Bullying And Bloody Letters

Tidak Tahu Terima Kasih



Tidak Tahu Terima Kasih

0Bukanya mendengar ocehan sang Ibu yang sedang mengoceh karna kecewa kepadanya, Nana malah membentak Ibunya dengan kasar lalu mendorong kursi rodanya sendirian.     

Dia tak memedulikan hati sang Ibu yang sakit karna ucapannya.     

Dia malah mengurung dirinya di dalam kamar. Dia masih menyesali karna darah Larisa mengalir dalam tubuhnya.     

      

Dia sangat membenci Larisa, rasanya dia tak terima berutang budi kepada Larisa.     

"Siapa suruh menyelamatkanku? harusnya kalian biarkan aku mati saja, toh memang itu yang aku ingin kan!" gerutu Nana.     

      

Lalu dia melihat ada sebilah pisau menancap di sekeranjang buah apel yang di taruh di meja kamarnya.     

"Kamu pikir dengan darahmu berada di dalam tubuh ku, lalu aku akan berterima kasih kepadamu?" Nana menggelengkan kepalanya, "tidak! sama sekali tidak!"     

      

Nana meraih pisau itu dan hendak mencoba bunuh diri lagi.     

Dia mengangkat tinggi pisaunya dan sudah bersiap untuk menghunjamkan ke atas perutnya.     

Namun saat itu dia teringat, tentang bagaimana dulu dia dan Audrey sering memanfaatkan Larisa.     

"Yah, dia itu kan memang sering ku manfaatkan, jadi untuk apa aku merasa berhutang budi. Dan bahkan sampai ingin bunuh diri begini?" Nana menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, "aku hampir saja menjadi orang bodoh karna si Culun itu,"     

      

Nana kembali meletakkan pisaunya lalu dia berjalan ke kasur dan meninggalkan kursi rodanya. Karna memang kursi roda itu hanya membantunya yang takut masih merasa lemas saat berjalan. Sebenarnya dia itu sudah tidak memerlukannya lagi. Karna kondisinya sudah memulih.     

      

      

Esok harinya, Nana sudah kembali masuk ke sekolah seperti biasa. Dan dia diantarkan oleh sang Ibu.     

"Hati-hati, di sekolah ya, Nak!" pesan sang Ibu.     

      

Lalu Nana pun menjawab dengan ketus, "Ya!"     

Lalu dia pun memasuki gerbang, dan sebelum sang Ibu pergi beliau berpapasan dengan Larisa.     

      

"Eh, Larisa," sapa Ibunya Nana.     

      

"Eh, selamat pagi, Tante." Jawab Larisa.     

      

"Sendirian saja? dimana temanmu Alex?"     

      

"Oh, Alex sedang ada urusan sebentar, jadi saya berangkat sendirian,"     

      

"Oww begitu ya, yasudah saya pamit dulu ya, Nak Larisa,"     

      

"Ah iya, Tante!" jawab Larisa sambil melambaikan tangannya.     

      

Lalu sebelum Ibunya Nana pergi beliau seperti teringat dengan sesuatu dan ingin mengatakannya kepada Larisa     

Lalu dia menghentikan sopirnya lalu turun dari mobil.     

"Nak Larisa, tunggu!"  teriaknya.     

      

"Iya!" Larisa menengok kearahnya, "ada apa, Bu."     

      

Perlahan Ibunya Nana memegang pundak Larisa, "Saya mohon, Nak Larisa mau ya, menjadi temannya Nana," tukasnya.     

      

Namun Larisa hanya terdiam, dia tak bisa berkata apa pun. Karna dia sendiri tak berani mendekati Nana.     

Dan Ibunya Nana berkata lagi, "Dia bilang seluruh teman-temannya membencinya. Tapi Tante lihat kamu tidak, sepertinya kamu tulus dengan segala perlakuanmu kepadanya. Jadi Tante mohon dekati dia dan jadilah temannya ya, Nak," pintanya.     

      

Larisa pun merasa bingung untuk menjawabnya, di satu sisi dia merasa kasihan kepada ibunya Nana, tapi di sisi lain dia juga tidak mau berurusan dengan Nana. Nana yang kasar itu sudah pasti tidak akan mau menjadi temannya, yang ada nanti malah Larisa yang di bentak, di hina atau bahkan di sakiti seperti sebelumnya, saat dia masih bersama Audrey dan Sisi. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Larisa.     

Tapi berhubung dia tidak enak dan tidak mau melihat ibunya Nana kecewa  akhirnya dia mengiyakannya dengan terpaksa. Padahal dia sendiri tidak yakin akan bisa berteman dengan Nana.     

      

Perlahan Larisa menganggukkan kepalanya dan berkata, "Iya, Tante."     

      

"Terima kasih ya," tukas Ibunya Nana sambil mengelus sesaat pundak Nana.     

Dan tepat saat itu juga Nana yang berada  di atas lantai dua gedung sekolahan,  melihat dengan wajah kesal atas kedekatan sang Ibu dengan Larisa.     

      

"Dasar Culun, ngapain sih dia dekat-dekat dengan Ibu ku!" gerutunya dengan wajah kesal.     

      

Dan dengan melipat kedua tangannya dia melenggang dan berdiri tepat di depan pintu. Lalu bersiap untuk melabrak Larisa.     

'Aku sudah tidak peduli dengan Hantu Busuk itu, toh hari ini aku baik-baik saja, dan aku tidak mau terus-terusan menjadi pecundang,' batin Nana.     

      

Lalu setelah Larisa sampai tepat di depan pintu kelas Nana menjegalnya, hingga Larisa pun terjatuh.     

Bruk!     

      

"Akh!" Larisa pun terduduk diatas lantai sambil memegangi kakinya yang terkilir.     

"Enak?!" tanya Nana dengan nada meledek.     

Dan seluruh isi kelas melihat kearah mereka berdua.     

      

"Wah, tinggal sendirian kok, masih berani ya menindas orang,"     

      

"Hah, berani ya dia!"     

      

"Memang Nana, itu tidak tahu diri!"     

Ujar para teman-teman sekelasnya  yang menyaksikan langsung saat Nana menjejal Larisa.     

Meski pun begitu, tak satu pun dari mereka yang mau menolong Larisa bangun karna terjatuh. Seluruh isi sekolah itu orangnya memang acuh tak acuh. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri dan tak peduli dengan orang lain.     

Mereka lebih tertarik dengan gosip dan juga hal-hal yang menurut mereka keren di banding menolong atau sok peduli dengan orang.     

Dan sikap-sikap individual itu sudah turun-temurun  sejak dulu. Mungkin karna mereka terlahir dari keluarga kaum-kaum elite dan kaya raya. Sehingga mereka sudah merasa bisa segalanya sendiri. Tidak peduli dengan orang lain, apa lagi yang menurut mereka tidak penting dan tidak menguntungkan.     

      

Dan tak lama kemudian datanglah Alex.     

"Loh, Larisa kenapa?" tanya Alex.     

Dan Larisa pun terdiam sambil melihat kearah Nana yang masih berdiri dan petentang-petenteng seperti preman.     

      

"Pasti kamu ya!?" ucap Alex sambil menunjuk kearah Nana, "kamu itu benar-benar gak tahu diri ya! kalau bukan karna Larisa kamu itu sudah mati kehabisan darah!" teriak Alex kepada Nana.     

      

"Tapi aku tidak minta tuh, toh memang aku ingin mati, siapa suruh menolongku sampai memberikan darah segala, kamu pikir aku bahagia?" Nana tersenyum tipis melirik Larisa dan Alex, dan setelah itu dia berbisik ke telinga Alex, "sama sekali tidak," ucapnya.     

      

Alex pun merasa geram, dia hendak menampar Nana, tapi Larisa menghentikannya.     

"Stop, Alex!" teriak Larisa, "sudah biarkan saja," tukas Larisa, sambil berdiri dan berjalan sedikit pincang karna kaki yang terkilir.     

      

"Larisa, kamu tidak apa-apa?" tanya Alex sambil menghampiri Larisa.     

Dan Larisa menggelengkan kepalanya, "tidak, aku tidak apa-apa,"     

      

"Tapi, kamu kelihatan agak pincang?" tanya Alex.     

      

"Hanya sedikit terkilir saja, nanti di bawa ke tukang urut juga sembuh," jawab Larisa.     

      

Dan Nana pun menggelengkan kepalanya sambil tertawa selengean meledek, "tukang urut?" Nana menatap sinis, "dasar kampungan" tukasnya.     

      

Alex merangkul Larisa dan mengantarnya ke tempat duduknya.     

Dan saat itu teman yang duduk di belakang bangku Larisa berkata, "Larisa, kamu serius mendonorkan darah ke dia?" tanya siswi itu dengan wajah tak percaya dan seolah menghina.     

      

Namun Larisa terdiam dan tak menjawabnya.     

Dan teman yang duduk di sampingnya lagi berkata, "Gila, kamu itu lugu apa bodoh? mau-maunya membantu Iblis sepertinya, harusnya biarkan saja dia mati," pungkasnya.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.