Bullying And Bloody Letters

Tidak Mau Mendengarkannya



Tidak Mau Mendengarkannya

0"Rasty, kamu itu kenapa gak bilang ke kaka, sih, kalau kamu sadang sakit begini?" tanya Nindi sambil mengendalikan kemudinya.     

"Berrr... dingin, Kak Nindi, tubuhku dingin sekali," keluh Rasty.     

"Yasudah, tahan ya, sebentar lagi kita sampai," ujar Nindi.     

Dan tak lama mereka pun sampai di rumah sakit, dan Rasty segera mendapatkan perawatan dari petugas medis.     

"Huh, menyebalkan sekali kenapa sih, pakek acara sakit segala," keluh Nindi.     

Sambil menunggu Rasty yang sedang di periksa oleh dokter, Nindi tampak gusar sekaligus tak tenang.     

"Kalau begini caranya aku bisa makin stres! Padahal memikirkan mimpi semalam saja sudah membuatku pusing tak karuan, dan sekarang malah si Rasty, pakek acara sakit segala!" gerutu Nindi.     

***     

Di ke esokkan harinya, keadaan Rasty sudah membaik, dia pun juga sudah pulang dari rumah sakit.     

Dia hanya menginap sehari semalam saja.     

Dan setelah demamnya turun serta kondisinya beransur membaik dia pun di perbolehkan untuk pulang.     

"Apa kamu sudah benar-benar, membaik?" tanya Nindi.     

"Iya, Kak. Aku sudah baikkan," jawab Rasty.     

Ceklek!     

"Huh, akhirnya sampai juga di rumahmu," tukas Nindi.     

Lalu Rasty yang masih terlihat lemas, tampak duduk di sofa sambil menyandarkan kepalanya dan melipat kedua tangan.     

"Untung saja aku datang kemari, kalau tidak entah bagaimana nasib mu sekarang," tukas Nindi. Dan Rasty pun masih tampak terdiam sambil memejamkan matanya.     

"Harusnya kamu berterima kasih kepadaku, karna berkat aku kamu bisa selamat!" ketus Nindi.     

"Iya, Kak Nindi, terima kasih sudah menolongku," tukas Rasty.     

"Kamu tahu tidak, kalau kemarin aku ini ingin curhat kepadamu. Karna hariku sedang kacau, aku butuh seseorang untuk mendengarkanku, atau mungkin menghiburku. Dan satu-satunya orang adalah dirimu, Rasty. Tapi kamu malah sakit, menyebalkan!" oceh Nindi.     

"Memangnya, Kak Nindi, ingin bercerita apa?!" tanya Rasty.     

Huftttt ... Nindi menghela nafas dengan panjang. "Aku kemarin malam mimpi buruk sekali,"     

"Mimpi buruk? Mimpi buruk tentang apa?"     

"Tentang, Ninna!" jawab Nindi.     

"Ok, stop Kak Nindi. Jangan diteruskan!"     

"Kenapa? Aku kan ingin bercerita!"     

"Iya, tapi tidak sekarang! Karna otakku benar-benar sedang kacau!"     

"Hay! Rasty! Kenapa kamu bilang begitu?!"     

"Kak, memangnya, Kaka, pikir aku sakit karna apa?! Aku ini sakit karna hal itu, Kak!" ujar Rasty.     

"Maksud kamu apa?!" tanya Nindi.     

"Berkali-kali aku peringatkan kepada, Kaka, bahwa Kaka, harus berhati-hati! Dia itu mengincar Kaka!" jelas Rasty.     

"Hais! Lagi-lagi kamu itu mengatakan hal itu lagi! Aku muak!" cantas Nindi.     

"Aku mohon, dengarkan aku, Kak. Percaya dengan ucapanku. Sekali ini saja ...." Mohon Rasty.     

"Hais! Bicara denganmu itu hanya menambah tingkat kesetresanku saja!" hina Nindi.     

"Aku mohon, Kak. Minta maaf kepada kak Rima, agar Eliza tidak membunuh, Kaka,"     

"Hah!? Kamu udah gila?!"     

"Aku gak gila, Kak! Aku hanya ingin kita selamat, terutama, Kaka!"     

"Aku tidak sudi!" cantas Nindi.     

"Baik kalau begitu, aku sudah memperingatkan, Kak Nindi. Dan ini peringatanku yang terakhir, aku sudah menyerah, maka kalau terjadi hal buruk. dengan, Kaka, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi."     

"Hah! Aku sudah salah datang kemari, dan menolongmu serta membawamu ke rumah sakit! Karna bukanya menghiburku! Kamu malah membuatku semakin stres!" cerca Nindi, sambil bertolak pinggang.     

Sedangkan Rasty hanya terdiam dengan ekspresi datarnya.     

Setelah mengomeli adiknya habis-habisan Nindi pun pergi dari rumah Rasty.     

Dengan persaan kesalnya dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh.     

"Dasar adik tidak tahu diri, sudah di tolong malah makin menceramahi ku dengan ucapan yang tak masuk akal!" gerutu Nindi.     

Dia melihat lampu rambu-rambu lalu lintas sedang merah, tapi bukannya berhenti dia pun tetap menerobosnya.     

"Sejak kapan, orang mati bisa hidup kembali dan bisa membalaskan dendamnya!" gerutunya lagi.     

Cekit ...!     

Seketika Nindi pun mengerem mendadak , karna di depannya ada sedeorang yang menyebrang, dan hampir dia tabrak.     

Tin! Tin! Tin!     

Nindi menekan tombol belnya hingga berkali-kali, karna seseorang yang hampir dia tabrak itu tidak pergi juga. Justru gadis itu berdiri tegap dan menunddukan kepalanya dengan rambut yang nyaris menutup bagian wajahnya.     

Nindi pun tampak sangat geram, dia keluar dari dalam mobil.     

"Sila! Rupanya dia itu gadis tuli ya?!" umpat Nindi.     

Dengan langkah yang tergesa-gesa dia menghampiri gadis itu.     

"Woy! Sudah bosan hidup ya?!" cantas Nindi.     

Tapi gadis itu masih terdiam menuduk menghadap ke arahnya.     

"Kamu itu budek ya?!"     

Seketika Nindi membuka rambut gadis itu dengan paksa.     

Berharap dengan begitu dia bisa melihat ekspresi wajahnya dan bisa memarahinya habis-habissan.     

Tapi ketika dia membuakanya, seketika Nindi langsung kaget, bahkan saking kagetnya sampai dia terjengkang di jalanan.     

"Eliza!" teriak Nindi.     

Seketika Eliza pun tersenyum dan menatap taham ke arah Nindi.     

"Tante Nindi, apa sudah siap untuk mati?" tanya Eliza dengan suara yang lembut.     

"Pergi-pergi! Mejauh dariku!" teriak Nindi.     

Nindi pun menyeret tubuhnya yang masih dalam keadaan terduduk di jalannan itu.     

Eliza terus berjalan mendekat ke arahnya.     

"Mau mati sekarang?" tanya Eliza.     

"Enggak! Enggak mau!" tukas Nindi dengan suara kencang ketakutannya.     

Tubuh Nindi gemetar keringat dingin.     

Sedangkan Eliza malah semakin berjalan mendekat ke arahnya.     

"Tolong, El! Jangan bunuh, Tante ...." Mohon Nindi.     

Nindi yang ketakutan dan bertingkah aneh di tengah jalan itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana.     

Tidak ada satu pun orang yang dapat melihat keberadaan Eliza.     

Mereka mengira jika Nindi adalah orang gila.     

Dan tak lama sebuah mobil melaju dengan kencang kearah Nindi yang bertingkah aneh itu. Kebetukan di jalan itu sedang sepi kendaraan yang melaju, tapi sekalinya ada kendaraan yang melaju adalah sebuah mobil teruk yang melaju dengan kecepatan tinggi.     

"Awas! Minggir! Ada mobil!"     

"Awas!"     

"Dasar orang gila!"     

"Gimana tuh, kalau dia tertabrak?!"     

Teriak orang-orang di sekitar jalan itu yang melihat Nindi dan yang masih bertingkah aneh itu.     

Bruss!     

Mobil itu pun akhirnya menabrak Nindi hingga tubuhnya terpental jauh.     

Keadaan jalanan itu pun tampak sangat gaduh.     

Orang-orang berkerumun untuk menolong Nindi.     

Lalu Nindi pun segera di larikan di rumah sakit.     

Tubuh Nindi di penuhi dengan darah, wajah, tangan dan yang lainya pun sudah di penuhi dengan darah.     

Bahkan dirinya nyaris tidak dapat di kenali.     

***     

Beberapa jam kemudian, Nindi pun terbangun dan sudah berada di dalam rumah sakit, dengan selang infusan yang tertancap di tangan, serta tangan yang sebelahnya lagi tampak sedang di perban dan di bagian kedua kakinya tidak bisa di gerakkan.     

"Aku kenapa ini?! Kenapa kedua kaki ku tidak bisa gerakan dan tidak bisa merasakan apa pun?" tanya Nindi yang tampak sangat syok.     

"Mama! Mama, udah bangun! jangan takut, Papa ada di sini!" tukas Surya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.