Bullying And Bloody Letters

Tidak Dewasa



Tidak Dewasa

0Rasty kembali ke sekolah dengan wajah kesalnya.     

Lalu dia memerintahkan kepada para staf-stafnya pengajarnya untuk berkumpul di ruangannya. Di memberitahukan bahwa rapat tidak jadi di batalkan, dan akan segera di mulai.     

Setelah selesai rapat, Raisa datang menghampiri Rasty.     

"Selamat siang, Bu Rasty," sapa Raisa     

"Siang, ada apa, Bu Raisa?" tanya balik Rasty kepada, Raisa.     

"Kedatangan saya kemari untuk meminta tanda tangan kepada, Bu Rasty, terkait dengan pengadaan lomba cerdas cermat antar kelas, dan ini proposalnya, bisa Ibu baca terlebih dahulu," ujar Raisa.     

"Yasudah, bawa kemari!" cantas Rasty.     

Dan Raisa menyodorkan proposalnya.     

Rasty pun langsung menandatanganinya dengan cepat, tanpa membacanya sedikit pun.     

"Maaf, Bu Rasty, tidak membacanya terlebih dahulu?" tanya Raisa.     

"Gak perlu! Dan sekarang, Bu Raisa, bisa langsung pergi," ujar Rasty.     

Raisa pun pergi meninggalkan Rasty, karna memang itu juga kemauan dari Rasty, nampaknya Rasty ingin sendirian saja.     

"Apa lagi yang terjadi dengan mereka? Kenapa, Tante Rasty, tampak sangat murung dan stres?" gumam Raisa sambil berjalan.     

"Bu Raisa! Bu Raisa!" teriak Vivi sambil berlari menghampiri Raisa.     

"Iya, Bu Vivi, ada apa?"     

"Bu Raisa habis dari mana?" tanya Vivi.     

"Saya, habis dari ruangan kepala sekolah!" jawab Raisa.     

"Bu Raisa, apa kita bisa ngobrol sebentar?"     

"Iya, boleh, Bu Vivi, kita pergi ke kantin ya, sambil ngopi," ujar Raisa,     

"Iya, Bu."     

Mereka pun duduk di kantin sekolahan sambil mengobrol.     

"Bu Vivi, ingin bertanya apa?" tanya Raisa.     

"Ah, anu, Bu Raisa, apa benar hubungan Bu Raisa, dengan Bu Rasty, itu sudah baik. Soalnya tempo hari saya melihat kalian pergi bersama," tutur Vivi.     

"Iya, Bu Rasty, nampaknya memang begitu, hubungan kami sudah membaik."     

"Ah, syukur lah kalau begitu, berarti kita bisa dekat tanpa harus takut lagi,"     

Raisa pun tersenyum mendengar ucapan Vivi itu.     

"Iya, benar, Bu Vivi," jawab Raisa.     

"Kalau begitu, bagaimana kalau sepulang sekolah, kita jalan-jalan bareng lagi seperti dulu?" ajak Vivi.     

"Emm... kalau hari ini tidak bisa, Bu. Saya harus mengantarkan mama saya, terapi di rumah sakit," jawab Raisa.     

"Yah, sayang sekali, padahal saya itu kangen, jalan bareng sama, Bu Raisa." Vivi pun tampak sangat kecewa.     

"Bagaimana kalau besok?" usul Raisa.     

"Boleh juga, memangnya besok, Bu Raisa, ada waktu senggang?"     

"Saya rasa ada, saya usahakan ada. Karna saya juga pengen jalan-jalan sama, Bu Vivi lagi," ujar Raisa.     

"Wah, senangnya akhirnya kita bisa akrab lagi, Bu Raisa!"     

"Iya, Bu Vivi, saya juga senang,"     

Tring ....     

Bel masuk sekolah sudah mulai terdengar, dua wanita yang sedang saling mengobrol di Kantin itu pun kembali ke kelas masing-masing.     

***     

"Baiklah, untuk hari ini, seperti yang saya sudah bilang kemarin bahwa hari ini kita ulangan Matematika!" tegas Raisa memperingatkan para anak didiknya.     

"Yah ...!" teriak serempak para murid di kelas itu yang tampak keberatan.     

"Ok, sekarang ayo cepat-cepat bukunya, di masukkan ke dalam tas!" ujar Raisa.     

Dan seluruh murid-murid pun mengikuti perintah Raisa termasuk Aldo dan kawan-kawannya.     

"Ok, Aldo, bisa tolong bantu membagikan kertas soalnya?" tanya Raisa.     

"Baik, Bu Raisa," jawab Aldo.     

"Ciye ...." Lirih Nino di telinga Aldo.     

"Ssst!" Aldo pun segera kedepan untuk meraih kertas-kertas soal itu.     

Saat meraihnya Raisa tersenyum manis kepadanya.     

"Bu Raisa, jangan senyum-senyum dong," lirih Aldo.     

"Loh, memangnya kenapa?" tanya Raisa.     

"Nanti, aku bisa jatuh cinta beneran," jawab Aldo dengan suara yang pelan.     

"Ih, apaan sih, Aldo. Kamu mau saya hukum lagi?" ancam Raisa.     

"Eh, jangan dong," ujar Aldo.     

Sekitar 30 menit berlalu mereka semua mengerjakan tugas dari Raisa.     

"Kalian, tolong jangan berisik dan mencontek ya, karna Ibu mau pergi ke toilet dulu," ujar Raisa.     

"Baik, Bu!" jawab serempak para murid-murid itu.     

Namun ketika Raisa dedang pergi ke toilet, suasana kelas pun tampaklah sangat gaduh, mereka berpindah dan meninggalkan bangku masing-masing untuk saling mencontek.     

Tak terkecuali Nino dan juga Derry.     

Mereka melihat hasil jawaban dari Aldo. Karna di antara mereka bertiga hanya Aldo lah yang paling pandai pelajaran Matematika.     

"Do! Lihat nomor 5 dong, Do!" pinta Derry dengan wajah yang tergesa-gesa.     

"Nomor 4 dong, Do! Please!" ujar Nino.     

"Ah, kalian ini kebuasaan banget. Kalau ulangan pasti nyontek!" gerutu Aldo.     

"Yaelah, Do, sama temen juga!" ujar Derry.     

"Yaudah, ini!" Aldo pun pastah dan membiarkan dua temanya yang tukang nyontek itu mencontek jawaban miliknya.     

Saat mereka semua tengah asyik mencontek, tiba-tiba Raisa pun datang.     

"EHEM!" Suara Raisa yang berdehem keras.     

Sontak seluruh isi kelas menjadi kocar-kacir dan kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.     

"Kalian mencontek ya?" tanya Raisa dengan suara pelan tapi terdengar menyeramkan.     

Seketika suasana kelas mendadak senyap.     

"Mau sampai kapan kalian begini?!" tanya Raisa lagi, dan kali ini dengan suara yang lebih tinggi.     

"Tahu tidak, kalau tadi saya sengaja pergi ke toilet itu?" ujar Raisa.     

Dan semuanya masih terdiam.     

"Saya sengaja, mengetes kalian! Seberapa besar kalian bertanggung jawab dengan hidup kalian!"     

Raisa berjalan sembari melipat kedua tangan dan mengitari para murid-muridnya, yang terlihat sangat tegang.     

"Ternyata, meski kalian sudah cukup dewasa, tapi kalian belum berpikir dewasa ya?!" cantas Raisa.     

"Derry!"     

Brak!     

Raisa menggebrak bagian meja Derry, dan Derry pun tampak tersentak.     

"Berapa puluh juta orang tua kamu membayar uang SPP sekolah ini?!" tanya Raisa.     

Dan Derry pun langsung gemetaran mati kutu.     

Lalu Raisa melanjutkan ucapannya.     

"Mereka menghabiskan banyak uang untuk membiayai kalian! Mereka ingin kalian bersekolah di sekolah terbaik, dan bertaraf internasional! karna mereka ingin anaknya menjadi sosok yang pandai dan berguna!" tutur Raisa.     

Lalu Raisa berpindah ke arah Nino.     

Brak!     

Raisa kembali menggebrak bagian meja Nino.     

"Apa, kamu tahu betapa sulitnya di luaran sana, anak-anak yang putus sekolah karna masalah biaya?!" Nino terdiam.     

"Jangankan untuk bersekolah di tempat elite, sekolah di tempat yang biasa saja mereka tidak mampu lo! Dan sekarang kalian yang punya uang lebih dan di sekolahkan di tempat yang bagus tapi malah hanya main-main!" cerca Raisa.     

Setelah itu Raisa menghampiri Aldo.     

"Membantu teman itu bagus, jika berdampak baik, tapi kalau bantuan kamu hanya akan berdampak buruk kepada nasib teman-teman kamu nanti! Maka sebaiknya hentikan!" tegas Raisa kepada Aldo.     

"Apa kamu sudah paham?!" tanya Raisa kepada Aldo.     

"Paham, Bu," jawab Aldo.     

"Bagus, jangan beri contekan kepada dua temanmu yang bo... oh, bukan itu saya tidak akan menyebut mereka bodoh. Karna mereka masih ada harapan untuk cerdas. Maka dari itu saya akan meralat kata-kata saya, menjadi orang-orang yang tidak bertanggung jawab!"     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.