Bullying And Bloody Letters

Makam Lilly



Makam Lilly

0Melihat kertas putih diantara tumpukan file itu membuat Tyas merasa sangat penasaran. Apalagi dalam surat itu terdapat bekas tetesan darah.     

Dan bertuliskan namanya, memang bukanlah sebuah ancaman, tapi Tyas merasa sedang ada yang mengisenginya.     

"Huh, baru saja satu hari bekerja, sudah ada saja surat iseng begini," pungkasnya.     

Dan Tyas pun meletakkan surat itu di atas mejanya begitu saja, lalu dia pergi meninggalkan ruangannya.     

Dan dia menuju ruang meeting lalu memulai meeting pertamanya dengan para staf pengajar.     

Jam pulang pun sudah tiba, Alex dan Larisa keluar dari gerbang sekolah besama-sama.     

Mereka pulang dengan berboncengan motor seperti biasanya.     

"Alex, kalau boleh tahu, seberapa banyak teman dekatmu?" tanya Larisa.     

"Aku? kenapa tanya begitu?" tanya balik Alex.     

"Ya karna aku lihat, temanmu ada banyak. Bahkan para siswi sekolah kita juga berlomba-lomba ingin mendekatimu, tapi kamu selalu kaku. Dan kamu malah memilih barsama dengan ku si Gadis Aneh ini,"     

"Larsa kamu itu—"     

"Dan kalau aku menjadi dirimu, pasti aku sangat bahagia, aku akan ramah kepada mereka. Suapaya mereka dekat denganku dan aku tidak merasa sendiri serta aku tidak akan di bully lagi karana akan ada banyak teman-temanku yang akan membelaku," tutur Larisa.     

"Larisa," Alex langsung mengehentikan motornya dan mengajaknya menepi.     

"Loh, kok berhenti?" tanya Larisa.     

"Kita, istirahat di sana!" ujar Alex sambil menunjuk warung bakso pinggir jalan.     

"Hah!?"     

"Sudah ayo, kita bicara di sana!"     

Alex menarik tangan Larisa dan mengajaknya ke warung itu.     

Dan mereka pun duduk di salah satu bangku pelanggan.     

"Bakso 2 ya, Mas!" ujar Alex kepada si Penjualnya.     

"Kok, tumben kamu mengajak makan di sini?" tanya Larisa dengan wajah yang sedikit bingung.     

Tapi Alex tidak menjawab pertanyaan Larisa, dan melah membahas pertanya Larisa yang sebelumnya.     

"Dengar Larisa, kita itu tidak bisa asal memilih orang untuk menjadi teman dekat. Meski ada banyak orang yang ingin berteman baik dengan ku, itu bukan berarti dia benar-benar tulus mau menjadi temanku, kebanyakan meteka hanya ingin sesuatu dari ku," kata Alex.     

Dan Larisa pun tertegun mendengarnya, lalu Alex melanjutkan pembicaraannya.     

"Mereka tahu aku adalah atlit di selolah yang samgat berprestasi, dan di bidang akademik aku juga sedikit menonjol, meski aku tak sehebat dirimu.     

Mereka hanya ingin numpang tenar denganku, karna aku sedang berada di atas. Mereka akan memuja, dan mendekatiku sekarang, tapi ketika suatu hari nanti aku terjatuh, belum tentu mereka akan memujaku dan menolongku untuk bangkit." Alex menoleh kearah Larisa, "Jadi apa kamu sudah tahu apa alasanku tidak mau asal memilih teman dekat?" tanya Alex kepada Larisa.     

Tapi Larisa hanya terdiam. Lalu Alex melanjutkan lagi pembicaraannya.     

"Boleh kita berteman dengan siapa pun, tapi hanya sekedar berteman saja. Jangan asal mempercayakan segalanya kepada mereka yang masih kita ragukan isi hatinya. Karna boleh jadi mereka hanya pura-pura iba dan hanya ingin mendengarkan kelemahan kita, dan selanjutnya mereka akan menjatuhkan kita, di saat kita lengah agar bisa menggantikan posisi kita."     

"Tapi ...."     

"Larisa," Alex memegang pundak Larisa, "kamu itu terlalu baik, jadi jangan muda di jatuhkan oleh kebaikkan mu sendiri. Dan sebaiknya cari orang yang benar-benar tulus untuk menjadi sahabat dekatmu, karna itu lebih baik dari pada memiliki banyak teman yang hanya ingin memanfaatkanmu," tutur Alex.     

Dan Larisa pun tersenyum memandang Alex, "Terima kasih ya, Alex. Sejauh ini hanya kamu satu-satunya orang yang mau menjadi sahabat ku dengan tulus," Larisa memegang tangan Alex, "dan aku tidak butuh banyak teman lagi, karna aku sudah punya kamu, aku tidak akan tahu apa jadinya, jika aku tidak bertemu denganmu. Mungkin aku akan terus di injak-injak lebih parah lagi dari ini," tutur Larisa.     

Mata Alex langsung tertuju di bagian tangannya yang tengah di pegang oleh Larisa, dan Larisa pun menyadarinya.     

"Ah, maaf ya, Alex!" ucapnya sambil melepas perlahan tangannya dari tangan Alex.     

Dan Alex pun hanya tersenyum sambil mengangguk.     

Alex merasa sangat bahagia karna dapat sedikit membuat hidup Larisa menjadi lebih baik.     

'Seandainya dulu, aku tidak bertemu Lilly, mungkin aku akan menjadi Alex si Tukang Bully yang tak peduli tentang perasaan dan hidup seseorang. Dan berkat dia, setidaknya aku bisa mengontrol sikapku. Dan walau sedikit, setidaknya aku bisa menolong orang yang bernasif sama sepertinya. Semoga kamu tenang di sana Lilly, aku sangat berterima kasih dengan mu,' batin Alex.     

"Alex, kenapa malah melamun?" tanya Larisa.     

"Ah, tidak. Ayo kita makan, pesanannya sudah jadi," kata Alex.     

Dan setelah makan di tempat itu Alex mengantarkan Larisa pulang ke rumahnya.     

Setelah itu Alex pergi menuju tempat pemakaman umum. Di mana Lilly di makamkan di sana.     

Sebelum sampai ke tempat itu, tak lupa Alex membeli sebuah rangkaian bunga yang akan di berikan untuk Lilly.     

Setelah sampai di tempat pemakaman Lilly, Alex langsung duduk dalam pusara itu sambil memanjatkan doa untuk teman masa kecilnya itu.     

Lalu dia meletakkan rangkaian bunga itu.     

Sambil mengelus nisan yang sudah di bangun permanen. Alex meneteskan air matanya.     

"Mungkin kata maafku, tidak akan pernah berarti untukmu. Dan tidak akan mengembalikan masa-masa sulit mu saat itu. Tapi setidaknya lewat kesalahan ku itu, semoga aku bisa memperbaiki hidupku untuk menjadi pribadi yang lebih bail lagi. Dan menyelamatkan orang yang bernasip sama seperti mu," tutut Alex dengan linangan air matanya.     

Setelah itu dia pergi dari makam Lilly, dan di jalan dia berpapasan dengan Nana. Karna kebetulan Nana dan ibunya hendak berkunjung kemakam sang Ayah.     

Nana memang seorang anak yatim, tapi meski begitu dia tidak pernah merasa kekurangan karna dia di cukupi segala kebutuhannya oleh Ayah tirinya yang sayang kepadanya dan sangat kaya raya.     

"Loh, Alex?" sapa Nana kepada Alex, tapi Alex malah menunduk, dan berlalu pergi.     

"Teman sekolah mu ya, Nak?" tanya sang Ibu.     

"Ah, iya, Bu. Emm ... apa aku boleh menyusulnya, Bu?" tanya Nana.     

"Jangan, sebaiknya kita tengok ke makam Ayahmu dulu, doa kan dia. Karna selama ini kamu malah hampir melupakannya." Kata ibunya Nana.     

"Ah, Ibu. Selalu bicara begitu, denganku melupakan atau mengingatnya, itu semua tidak ada artinya, karna Ayah tidak akan kembali, Bu." Ujar Nana Ketus.     

Dan sang Ibu hanya menggelengkan kepalanya sambil mengelus dada.     

Dan sepanjang perjalanan, bahkan sesudah sampai di makam sang Ayah, pikiran Nana tidak fokus karna masih terus memikirkan kedatangan Alex di tempat pemakaman ini. Apa lagi dia sempat melihat Alex menangis.     

'Tadi itu dia menangis ya?' batin Nana.     

Lalu dia melihat tepat di samping makam Ayahnya ada makam yang masih ada bunga segar di atasnya. Dia mulai menduga jika Alex baru saja mendatangi makam itu.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.