Bullying And Bloody Letters

Surat Berdarah



Surat Berdarah

0"Larisa, ayo pakek ini," kata Alex.     

      

"Terima kasih, Alex," kata Larisa.     

      

Lalu Alex melilitkan jaket itu ke tubuh Larisa bagian bawah, kemudian Alex juga mengantarkan Larisa pulang.     

 Seluruh penghuni kelas termasuk Nana dan Sisi mulai kesal, dan menanggapi sikap Alex dengan sinis.     

Mereka semakin membenci Larisa saja.     

      

"Gadis Aneh, itu benar-benar menyebalkan. Aku sangat membencinya, kenapa sih, Alex yang ganteng itu mau-maunya membantu gadis aneh seperti Larisa?!" gerutu Nana, sambil berjalan keluar gerbang bersama Sisi.     

      

"Aku yakin, Larisa itu punya jampi-jampi sehingga mampu membuat seorang, Alex, mampu bertekuk lutut kepadanya," imbuh Nana.     

      

"Iya bisa saja. Dia, 'kan aneh, lihat saja sekarang dia juga sering kesurupan. Mungkin itu orang sudah belajar ilmu sesat agar bisa terlihat cantik untuk memikat hati Alex," kata Sisi.     

      

"Ya, sebenarnya pemikiran mu itu agak berlebihan sih, Nana. Tapi bisa juga seperti itu. Karna ada sesuatu yang aneh dengannya."     

      

Lalu saat mereka hendak memasuki mobilnya, tiba-tiba Sisi teringat dengan sesuatu yaitu ponsel miliknya yang tertinggal di dalam kelas.     

      

"Oh, my God! ponselku!" tukas Sisi sambil menepuk jidatnya.     

      

"Kenapa?"     

      

"Ayo antarkan aku mengambil ponselku yang tertinggal di dalam kelas!" ajak Sisi yang secara langsung menarik paksa tangan Nana.     

      

"What!? kamu itu teledor banget sih!"     

      

"Sudah, jangan berisik ayo cepat antarkan aku!"     

      

"God! aku tuh takut, Sisi! di kelas sepi begini pasti sangat menyeramkan!"     

      

"Sst! ayo cepat jangan bawel!"     

      

Lalu mereka berdua pun akhirnya masuk kedalam ruang kelas lagi.     

Melihat ruang kelas yang kosong dan sunyi senyap. Membuat Nana dan Sisi segera berlari menuju bangku mereka dan mengambil ponsel itu secara tergesa-gesa.     

"Sudah ketemu?!" tanya Nana.     

      

"Sudah!" sahut Sisi sambil mengacungkan ponselnya di tangan.     

      

"Baiklah, ayo cepat kita pulang!"     

      

Lalu mereka pun keluar kelas sambil berlari, tapi belum sampai di depan pintu Sisi pun terjatuh, sehingga membuat Nana juga turut terjatuh, karna kebetulan mereka saling bergandengan.     

"Sisi! apa-apaan sih! kenapa bisa jatuh begini?!" teriak Nana.     

      

"Entalah, Nana! sepertinya ada yang menjegal kakiku!" jelas Sisi.     

      

"Apa?! please deh, jangan mengada-ngada! di dalam kelas ini terlalu menyeramkan untuk keisenganmu itu!" bentak Nana.     

      

"Sumpah, Na! Aku tidak berbohong!"     

      

"Ah, sial! ayo cepat Kita pergi!" ajak Nana.     

Namun sayangnya tiba-tiba pintu yang tadi mereka lewati tertutup dengan sendirinya. Sedangkan Sisi dan Nana terkunci di dalamnya.     

      

"Sisi, pintunya terkunci dari luar, bagaimana ini!" teriak Nana panik.     

      

"Hah! yang benar saja?!"     

      

"Oh, tidak bagaimana ini!?"     

      

"Tenang, ayo kita cari bantuan, cepat telepon seseorang!" tukas Sisi.     

      

Namun saat mereka hendak menelpon sang Sopir agar mau menolong mereka, tiba-tiba ada hembusan angin yang kencang menerpa tubuh mereka. Dan seketika Nana dan Sisi pun terjengkang. Masing-masing ponsel mereka pun terlempar jauh.     

Hingga pecah berhamburan.     

"Oh, my God, ponselku!" teriak Sisi.     

      

"Ah, Sisi! bagaimana ini, penghuni sekolah itu pasti akan mengganggu kita,"     

      

"Aku, juga tidak tahu, Nana. Aku juga takut!"     

Mereka berdua meringkuk di sudut pintu dan saling berpelukan, dengan tubuh keringat dingin bercampur ketakutan.     

Lalu muncul suara tertawaan yang begitu memekik telinga mereka, Sisi dan Nana pun langsung melepas pelukannya dan beralih membekap kedua telinga mereka masing-masing, karna saking tak tahan dengan suara tertawaan itu.     

      

Ceklek!     

      

Pintu pun terbuka dari luar dan saat itu Sisi dan juga Nana yang tengah bersandar di belakang pintu itu pun seketika langsung terjengkang.     

      

Dan di luar sudah ada Pak Parman si Penjaga Sekolahan yang tengah menatap mereka dengan tatapan yang bingung.     

      

"Maaf, saya tidak tahu kalau kalian ada di belakang pintu, jadi saya tidak sengaja membuat kalian terjatuh," tukas Pak Parman.     

      

Namun bukannya berbicara terima kasih atau apa pun, Sisi dan Nana malah langsung berlari begitu saja meninggalkan Pak Parman.     

      

Pak Parman hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah Sisi dan Nana, dia sangat paham dan memaklumi ketidak sopannan mereka. Karna Pak Parman sudah terbiasa menghadapi siswi-siswi yang sombong seperti mereka.     

      

Lalu Pak Parman pun memasuki ruang kelas untuk memeriksa keadaan sekitar, dia merasa penasaran dengan kegaduhan yang sempat dia dengar tadi, Pak Parman melihat ada dua ponsel yang pecah berhamburan di atas lantai.     

"Kenapa Mereka, malah merusak ponsel mereka di sini?" tukas Pak Parman sambil menggaruk kepalanya, "aneh sekali."     

      

Lalu Pak Parman membersihkan sampah-sampah bekas ponsel itu. Dan saat itu dia kembali berpikir, tentang penyebab dua gadis itu merusak ponselnya milik mereka sendiri.     

      

"Apa jangan-jangan Larasati, baru saja datang dan mengganggu mereka?"     

Pak Parman segera merauk dan menaruh  sampah-sampah itu di dalam tong sampah sekolah.     

Lalu dia meninggalkan kelas itu dan menguncinya kembali.     

      

      

***     

Sementara itu Sisi dan Nana, yang tengah berada dalam perjalanan. Tampak saling terdiam ketakutan dengan tubuh gemetaran.     

Lalu setelah mereka sampai di rumah mereka masing-masing, mereka pun langsung masuk kedalam kamar dan mengunci kamar rapat-rapat.     

      

Dan saat itu Nana yang sedang mencopoti seragam sekolahnya  tiba-tiba dia menemukan sebuah surat yang di lipat rapi dan di taruh di dalam saku bajunya.     

Nana yang merasa penasaran, karna sebelumnya dia tidak menaruh surat apa pun di sakunya, membuatnya ingin tahu apa isi surat itu.     

      

Dan ketika dia membuka surat itu, matanya langsung terbelalak, saat melihat tetesan darah yang membanjiri surat, dan bahkan sampai menetes serta membasahi kedua tangannya.     

Dan di tambah tulisan besar yang seperti tertulis dengan darah juga.     

Yang berbunyi, 'Berhenti menindas, atau mati!'     

      

Saat itu Nana langsung berteriak histeris dan melemparkan surat itu ke lantai. Dia mendapati tangannya yang penuh darah dan ketika melihatnya teriakan Nana semakin kencang karna rasa takut bercampur kaget.     

      

Nana berteriak-teriak histeris, hingga membuat seisi rumahnya panik lalu datang hendak menghampirinya.     

      

Tok tok!     

"Nana, kamu kenapa, Sayang! ayo cepat buka pintunya!" teriak ibunya dari luar.     

Namun Nana enggan membukannya, dia malah meringkuk di pojokkan tembok sambil menutup wajahnya.     

Namun karna merasa panik akhirnya sang Ibu memanggil dopis rumah mereka untuk mendobrak pintu kamar Nana.     

      

Setelah pintu berhasil di dobrak, tampak Nana sedang meringkuk ketakutan.     

Lalu sang Ibu langsung menghampiri dan memeluknya.     

      

"Ada apa, Sayang?" tanya ibunya dengan lembut.     

      

"Darah! Bu! darah! surat ...!" kata Nana yang panik.     

      

"Hah, darah? surat? dimana, Sayang?"     

      

Lalu Nana menunjuk di bagian lantai tempat dia melempar surat tadi.     

Dan saat sang Ibu melihatnya, tidak ada darah sama sekali di sana, yang ada hanya sebuah kertas putih kosong yang tergeletak begitu saja.     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.