Bullying And Bloody Letters

Nana Yang Bunuh Diri



Nana Yang Bunuh Diri

0"Kamu mencurinya ya?" tukas Nana.     

      

"Ti-tidak, aju menemukannya di kantin, kalau kamu tidak percaya, kamu boleh cek isinya,"  kata Larisa.     

      

Dengan wajah sewot seolah tak percaya, Nana langsung membuka isi dompetnya.     

Dan benar saja isinya masih utuh tak ada yang hilang sama sekali.     

      

Setelah itu tanpa rasa terima kasih Nana memasukkan kembali dompet itu kedalam tasnya.     

Lalu dia duduk kembali dengan kasar, sementara Larisa hanya menunduk tanpa sepatah kata lalu duduk kembali di bangkunya.     

      

Dan ada siswi yang duduk tepat di belakang Nana berkata, "Duh, sudah tidak punya teman tapi sombong ya, dan tidak punya rasa terima kasih tentunya." Ucap Siswi itu.     

      

Lalu ucapan siswi itu di sambung oleh siswi yang duduk di depan Nana, "Iya, masih syukur si Cupu Larisa masih mau mendekatinya, dengan baik hati mau mengembalikan dompetnya, tapi lihat ekspresinya?"     

      

"Hei, si Larisa itu tidak cupu lagi, lihat penampilannya, dia sekarang sangat cantik. Dan yang jelas sifatnya jauh lebih baik dari  Cewek Iblis ini,"     

      

Dan mendengar siswi yang duduk di belakang dan di depannya sedang membicarakan dan menghinanya, Nana merasa sangat geram dan dia pun dengan kasar meraih tasnya lalu dia pergi meninggalkan kelasnya.     

      

      

"Huuuu ...!" teriak seluruh isi kelas.     

Larisa pun merasa tidak enak dan kasihan kepada Nana, dia hendak mengejarnya, tapi Alex menahannya dengan memegang tangan Larisa sambil menggelengkan kepalanya.     

"Jangan!" kata Alex.     

      

"Tapi,"  tukas Larisa.     

      

"Jangan Larisa,"     

      

***     

      

Sementara itu Nana, menangis di dalam toilet sendirian. Dia merasa kesal, bersedih dan rasanya ingin mati saja.     

Dia sudah tidak mau sekolah di sini, tapi orang tuannya masih tetap memaksa untuk tetap di sini.     

Terutama sang Ayah Tiri, Beliau  lah yang selalu memaksanya untuk tetap di sekolah ini. Semua demi gengsi. Ayah tirinya memang sudah menganggapnya anak kandung. Karna beliau adalah seorang lelaki yang sudah di diagnosa tidak bisa memiliki keturunan. Jadi dia menganggap Nana adalah segalanya. Dia menginvestasikan semuanya kepada Nana, segala harta warisan kelak akan jatuh kepada Nana si Anak tirinya, karna dia tidak memiliki keturunan lain. Oleh karena itu semua kehidupan Nana dialah yang mengatur.     

Termasuk pendidikan Nana, semua harus sesuai keinginannya. Karna kalau tidak ayah tirinya akan marah besar kepada Nana.     

Karna dengan bersekolah di Superior High School, dia akan terlihat terpandang.     

Sebab tak semua orang mampu menyekolahkan anak mereja di sekolah itu. Hanya orang-orang tertentu dan kaya raya bisa menyekolahkan anaknya di Suprior High School.     

      

"Ayah, hanya mau terlihat keren di mata rekan bisnisnya, sementara dia tidak tahu kalau aku menderita di tempat ini," gumam Nana.     

      

Lalu Nana meraih ponselnya, dan menelpon sang Ayah.     

Dert ....     

Telepon pun tersambung, "Hallo Ayah," sapa Nana di dalam telepon.     

      

"Hallo ada apa, Sayang,"     

      

"Ayah, aku ingin pindah sekolah saja, di sini aku sudah tidak tahan lagi," tukas Nana sambil menangis.     

      

"Hey, yang benar saja, kan Ayah sudah bilang kalau kamu itu harus tetap di situ. Nanti kalau kamu pindah sekolah, Ayah malu. Nanti mereka mengira Ayah sudah tidak mampu menyekolahkan mu di sini!"  tutur sang Ayah yang mulai marah.     

      

"Tapi, Ayah. Aku sudah tidak tahan lagi. Lebih baik Ayah pindahkan aku di tempat yang elite lainnya. Bila perlu ke luar negeri," ucap Nana.     

      

"Tidak bisa, hanya di Suprior High School yang paling elite. Dan itu yang paling dekat dengan tempat tinggal kita!" jawab sang Ayah.     

      

"Kalau begitu keluar negeri saja!"     

      

"Tidak, kamu masih SMU. Dan kamu akan tinggal sendirian di luar negeri, Ibumu sudah pasti tidak akan tega!"     

      

"Ayah, aku mohon ...."     

      

"Sudah jalani saja sekolah di situ, jangan pikirkan hal lain!"     

      

Sang Ayah langsung mematikan teleponnya.     

      

Tut tut tut ...!     

"Ayah! Ayah!"     

Nana pun langsung duduk di atas lantai sambil menangis sesenggukan.     

"Aku tidak tahan lagi Ayah," tukas Nana yang putus asa.     

      

Sekarang yang dia takuti bukan bayang-bayang hantu Larasti lagi, tapi bayang-bayang teman-teman yang mulai membully nya.     

Dulu dia lah yang suka membully bersama Audrey dan Sisi  dan sekarang giliran dia yang berada di posisi itu.     

Posisi dimana semua orang melecehkannya, menindas dan menganggapnya tidak berarti.     

      

Tentu sebuah roda kehidupan sudah membalikkan dirinya menjadi berada dalam posisi yang tidak pernah dia bayangkan.     

      

"Kalau begini, lebih baik aku mati saja. Karna aku tidak mau seperti Larisa. Aku tidak sudi menjadi pecundang," tukas Nana.     

Lalu Nana merogoh isi tasnya, dimana di dalam tas itu terdapat sebuah pisau karter yang selalu dia bawa kemana pun dia pergi.     

      

Dan kali ini dia akan menggunakannya untuk mengakhiri hidupnya.     

Nana mengiris bagian urat nadi.     

Seketika darah pun mengalir sangat deras, Nana yang tak bisa melihat darah pun seketika langsung pingsan.     

      

Dan saat itu kebetulan Larisa hendak masuk kedalam toilet, dan dia langsung terkejut saat melihat, Nana yang sudah tak sadarkan diri dengan tubuh bersimbah darah.     

      

"Nana!" teriak Larisa sambil menubruk tubuh Nana yang tergeletak lemas di atas lantai.     

"Tolong! tolong!" teriak Larisa meminta bantuan.     

Larisa membekap bagian pergelangan tangan Nana yang terluka, dan dia mengikatnya kencang dengan menggunakan dasi seragam miliknya. Berharap dengan begitu pendarahan di tangannya bisa berhenti.     

      

Lalu semua orang menghampiri Nana dan Larisa. Dan mereka melarikan Nana ke rumah sakit.     

      

"Ada apa? ada apa?"     

      

"Si Cewek Sombong itu mencoba bunuh diri,"     

      

"Apa?! maksudnya Nana?!"     

      

"Iya benar, untung si Cupu Larisa segera menolongnya."     

      

"Si Larisa itu memang bodoh ya, mau-maunya menolong orang sombong dan menyebalkan sepertinya!"     

      

"Iya benar, harusnya biarkan saja dia mati,"     

      

Saat Larisa tengah sibuk turut mengantarkan Nana ke rumah sakit, seluruh teman di kelasnya malah asyik membicarakan Nana. Tanpa ada sedikit pun rasa iba kepadanya.     

      

      

Tak lama setelah ambulance datang Alex pun menyusul Larisa yang tengah berada di mobil ambulance mengikuti Nana.     

Sambil mengendarai motor dengan kecepatan tinggi Alex membayangkan bagaimana keras dan kelamnya pembelian.     

Bahkan seorang Nana si Tukang Bully pun bisa merasa terjatuh dan tak siap mental saat dirinya yang berbalik di bully.     

"Harusnya kalau tak siap di bully ya jangan membully orang. Karna roda terus berputar," gumam Alex.     

      

Sesampainya di rumah sakit, Nana langsung di dorong dengan brankar rumah sakit menuju ruang IGD untuk segera mendapatkan perawatan.     

      

Setelah itu tak lama kedua orang tua Nana pun datang dan mereka menghampiri Larisa.     

"Dimana anak saya? dimana? dan kamu siapa? kamu apa kan anak saya?" tanya sang Ibu dengan wajah yang kepanikan.     

      

"Nana sedang di tangani, Bu. Dan saya tidak melakukan apa pun, justru saya yang menolong dan membawa Nana, kemari," pungkas Larisa.     

      

"Awas ya kalau kamu bohong!" sergah si Ayah Tiri Nana.     

Dan Larisa pun menggelengkan kepalanya dengan wajah ketakutan.     

      

Lalu Alex pun datang, "Ada apa ini?" tanya Alex.     

      

"Saya curiga gadis ini yang menyebabkan, putri saya terluka!" kata Ayah Tiri Nana.     

      

"Hey, Anda jangan asal bicara ya, kalau bukan karna Larisa maka anak Anda sudah tewas!"  tegas Alex     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.