Bullying And Bloody Letters

Kesombongan



Kesombongan

0"Pa, apa, Papa, mau meninggalkan Mama bersama Rasty berdua saja?" tanya Nindi.     

"Loh, memangnya ada apa, Ma?" tanya Surya.     

"Mama, ingin ngobrol bersama, Rasty, Pa," ujar Nindi.     

"Iya, Ma. Papa keluar sekarang," ujar Surya.     

Dan Surya pun keluar meninggalkan sang istri bersama adik iparnya.     

"Kak, sebenarnya bagaumana bisa, ini semua terjadi?" tanya Rasty.     

Dan Nindi pun langsung menangis tersedu-sedu, karna teringat dengan kejadian yang baru saja ia alami.     

Terasa menyeramkan, dan bahkan jika dia membayangkan kejadian itu, seketika jantungnya berdetak dengan sangat kencang, bahkan rasanya dia tak kuat dan tubuhnya serasa melemas ingin pingsan, tapi Nindi terus menahanya agar dia tidak pingsan lagi.     

"Apa karna, Eliza?" tanya Rasty.     

Dan Nindi mengangguk, "Iya, benar, ini semua karna Eliza! Dia mendatangi Kaka," jawab Nindi.     

"Kan sudah aku bilang, bahwa dia itu benar-benar akan membunyuh, Kaka!" cantas Rasty.     

"Iya, Rasty! Maafkan, Kaka, karna tidak mau mendengarkan mu," ujar Nindi.     

"Yasudah, kalau begitu, kita harus segera meminta maaf kepada kak Rima. Agar Eliza mau melepaskan kita," tukas Nindi.     

"Tapi, bagaima bisa! Pasti dia akan menertawakan Kaka! Kaka malu!" tukas Nindi.     

"Kak, ini bukan perkara malu atau tidaknya, tapi ini perkara hidup dan mati kita!" ujar Rasty.     

"Tunggu ... tunggu sampai aku pulih dulu," tukas Nindi.     

"Sejujurnya, aku sudah meminta maaf kepada, kak Rima, tapi dia tidak mau memafkan ku," jelas Rasty.     

"Benarkah?!" Nindi pun tampak sangat kaget, "kenapa kamu tidak bilang dulu dengan, Kaka?" tanya Nindi.     

"Maaf, Kak. Kaka, 'kan tidak mempercayai ucapanku, jadi aku terpaksa melakukannya tanpa memberi tahu kepada, Kaka," jawab Rasty.     

"Benar-benar, menyebalkan! Kenapa dia sombong sekali!" cerca Nindi.     

Bahkan di saat dia sudah terpuruk seperti ini, rasa sombong Nindi pun masih sangat mendominasi.     

"Kak, sebaiknya hentikan rasa benci, Kak Nindi, kepada kak Rima, karna yang sepantasnya membenci itu dia, bukan, Kaka," tutur Rasty yang menasehati sang kaka.     

"Kenapa kamu malah membela dia? Apa kamu sudah mulai menjadi bagian dari mereka?" tanya Nindi dengan suara yang menyindir.     

"Tidak, Kak! Sama sekali aku tidak berpihak kepada mereka, hanya saja! Aku tidak mau kalau, Kaka, terus-terusan membenci mereka, karna ini akan sangat membahayakan keselamatan, Kak Nindi, sendiri!" jelas Rasty.     

Sejenak Nindi pun terdiam dan dia mulai memikirkan apa yang di ucapkan oleh adiknya itu.     

Tentu saja ini membuatnya merasa dilema, di sisi lain dia tidak mau menuruti ucapan Rasty yang memaksanya untuk berbaikkan dengan madunya. Tapi di sisi lain dia juga merasa takut dengan Eliza yang akan kembali menerornya untuk membalaskan dendamnya.     

"Ah, sudahlah, Rasty. Aku lelah, aku ingin istirahat, kita bahas masalah ini di lain waktu saja ya," tukas Nindi yang tampak sangat malas dan kelahan menghadapi masalahnya.     

"Tapi, Kak—"     

"Sudahlah, Rasty, aku benar-benar tidak tahan lagi, kepalaku pusing. Aku ingin tidur," ujar Nindi,     

Lalu Rasty pun menghentikan ajakkannya untuk memintaaaf kepada Rima, dia teringat dengan ucapan dokter bahwa kakanya tidak boleh merasa stres, karna dia baru saja mengalami pristiwa yang menyeramkan dalam hidupnya.     

Rasty sangat takut jika akan terjadi hal buruk kepada sang kaka jika dia terlalu stres.     

"Baik, kalau begitu, kita bahas lain kali saja. Sekarang, Kak Nindi, istirahat saja ya," ujar Rasty.     

Nindi mengangguk, dan selanjutnya Rasty pun keluar dari dalam ruangan itu.     

***     

Esok harinya, dengan terpaksa Rasty kembali berangkat ke sekolah, meski pikirannya masih sangat kacau karna sang kaka yang masih berada di rumah sakit.     

"Bu Rasty!" panggil Raisa.     

Lalu Rasty pun menoleh ke arah Raisa.     

"Iya, ada apa, Bu Raisa?" tanya Rasty.     

Dan Raisa pun berjalan mendekat ke arah Rasty.     

"Apa benar kalau, bu Nindi, masuk rumah sakit?" tanya Raisa.     

Lalu Rasty pun terdiam sesaat, kemudian dia menganggukkan kepalanya.     

"Iya benar. Bu Nindi masuk rumah sakit karna beliau mengalami kecelakan," jawab Rasty.     

Dan sekarang giliran Raisa yang terdiam sesaat.     

"Apa karna, Eliza?" tanya Raisa dengan suara yang terdengar ragu-ragu.     

Dan Rasty pun kembali menganggukkan kepalanya. "Sepertinya memang begitu," jawab Rasty.     

"Saya, turut perihatin, Bu Rasty atas pristiwa yang menimpa Bu Nindi , maafkan saya, karna saya tidak bisa berbuat apa pun untuk menolong kalian," ujar Raisa.     

Dan Rasty pun mengangguk dengan tatapan datar, sepertinya dia benar-benar merasa sangat berat dengan peristiwa ini.     

"Yasudah, kalau begitu, saya permisi dulu, Bu Rasty, saya mau kembali ke ruangan saya." ujar Raisa.     

Dan Rasty kembali menganggukan kepalanya, lalu dia memandangi kepergian Raisa dengan tatapan nanarnya.     

Sejujurnya dia benar-benar bingung harus berbuat apa saat ini.     

Ketakutan dan rasa bersalah terus menggelayuti pikirannya,     

Dengan langkah gontainya Rasty memasuki ruangannya.     

Wajahnya tampak sangatlah pucat, padahal biasanya dia selalau tampil segar dengan riasan makeup yang selalu menambah kecantikannya, tapi akhir-akhir ini, Rasty tampak tidak lagi memperdulikan penampilannya.     

Dia terlihat sangat cuek, dan selalu terlihat dengan raut wajah murungnya.     

"Mau sampai kapan aku harus begini?" tukas Rasty sambil memegangi Mouse komputernya.     

"Semoga saja aku bisa terlepas dari masalah ini," tukasnya lagi penuh harap.     

Perbuatannya ibarat nasi yangnsudah menjadi bubur, dan tidak akan kembali menajdi nasi lagi.     

yang artinya kesalahan yang sudah ia lakukan benar-benar sudah tidak bisa ia perbaiki lagi. Semua sudah terlanjur terjadi dan dia harus menghadapinya.     

Mau tidak amu, siap mau pun tidak siap.     

***     

Sementara itu Raisa kembali masuk kedalam ruangan kelasnya.     

Dia kembali mengajar seperti biasa, ruangan kelas itu tampak ceria, Derry dan juga Nino, tak henti-hentinya terus meledek kepada Aldo.     

Karna mereka masih mengira jika Aldo dan Raisa itu benar-benar berpacaran, karna hubungan mereka saat ini memang sangatlah dekat.     

"Ciye, seneng banget pastinya, kalau pacaran sama wali kelas sendiri," lirih Derry di telinga Aldo.     

"Emang, gimana rasanya, Do?" bisik Nino.     

"Ih, kalian ini apaan sih?! Brisik banget!" cantas Aldo, dan tak sadar suaranya yang kencang membuat seisi kelas menjadi melihat ke arahnya.     

"Aldo! Ada apa sih?! Kenapa berisik banget?!" tanya Raisa dengan suara tinggi.     

"Maaf, Bu Raisa, gara-gara dua orang ini nih!" jawab Aldo sambil menunjuk ke arah dua sahabatnya itu.     

"Ehem! Aldo, Nino dan Derry! bisa kalian maju ke depan!" perintah Raisa.     

"Baik, Bu!" jawab serempak ketiga pria itu.     

"Sekarang kalian berdiri, sampai jam. pelajaran saya selesai!" cantas Raisa.     

"Yah! Emangnya kenapa, Bu?" tanya Derry dengan persaan tak bersalah.     

"Saya tidak suka ada yang berisik di jam pelajaran saya!" jawab Raisa dengan tegas.     

"Kok sama pacar sendiri begitu ya?" bisik Nino di telinga Aldo.     

Tapi meski sedang berbisik tapi suaranya terdengar sampai di telinga Raisa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.