Bullying And Bloody Letters

Ketidak Adilan Di Sepanjang Hidupnya



Ketidak Adilan Di Sepanjang Hidupnya

0Mendengar orang yang memanggil itu bulanlah Larasati, akhirnya Larisa membuka matanya secara perlahan-lahan.     

      

"Larisa, kamu kenapa?"     

      

"Eh, Bu Tyas," tukas Larisa yang kaget.     

Dan Tyas pun tersenyum melihat ekspresi Larisa.     

      

"Kamu kenapa, kok merem-merem begitu?" tanya Tyas.     

      

"Ah, tidak hehe," Larisa pun menggaruk-garuk kepalanya karna merasa bingung harus menjawab apa.     

      

"Larisa, bisa ke ruangan Ibu sekarang ya," ajak Tyas.     

      

"Em ... saya?" Larisa menunjuk dirinya sendiri.     

      

"Iya, siapa lagi. Ayo!" Tyas menggandeng tangan Larisa, "ada sesuatu yang ingin saya bicarakan," pungkasnya.     

      

'Bu Tyas ingin bicara apa kepadaku, apa tentang Larasati, atau tentang Brian yang kemarin sempat ku cekik lehernya?' batin Larisa bertanya-tanya.     

      

"Ayo, sudah jangan melamun!" tukas Tyas sambil menarik tangan Larisa.     

      

Dan setelah sampai di ruangan Tyas, Larisa merasa deg-degan, dan takut akan mendapat maslah seperti yang sudah-sudah ketika di panggil oleh Bu Amara.     

Dan saat dia duduk manis dengan wajah menunduk, tiba-tiba netranya sedikit melirik kearah ujung meja Tyas. Dia melihat ada foto Tyas yang menggunakan pakaian seragam sekolah Superior High School.     

Dan Larisa pun langsung melihatnya dengan seksama, terutama gadis yang sedang berfoto bersama di samping Tyas.     

Karna gadis itu adalah Larasati. Sangat terlihat jelas betapa akrab dan dekatnya Larasati dengan Tyas dulu.     

      

"Larisa kenapa?" tanya Tyas.     

      

"Ah, Tidak." Jawab Singkat Larisa.     

      

"Sebenarnya, saya memanggilmu kemari karna saya ingin lebih mengenalmu. Karna kamu adalah salah satu kebanggaan dari Superior High School.' Tutur Tyas.     

      

"Kebanggaan?"     

      

"Iya,"     

      

"Tapi, Bu Tyas. Sepertinya Ibu itu terlalu berlebihan. Karna sejujurnya saya ini hanya gadis miskin yang kebetulan beruntung mendapat Beasiswa dan bisa bersekolah di sekolah elite seperti ini," tukas Larisa.     

      

"Loh, kamu jangan merasa rendah diri begitu dong, kamu itu siswi berprestasi di sini. Kamu pemenang Olimpiade secara terus-menerus, dan semua siswi lain tidak bisa melakukan itu,"     

      

"Wah, terima kasih, Bu Tyas. Baru sekali ini saya di puji oleh kepala sekolah langsung," tukas Larisa.     

      

"Hah, saya orang satu-satunya? memangnya kepala sekolah yang dulu-dulu bagaimana?"     

      

Dan dengan berat hati Larisa menceritakan segala keluh kesahnya, selama berada di sekolah ini.     

"Sebagaimana pun hebat saya di bidang akademik, tapi saya tetaplah orang miskin yang hanya berbekal keberuntungan berada di sini. Lain halnya dengan mereka yang dari kalangan keluarga kaya raya yang mampu memberi sumbangan dan juga membayar biaya sekolah dengan uang mereka. Jadi pihak sekolah akan menganggap mereka lebih mulia di banding saya ini, yang hanya bermodal keberuntungan saja," tutur Larisa.     

      

Tyas pun merasa miris mendengar pengakuan Larisa, dia kembali teringat dengan sahabatnya Larasati. Karna nasibnya yang hampir sama.     

"Larisa, tapi bagi saya kamu itu, siswi yang paling berharga di banding yang lainnya. Mereka memang bisa membayar uang sekolah dan bisa memberi banyak dana sumbangan untuk selolah ini. Tapi kamu menyumbangkan banyak piala untuk sekolah ini. Bahkan sampai saat ini belum ada dari sekolah lain yang bisa mengalahkanmu sebagai juara Olimpiade tetap setiap tahunnya." Tutur Tyas, yang memberi semangat kepada Larisa.     

      

Larisa pun merasa bahagia, karna bisa bertemu Tyas, dan sekarang malah menjadi kepala sekolahnya. Baru kali ini juga dia merasa berharga menjadi bagian Superior High School.     

Karna sebelumnya dia hannyalah seorang anak beasiswa yang dianggap pecundang karna miskin.     

Yah, Larisa sudah bosan dengan perlakuan itu, bahkan saking bosannya dia sampai tak peduli lagi, dan sudah mengabaikan rasa sakit dalam hatinya. Karna yang terpenting baginya, dia bisa bertahan di sekolah itu selama 3 tahun dan dia lulus dengan nilai baik.     

      

Mendengar ucapan Tyas yang begitu menyemangatinya ini. Membuat Larisa merasa terharu, sambil menunduk dia tersenyum.     

"Bu Tyas, terima kasih atas pujiannya yang sangat berharga ini. Saya sangat merasa senang, dan merasa peran saya dalam sekolah ini itu di anggap ada."     

      

"Larisa, kamu tidak perlu segitunya karna—"     

      

"Bu Tyas, adalah orang yang sangat baik hati. Pantas saja Larasati sangat mengistimewakan, Bu Tyas,"     

Mendengar ucapan Larisa yang menyebut tentang Larasati, membuat Tyas merasa kaget.     

      

"Larasati?" Tyas mendekatkan wajahnya kearah Larisa, "kamu kenal Larasati?" tanya Tyas.     

      

Dan Larisa pun mengangguk sambil sesaat memandang foto Larasati dan Tyas.     

"Bagaimana bisa kamu mengenal dia? dan dari mana kamu tahu jika aku dan Larasati sangat dekat? apa karna foto itu?" Tyas menunjuk kearah foto mereka berdua.     

      

"Bukan, Bu Tyas. Tapi ada sesuatu yang membuat saya kenal dengan Larasati secara terpaksa," tukas Larisa.     

      

"Apa?!" Tyas tampak syok bercampur bingung, "tapi Larasati itu sudah menghilang cukup lama, bahkan sejak kami masih duduk di bangku kelas 10, semester akhir," tutur Tyas.     

      

"Iya, saya tahu. Bahkan saya tahu segalanya tentang Larasati. Karna dia adalah seorang siswi yang tertindas seperti saya, culun, kampungan, miskin dan tidak pandai bergaul. Hanya beberapa orang saja yang mau mengenalnya dan mau berteman baik dengannya, yaitu Bu Tyas dan lelaki yang bernama Wijaya," tutur Larisa.     

      

"Hah?! kamu juga kenal dengan Wijaya?!"     

      

"Tentu saja, dia adalah pria yang sangat di cintai oleh Larasati."     

      

"Da-dari mana kamu tahu, karna Larasati tak pernah bercerita soal itu kepadaku, mungkin karna dia malu. Tapi bagaimana bisa kamu tahu segalanya?"     

      

Lalu Larisa mengeluarkan sebuah buku diary usang dari dalam tasnya. Dan dia memperlihatkan buku diary milik Larasati itu kepada Tyas.     

Tyas tampak sangat terkejut, dan dengan penuh antusias dia membaca, lembar demi lembar buku itu.     

Hingga tak sadar air matanya menetes deras bak tetesan hujan yang semakin lebat.     

Selama ini penderitaan Larasati hanya sebagian saja yang dia ketahui. Bahkan dia tidak tahu jika Larasati pernah hamil karna Anton, hingga pada akhirnya keguguran karna ulah Amara dan juga Seruni.     

      

Dan lewat diary itu dia mengetahui jika menghilangnya Larasati itu, karna ada seseorang yang berasal dari sekolah ini, yang menjadi sengaja melakukannya karna tujuan tertentu.     

Dulu dia hanya mengetahui jika Larasati menghilang saja, bukannya meninggal. Dan setelah mendengar seluruh cerita dari Larisa tentang keberadaan Larasati yang terus mengikuti dan menebar teror bagi orang-orang yang menindasnya.     

Dia baru sadar, jika selama ini Larasati itu sudah mati, namun entah dimana mereka menyembunyikan mayatnya.     

      

Larasati adalah orang yang sepanjang hidupnya berada dalam posisi ketidak adilan, sehingga dia ingin membalaskan ketidak adilan itu kepada orang-orang yang berbuat jahat kepadanya atau orang-orang yang telah berbuat jahat kepada orang yang bernasib sama sepertinya.     

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.