Bullying And Bloody Letters

Mencari Solusi



Mencari Solusi

0Pagi yang tampak sangat cerah, Nindi masih terduduk di atas kursi rodanya sembari melihat pephonan di halaman rumahnya.     

"Ma, Papa, berangkat dulu, sebentar lagi, Rasty akan datang untuk menjaga, Mama," ujar Surya suaminya.     

"Iya, Pa, hati-hati ya!" tukas Nindi dengan ketus.     

"Loh, kok bicaranya ketus begitu?"     

"Habisnya, Mama, kesel banget, Pa. Mama bosan berada di kursi roda begini!" keluh Nindi.     

"Ya, sabar dong, Ma. Mama, harus ihklas menghadapi semua ini,"     

"Tapi, Mama, malu, Pa!"     

Dan dengan Surya segera memluk sang istri.     

"Mama, gak perlu malu, kan ada Papa. Papa janji akan selalu mencintai dan menerima, Mama apa adanya,"     

"Tapi, Mama malu sama orang-orang, Pa!"     

"Udah-udah! Jangan mikirin itu lagi, sekarang Mama, pikirkan kesehatan, Mama, aja," ujar Surya menyemangati sang istri.     

Surya memang sangat mencintai sang istri kedua, terbukti meski pun Nindi sudah cacat begini, tapi Surya masih tetap mencintainya dan menerima Nindi apa adanya.     

Berbeda dengan Rima si istri kedua, Surya tidak terlalu peduli dan bahkan rasa cintanya yang dulu kepada Rima perlahan terkikis menjadi benci, karna ulah Nindi yang selalu pandai mengambil hati Surya dan selalu ahli dalam berakting untuk menjelek-jelekkan Rima. Dan dengan bujuk Rayunya membuat Surya semakin mencintai Nindi si istri kedua, bahkan sampai cinta mati.     

"Selamat pagi, Kak Nindi! Selamat pagi, Mas Surya!" sapa Rasty dari kejauhan.     

"Eh, tuh! Si Rasty, udah datang, Mama, baik-baik di rumah ya, soalnya, Papa, mau kerja dulu,"     

"Iya, Pa." Jawab Nindi dengan suara tak bersemangat.     

"Rasty, titip Nindi ya?" tukas Surya.     

"Iya, Mas!" jawab Rasty sambil tersenyum.     

Dan setelah Surya sudah pergi, Nindi pun segera mengajak Rasty untuk pergi ke suatu tempat.     

Dengan susah payah, Rasty mengangkat tubuh sang ibu untuk, masuk ke dalam mobilnya     

"Ughhh! Berat banget!" keluh Rasty yang tampak engos-engosan mengangkat tubuh Nindi.     

"Emangnya, kita mau kemana, sih, Kak?" tanya Rasty.     

"Udah, pokoknya kamu ikutin perintah Kaka, aja!" ujar Nindi.     

"Tapi mau kemana?"     

"Udah deh, jangan bawel!" bentak Nindi.     

Rasty terpaksa menuruti perintah sang kaka, karna kalau tidak, sudah pasti Nindi akan marah-marah kepadanya.     

"Masih lama enggak sih, Kak?" tanya Rasty yang mulai kesal.     

Sementara Nindi masih tampak asyik menatap ponselnya sambil melihat letak lokasi tempat yang mereka cari.     

"Kalau menurut GPS, kita belok ke kiri!" ujar Nindi.     

"Dari tadi belok ke kiri, belok ke kanan! Tapi gak sampai-sampai juga! Sebenarnya kita mau kemana sih?" keluh Rasty.     

"Udah deh kamu itu jangan bawel! Nanti juga kamu bakalan tahu sendiri!" cantas Nindi.     

"Tahu apaan kalau begini sih! Yang ada malah bikin, aku jadi pusing, Kak Nindi" cantas Rasty.     

"Yasudah jangan berisik sebentar lagi ada pertigaan, 1 Km lagi sampai." Ujar Nindi.     

Dan benar saja setelah melewati pertigaan tak lama mereka pun sampai di sebuah bangunan tua, yang terlihat sangat antik, namun termihat sangat terawat.     

"Ini rumah apaan sih?" tanya Rasty yang keheranan.     

"Ini tuh rumah dukun yang terkenal sangat sakti," jawab Nindi.     

"Ih, apaan sih, Kak Nindi! Ngapain kita datang kemari?"     

"Ya kita mau cari solusi untuk mengusir hantu sialan itu!" cantas Nindi.     

"Tapi, aku gak percaya ama yang beginian, Kak Nindi!"     

"Udah, kamu diam aja dan ikutin, Kaka!"     

"Ih, apaan coba!" cerca Rasty yang tak. Percaya.     

"Udah, kamu itu diam aja! Ayo buruan masuk!" ajak Nindi.     

"Enggak! Aku gak mau masuk!" jawab Rasty.     

"Ya kamu harus masuk! Kalau enggak siapa yang bakalan dorong kursi roda, Kaka?!" tanya Nindi.     

Dan akhirnya dengan persaan yang sangat terpaksa Rasty pun masuk ke dalam rumah itu.     

Baru memasuki rumah itu saja, aroma kemenyan sudah sangat menyengat di hidung mereka.     

"Ih, bau apaan sih, ini?" ujar Rasty yang tampak tidak menyukainya.     

"Ssst, jangan berisik, nanti orangnya tersinggung, kita harus bisa jaga sikap di sini, kamu mau terbebas dari mala petaka ini, enggak dih?!"     

Dan akhirnya mereka berdua sampai di ruang praktik dukun itu.     

Tampak dukun itu sedang duduk bersila mengenakan pakaian serba hitam dan menggunakan penutup kepala berupa blangkon.     

Di depan dukun itu terdapat aneka kembang Tujuh rupa, kendi, serta kuali kecil yang di gunakan untuk membakar kemenyan.     

"Mau apa kalian kemari?" tanya dukun itu dengan masih memejamkan mata sembari komat-kamit.     

"Begini, Mbah! Saya dan adik saya ini sedang di teror oleh arwah dari anak tiri saya. Dan bahkan dia juga membuat saya menjadi lumpuh begini!" jelas Nindi.     

"Apa kalian sudah membunuh gadis itu?" tanya dukun itu seraya menebak-nebak.     

Nindi dan Rasty pun terdiam sejenak dan saling memandang.     

"Iya, Mbah, benar. Kami sudah membunuhnya," jawab Nindi.     

"Pantas saja!" cantas dukun itu.     

Lalu pria tua itu kembali menaburkan kemenyan ke arah wadah yang berasap itu.     

"Gadis itu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan sang ibu. Jadi apa yang di perintahkan sang ibu akan ia turuti, bahkan walau dia sudah mati sekali pun!" jelas dukun itu.     

"Lalu bagaimana caranya agar dia bisa berhenti meneror kami?! Jujur saya sangat takut dia akan mendatangi saya dan membunuh saya secara kejih, seperti dia yang sudah membunuh putri saya!?" ujar Nindi dengan nada yang menggebu-gebu.     

"Tidak ada cara lain, untuk menghentikannya, karna yang bisa menghentikan arwah itu adalah ibunya," jelas sang dukun.     

"Maksudnya? Apa saya harus memohon ampun dengan ibunya?!" tanya Nindi.     

Dan dukun itu mengangguk, "Benar!" jawab dukun itu.     

Nindi pun tampak tak terima dan tak sudi bila harus meminta maaf kepada Rima. Itu sama halnya dia yang menjatuhkan dirinya sendiri.     

Dia masih peduli dengan harga diri dan gengsinya.     

"Aku gak mau kalau harus meminta maaf dengan maduku! Apa tidak ada cara lain?" tanya Nindi kepada sang dukun.     

"Tidak ada! Karna yang bisa menghentikan arwah itu hanya ibunya. Dia hanya mau menuruti ucapan sang ibu."     

"Tapi, saya tidak sudi melakukannya. Sama saja saya menjatuhkan harga diri saya di mata orang itu!" ujar Nindi.     

"Tapi, mau bagimana lagi, Kak. Hanya itu caranya!" ujar Rasty.     

"Gak mau! Saya gak mau tahu, Mbah! Tolong kasih solusi lain! Saya janji akan memberikan uang yang banyak kalau, Embah, berhasil!"     

"Baiklah! Hanya satu solusinya." Ujar sang dukun.     

"Apa itu, Mbah!"     

"Kamu tidak bisa menghentikan kemarahan dari dendam arwah itu. Tapi kamu bisa menghindarinya!" ujar sang dukun.     

"Menghindar? Bagaimana caranya?" tanya Nindi.     

"Saya akan memberimu jimat, untuk melindungi kamu dan adik mu dari kejaran arwah itu. Tapi saya tidak bisa memjamin keselamatan kamu. Karna bisa saja kamu lengah lalu dia menyerangmu!" tutur sang dukun.     

"Baik, Mbah! Katakan saja! Saya tidak akan lengah! Berikan saja jimat itu kepada kami!" tukas Nindi penuh percaya diri.     

Lalu dukun itu kembali memejamkan mata dan berkomat-kamit membaca mantra.     

Tak lama dia mengeluarkan dua buah benda kecil berbalut kain kafan, yang tidak tahu apa isinya. Lalu dia memberikan kepada Rasty dan Nindi.     

Tob be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.