabur karna kaca mata yang dia pakai itu sedang kotor.     

Namun saat dia membuka dan belum selesai membersihkannya, tiba-tiba pandangan matanya menjadi terang dan dapat melihat gadis yang tengah duduk di sudut tembok itu dengan jelas. Dan yang membuatnya sangat kaget dan bahagia, bahwa gadis berseragam yang dia lihat itu adalah Larasati sahabatnya.     

Tyas pun langsung tersenyum seolah tak percaya dan perlahan dia menghampirinya.     

"Lara," tukasnya sambil berjalan maju.     

Dan Larasati pun tampak kaget karna tak menyangka Tyas dapat melihat keberadaannya.     

Larasati pun juga tersenyum membalas senyuman Tyas. Dan Tyas mengulurkan tangannya ke arah Larasati.     

Lalu Larasati pun juga mengangkat tangannya hendak menyambut uluran tangan Tyas.     

Namun sayangnya, Larasati merasa melemah tangannya masih tidak bisa menyentuh Tyas.     

Dan perlahan-lahan tubuhnya memudar dan menghilang dari hadapan Tyas.     

      

"La-ra-sa-ti ...." Tukas Tyas yang memanggil Larasati dengan suara terbata-bata.     

      

Dan di belakangnya terdengar suara orang yang tengah memanggil namanya.     

"Bu Tyas, sedang apa?" tanya Bu Lusi yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.     

      

"Eh, Bu Lusi, bikin saya kaget saja," tukas Tyas.     

      

"Maaf, Bu Tyas. Dari tadi saya sudah memanggil Ibu berkali-kali, tapi Ibu tidak menjawabnya."     

      

"Oh maaf, Bu Lusi, tadi saya tidak dengar," jawab Tyas     

      

'Aneh, masa tidak dengar, padahal saya kan ada di belakangnya,' batin Lusi sambil menggelengkan kepalanya.     

      

"Ah, mungkin Bu Tyas, sedang kecapean. Bagaimana kalau kita ngopi di kantin sekolahan dulu?" ajak Lusi.     

      

"Ngopi ya, wah ide bagus itu," tukas Tyas, "mari, Bu Lusi, lagi pula ada yang ingin saya tanyakan kepada, Bu Lusi," ajak Tyas, dengan semangat.     

      

Dan sesampainya di kantin sekolahan mereka duduk sambil menunggu pesanan kopi mereka datang.     

"Bu Lusi," panggil Tyas.     

      

"Iya, Bu Tyas," sahut Lusi.     

      

"Ah, sebenarnya ada banyak hal yang saya ingin pertanyakan kepada Bu Lusi, karna Bu Lusi sudah cukup lama, 'kan menjadi staf pengajar di sini,"     

      

"Iya Bu Tyas, silakan tanya-tanya saja, jika saya bisa menjawabnya, maka dengan senang hati saya akan menjawab," tukas Lusi.     

      

"Hah, saya ingin bertanya tentang Larisa, karna Bu Lusi, adalah wali kelasnya,"     

      

"Ow tentang dia ya, tentu saja silakan, apa dia membuat masalah?" tanya Lusi.     

Dan Tyas pun menggelengkan kepalannya, "Tidak. Saya hanya ingin semua orang mengakui kecerdasannya, bukan menindasnya. Karna saya lihat diskriminasi masih sangat nyata di tempat ini," tutur Tyas.     

Lusi pun menunduk, tapi dia tersenyum, "Baru kali ini saya bertemu kepala sekolah seperti, Bu Tyas," tukas Lusi.     

      

"Maksudnya?"     

      

"Ah, begini Bu Tyas, memang keberadaan Larisa tidak begitu di hargai di sini, karna dia orang miskin, lain halnya dengan anak-anak lain yang berasal dari keluarga mampu dan sanggup membeli segalanya. Padahal di sisi lain Larisa itu sudah banyak menyumbangkan prestasi dan mengharumkan sekolah ini, tapi semua itu belum cukup. Mereka tak menganggap Larisa itu berharga. Bahkan  hanya kesalahan yang tidak dia sadari, Bu Amara sempat akan mengeluarkannya,"  tutur Lusi.     

      

"Apa?! Bu Amara, sampai akan mengeluarkannya?"     

      

"Iya, Bu Tyas, beliau agaknya sangat tidak suka dengan Larisa. Bahkan sebelum beliau tewas,  saya dengar Bu Amara sempat memberi sejumlah yang untuk Larisa, hanya agar Larisa merubah penampilan saja,"     

      

"Merubah penampilan? memangnya, ada apa dengan penampilan Larisa?"     

      

"Dulu Larisa terkenal gadis lugu yang tak pandai berdandan, bahkan mereka memanggilnya Culun, Aneh, Alien dan lain sebagainya. Meski saya tahu itu perbuatan yang salah, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, karna mereka adalah anak-anak orang kaya raya, saya tidak bisa melakukan hal itu karna saya masih butuh pekerjaan ini." Lusi tampak bersedih.     

      

"Saya masih bingung dengan, Bu Amara yang memaksa Larisa agar merubah penampilannya, memangnya seburuk  apa, penampilannya?" tanya Tyas penasaran.     

      

Dan Lusi pun mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya, lalu menunjukkan foto Larisa saat memegang piala ketika menang Olimpiade.     

"Ini penampilan Larisa sebelum berubah seperti sekarang," tukas Lusi sambil menunjukkan foto itu di hadapan Tyas.     

      

"Bahkan pose dan ekspresi wajahnya sangat mirip dengannya, pantas Amara membenci Larisa, apa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan menghilangnya La—"     

      

"Bu Tyas bicara apa?"     

      

"Ah tidak, Bu Lusi, bisa lanjut cerita lagi?"     

      

"Saya sendiri juga heran kenapa, Bu Amara sangat membenci Larisa. Dan bahkan berkali-kali Larisa, kerasukan di sekolah ini dan terus menyerang Bu Amara. Sepertinya Larisa kerasukan sosok yang sangat membenci beliau,"     

      

"Oh, jadi begitu ya," tukas Tyas.     

'Dari sini aku benar-benar yakin jika tersangka pembunuhnya adalah Amara, tapi kenapa dia masih juga tampak belum tenang? apa jangan-jangan pelakunya lebih dari satu orang yang artinya orang-orang itu, bisa jadi teman-teman gengnya Amara dulu juga turut terlibat?' batin Tyas.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.