Bullying And Bloody Letters

Tyas Dan Tujuannya



Tyas Dan Tujuannya

0Tyas, merasa geram dan bersedih atas semua ini. Dia sangat menyesal karna selama ini tak banyak tahu tentang apa saja yang dirasakan oleh sahabat baiknya itu.     

      

Dia teringat betul senyuman Larasati, yang dulu selalu terpancar ketika bersamanya. Sama sekali dia tak pernah menunjukkan segala kesedihannya.     

Tyas pun teringat ketika Larasati sering sakit dan merasa tidak enak badan setiap hari, waktu itu dia tidak tahu jika Larasati sedang mengandung anaknya Anton. Seorang pria yang tidak tahu diri dan pergi meninggalkan Larasati begitu saja, setelah menodainya.     

      

      

"Jika saja si Bajingan Anton itu ada di sini, sudah pasti aku akan melumat seluruh tubuhnya. Karna Bajingan sepertinya tidak pantas hidup di dunia," ucap Tyas yang kesal.     

      

"Maafkan saya, Bu Tyas. Karna saya sudah membuat Bu Tyas menjadi bersedih," tukas Larisa.     

      

"Ah, tidak apa-apa, Larisa. Justru saya sangat berterima kasih atas semua ini. Kamu memberitahu segalanya, walau kini sudah terlambat. Tapi setidaknya saya bisa mengetahui apa saja yang sudah terjadi dengan sahabat baik saya,"     

      

Lalu Larisa pun kembali menunduk, dan Tyas menyuruhnya untuk kembali ke kelasnya.     

"Yasudah, sekarang kamu kembali ke kelasmu ya. Dan terima kasih sudah memberitahu segalanya," ucap Tyas.     

      

"Baik, Bu."     

      

"Eh, tunggu!"     

      

"Iya, ada lagi yang ingin Ibu bicarakan?"     

      

"Mulai dari sekarang, kalau ada orang yang membully mu maka bicara kepada saya. Biar saya yang akan memprosesnya. Saya tidak peduli dia dari  golongan keluarga konglomerat sekalipun, karna semua harus mendapat keadilan!" tegas Tyas.     

      

Dan Larisa pun langsung tersenyum, hingga tak sadar dia memeluk Tyas.     

"Terima kasih banyak, Bu Tyas. Saya sangat bahagia, ada seseorang yang sangat baik hati seperti Bu Tyas di sekolah ini,"     

Tyas pun hanya tersenyum menatapnya.     

Lalu Larisa pun pergi meninggalkan Tyas.     

      

Saat Larisa pergi, Tyas pun merasa sangat bersedih sekali, dia tak habis fikir hal seburuk itu sudah terjadi kepada sahabatnya.     

Sambil menetaskan air matanya, Tyas memegangi foto Larasati yang tengah bersamanya.     

Sambil mengelus-elus foto itu, Tyas berkata, "Aku sangat merindukanmu, maaf beribu maaf karna aku tidak banyak tahu tentangmu. Bahkan kalau bukan karna dirimu dulu, aku tidak akan menjadi seperti sekarang.     

Bayangan Tyas langsung tertuju kepada masa dimana dia bersama dengan Larasati.     

Kala itu dia duduk di bangku taman berdua saja. Sambil mengerjakan tugas sekolah mereka bercerita tentang cita-cita mereka.     

"Lara, apa yang memotivasimu sekolah di sini?" tanya Tyas yang hanya sekedar iseng-iseng saja.     

      

"Em ... banyak, salah satunya adalah, suatu saat nanti aku ingin menjadi orang sukses setelah keluar dari sekolah ini. Aku ingin bekerja keras hingga aku menjadi orang kaya, dan aku kan mengumpulkan banyak uang jika aku sudah mendapat pekerjaan yang bagus. Lalu setelah uang ku terkumpul aku ingin membangun sekolah khusus untuk orang yang tidak mampu seperti ku. Dan di sana aku ingin menjadi pemilik yayasan yang sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah. Biar aku bisa memantau anak didikku secara langsung. Aku ingin memastikan mereka benar-benar mendapat pendidikan yang layak, tanpa harus membayar, dan tanpa harus mendapat beasiswa. Aku ingin mereka sekolah dengan bahagia, dan saling menghargai. Aku ingin mereka memilik posisi yang sama rata tanpa harus memandang kasta." Tutur Larasati sambil tersenyum dan wajahnya sedikit mendongak ke atas karna sedang berandai-andai.     

      

"Kya! Lara, kamu itu keren, cita-citamu juga keren!" puji Tyas.     

      

"Ah, itu kan hanya sekedar cita-cita bolehkan menggantungkan cita-cita kita setinggi mungkin." Jelas Larasati.     

      

"Iya, ya."     

      

"Terus cita-cita kamu apa, Tyas?"     

      

"Em ... apa ya?" Tyas tampak bingung, "entalah, aku tidak memilik cita-cita sepertinya, karna sekolah di sini saja berkat paksaan Ayahku" jawab Tyas.     

      

"Apa?!" Larasati tampak syok, "Tyas, kamu itu cantik, pintar, kaya dan punya segalanya, masa  iya kamu tidak memilik cita-cita sama sekali?" tukas  Larasati.     

      

Akhirnya di mulai dari situ, Tyas mulai berpikir keras tentang apa tujuan hidupnya kelak. Hingga semester terakhir saat kenaikan kelas, tiba-tiba Larisa menghilang, dan saat itu Tyas dan juga Wijaya mulai bingung mencari keberadaan Larasati.     

Hingga dua tahun berlalu, bahkan sampai hari kelulusan mereka tiba, Larasati tidak di temukan juga.     

Akhirnya mereka semua pasrah karna segala usaha yang dilakukan, dan semuanya tidak membuahkan hasil.     

Meski sudah pasrah, sejujurnya Tyas masih merasa kecewa dengan pihak sekolah terutama kepala sekolah mereka yang kala itu menjabat.     

Karna beliau tidak begitu merespons dan seolah-olah berusaha untuk segera menutup kasus hilangnya Larasati, karna dianggap hanya menjatuhkan reputasi sekolah saja.     

Apa lagi Larasati hanya anak beasiswa yang miskin dan tak bisa memberi sumbangan materi untuk sekolah itu.     

      

Tapi Tyas dan Wijaya hannyalah seorang siswa SMU yang tak bisa berbuat banyak, mereka hanya bisa memendam segala kekecewaan itu.     

Setelah hari kelulusan itu orang tua Tyas sempat jatuh bangkrut, Tyas yang biasa hidup mewah dan serba ada itu pun mulai merasa putus asa.     

Dia hampir saja tidak akan melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.     

Tapi pada suatu ketika Tyas teringat dengan kata-kata Larasati, bahwa dia harus menggantungkan cita-citanya setinggi mungkin.     

Dan kata-kata motivasi dari Larasati pun perlahan-lahan menjadi semangatnya.     

Sosok Larasati yang tak pantang menyerah walau ditindas dan terys berusaha mewujudkan segala mimpinya, membuat Tyas turut bersemangat menjalani hidupnya.     

Dengan bersusah payah dia belajar sambil bekerja paruh waktu. Agar bisa meraih beasiswa dan kuliah di perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Dan dia pun berhasil meraih semua itu.     

Hingga dari situ Tyas dan keluarga terus bangkit, secara perlahan-lahan bisnis keluarganya juga mulai membaik.     

Dan seiring berjalannya waktu kehidupan Tyas kembali seperti semula.     

Dan itu semua berkat Larasati, kalau dulu dia tidak mengenal Larasati, mungkin kehidupannya tidak akan kembali baik. Mungkin dia akan putus sekolah dan tidak akan mendapat pekerjaan yang bagus.     

Dan mungkin kalau bukan Larasati juga dia tidak akan menjadi kepala sekolah di tempat ini.     

Dia menjadi kepala sekolah di Superior High School karna dia ingin merubah pola pikir seluruh penghuninya yang hanya mengandalkan uang dan juga kekuasaan tanpa peduli segala ketidak adilan.     

Dia tidak ingin ada orang-orang seperti Larasati lagi, oleh karna itu ketika ada kesempatan menggantikan Amara yang tewas. Tyas pun tidak menyia-nyiakannya. Akhirnya berbekal pendidikan serta pengalaman dan segala kelebihan yang dia miliki, Tyas berhasil menjadi kepala sekolah di sini.     

      

"Aku ingin, menemukanmu, Larasati. Kamu ada di mana?" tukas Tyas dengan wajah yang sembab.     

Dia pun berjalan menuju ruang perpustakaan yang dulu menjadi tempat favorit Larasati di kala masih hidup dan menjadi sahabat karibnya.     

      

      

      

To be continued     

      

      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.