Bullying And Bloody Letters

Pendonor Darah



Pendonor Darah

0"Kalau bukan Larisa anak Anda sudah mati!" tukas Alex.     

      

Dan setelah mendengar itu Ayah Tiri Nana langsung terdiam.     

Dan tak lama kemudian datanglah seorang dokter yang sedang menangani Nana, Dokter itu memberitahu kepada kedua orang tua Nana, bahwa Nana harus segera mendapatkan pendonor darah, karna Nana baru saja kehilangan banyak darah. Jika mereka tidak segera mendapatkannya maka kondisi Nana akan menjadi semakin memburuk.     

      

"Kalau begitu, biar saya saja yang mendonorkan darah untuk Nana, Dok," ujar sang Ibu.     

"Baik kalau begitu mari kita langsung periksa cocok atau tidaknya darah Ibu. Maaf kalau boleh saya tahu apa golongan darah Ibu?" tanya si Dokter.     

      

"Golongan darah saya, A, Dok!" jawab sang Ibu.     

      

"Aduh maaf, Ibu tidak bisa mendonorkan darah kepada putri Ibu. Karna Nn. Nana memiliki golongan darah B." Jawab sang Dokter.     

      

"Aduh, saya tidak tahu jika Nana memiliki golongan darah yang sama dengan Almarhum Ayahnya. Bagaimana ini, Mas. Darah kita tidak cocok!" tukas ibunya Nana sambil memeluk suaminya.     

      

"Apa tidak ada stok darah yang sama dengan Nana, Dok?" tanya Ayah Tiri Nana.     

      

"Maaf, tidak ada, Pak, Bu. Stok darah dengan golongan B sedang kosong," kata Dokter itu.     

      

"Bagaimana ini?" sang Ibu semakin panik.     

      

"Sebentar, saya akan menyuruh anak buah saya untuk mencarikan pendonor untuk Nana," ucap Ayah Tiri Nana sambil meraih ponselnya.     

      

Tapi Larisa melarangnya, "Jangan! tidak usah cari jauh-jauh, kebetulan darah saya, B." Ucap Larisa.     

      

Kedua orang tua Nana langsung menengok kearahnya.     

Mereka seolah mendapat setitik harapan dari Larisa untuk kesembuhan Nana.     

Tapi Alex melarangnya, "Larisa kamu itu apa-apaan sih,  kamu itu terlalu baik. Sayang darah mu jika harus di berikan untuk orang-orang sombong seperti mereka!" ujar Alex memarahi Larisa.     

      

"Tapi Lex,"     

      

"Sudah ayo kita pulang tugas kita sudah sampai di sini saja. Mereka itu orang kaya raya, jadi tidak butuh jasa kita!" tukas Alex.     

      

Dan Alex menarik tangan Larisa untuk pergi, Larisa menatap kearah kedua orang tua Nana dengan Nanar. Dan kedua orang tua Nana menatap Larisa dengan Nanar pula.     

Sebenarnya mereka ingin memohon kepada Larisa, tapi karna rasa gengsi itu membuat sang Ayah enggan melakukannya.     

      

"Pak, harus secepatnya dapat, kalau sampai terlambat, Nana tidak akan bisa di tolong," tukas Dokter itu lagi.     

      

Ibunya Nana pun langsung berlari mengejar Larisa dan Alex.     

      

"Tolong, Nak!" teriak ibu Nana sambil menarik tangan Nana.     

Nana dan Alex pun berhenti, dan Alex langsung mengoceh ibunya Nana.     

      

"Tadi Anda dan suami Anda, menuduh Larisa yang tidak-tidak! padahal Larisa sudah bersusah payah membawa Nana ke rumah sakit di saat teman-temannya mengabaikannya," tutur Alex.     

      

"Tolong, maaf kan saya, Nak. Saya mohon tolong bantu Nana," tukas Ibu Nana memohon.     

Dan bahkan dia pun sampai berlutut di hadapan Larisa, berharap rasa iba dari Larisa demi kesembuhan sang Putri.     

      

Lalu suaminya datang dan menariknya agar istrinya bangun dari sujudnya.     

"Kamu itu apa-apaan, orang terhormat seperti kita itu tidak pantas bersujud," kata suaminya.     

      

"Aku tidak peduli, yang penting putriku bisa selamat. Mas, juga salah! Mas yang memaksa Nana tetap sekolah di tempat itu. Padahal Nana sudah bilang tidak ingin berada di sekolah itu. Dan sekarang putriku hampir mati, kamu masih saja memikirkan gengsi, Mas?!"     

Seketika Ayah Tiri Nana langsung terdiam mendengar perkataan istrinya.     

Karna dia juga mulai merasa bersalah atas apa yang terjadi kepada Nana.     

Akhirnya dengan melupakan segala gengsinya, dia memohon kepada Larisa dan Alex agar membantu Nana.     

      

"Tolong, Dik. Bantu Nana. Nana adalah satu-satunya harapan kami, jadi tolong selamatkan putri kami, kami minta maaf atas segala kesombongan kami,"  ucap si Ayah Tiri Nana.     

      

Akhirnya Larisa pun mau mendonorkan darahnya, karna sejak awal dia memang sudah ingin membantu Nana.     

Tapi karna Alex yang melarangnya jadi dia  hampir mengurungkan niatnya.     

Dan sekarang Alex pun mengizinkannya juga, akhirnya Larisa dengan yakin mendonorkan darahnya untuk Nana.     

      

Setelah itu mereka pulang, dan ibunya Nana, tak henti-hentinya berterima kasih kepada Larisa.     

Karna berkat Larisa Nana kini bisa lewat dari masa kritisnya.     

      

***     

      

      

Beberapa hari kemudian, Nana pun sudah mulai pulih, dan dia pulang ke rumahnya dengan keadaan tubuh yang masih lemas dan wajah pucatnya.     

      

"Akhirnya, kamu pulang juga, Nak. Ibu sangat bahagia. Hampir saja Ibu putus asa karna takut kehilangan dirimu," ujar sang Ibu sambil mendorong kursi roda  hendak masuk kedalam rumahnya.     

      

"Untuk apa kalian menyelamatkanku, harusnya kalian biarkan aku mati saja." Ketus Nana kepada ibunya.     

      

"Nana, kenapa kamu bicara begitu?"     

      

"Bu, aku sudah bilang ingin keluar dari sekolah itu, tapi Ibu dan Ayah terus melarangku!"     

      

"Apa, alasannya, Nak? kenapa kamu bersikeras untuk  pindah sekolah,  bahkan sampai ingin bunuh diri segala?!" tanya sang Ibu.     

      

"Karna aku tidak punya teman di sana, Bu. Semua orang membenciku!" teriak Nana sambil menangis.     

      

"Tapi—"     

      

"Tapi karna gengsi kalian? sehingga kalian rela membiarkan ku di sekolah yang seperti neraka itu?"     

      

"Bukan, Nak. Tapi apa yang kamu bilang itu salah. Karna sebenarnya kamu itu punya teman baik," ucap sang Ibu.     

      

"Teman baik? mungkin maksud Ibu Audrey dan Sisi ya?"     

      

"Bukan tapi—"     

      

"Bu, mereka itu sudah pergi, Audrey keluar negeri dan Sisi di rumah sakit jiwa. Dan sekarang aku sendiri, padahal hanya mereka teman dekatku, tapi mereka malah pergi!"     

      

"Bukan mereka yang Ibu maksud, tapi Larisa!"     

      

"Apa, Larisa?!" Nana seketika langsung kaget saat sang Ibu menyebut nama Larisa.     

      

"Iya, Larisa!"     

      

"Larisa!?" Nana langsung tertawa selengean sambil menghina, "justru karna si Culun itu hidupku menjadi menderita, Bu!"     

      

"Nana, tidak boleh begitu, Larisa itu anak yang baik hati, bahkan kalau bukan karna dia mungkin kamu sudah tidak ada, Nak."     

      

"Apa maksud Ibu?"     

      

"Dia yang sudah membawamu ke rumah sakit dan juga yang sudah mendonorkan darah untuk mu." Tutur sang Ibu menjelaskan.     

Mendengar hal itu Nana langsung murka, dia tak terima karna Larisa sudah menolongnya. Apa lagi sampai mendonorkan darah kepadanya.     

      

"Apa kata Ibu! kenapa Ibu membiarkan si Culun itu memberikan darahnya untukku?!"     

      

"Ibu yang memintanya, Nak. Karna Ibu tidak ada pilihan lagi!"     

      

"Ibu ... kenapa bodoh sekali! aku tidak sudi ada darah si Culun itu di tubuhku!"     

      

Plak!     

Tangan sang Ibu pun langsung mendarat di wajah Nana.     

"Kamu itu sudah kelewatan, selain tidak punya rasa terima kasih, kamu juga tidak sopan kepada Ibumu sendiri!"     

      

Seketika Nana terdiam, saat melihat ibunya sangat marah kepadanya.     

"Kamu tahu tidak, segalanya sudah Ibu lakukan untukmu, supaya kamu bisa tumbuh dewasa punya segalanya bahkan nyawa pun rela Ibu berikan asal kamu bahagia. Tapi balasan mu apa, Nak? kamu tidak pernah menghargai Ibumu!"     

      

Dan melihat Ibunya yang memarahinya, kini Nana malah semakin meradang, dia kembali membentak sang Ibu.     

      

"Itu sudah menjadi tugas Ibu! jadi Ibu tidak perlu mengeluh, kalau Ibu merasa menyesal melakukan semua itu harusnya Ibu tidak usah melahirkanku!"     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.