Bullying And Bloody Letters

Bertengkar



Bertengkar

0Rasty berjalan tergesa-gesa dan berbicara kepada Vivi, untuk membatalkan rencana meeting hari ini.     

Dan selanjutnya dia pergi ke rumah Nindi sang kakak.     

"Kenapa sih, dia itu sangat menyebalkan, apa pun yang dia inginkan selalu harus aku turuti, dia itu benar-benar sangat menyulitkan aku!" gerutu Rasty yang tampak sangat kesal.     

Kalau boleh memilih, Rasty pasti akan enggan menemui sang kaka, dia pasti akan lebih memilih mementingkan pekerjaannya saat ini.     

Tapi sayangnya, sang kaka sangatlah berkuasa saat ini, dan dia tidak bisa melawannya.     

Lagi pula Rasty merasa kasihan kepada Nindi yang saat ini menjadi orang cacat dan sangat membutuhkan dukungan darinnya.     

"Coba kalau sejak dulu aku tidak mengikuti sikap tamak dari kakaku! Pasti semua tidak akan menjadi seperti ini? Sekarang, hidupku sudah hancur!" garutu Rasty.     

Ckit!     

Dan dia pun sampai di depan rumah Nindi.     

"Loh, Rasty? Kamu kemari? Memangnya kamu tidak ke sekolah?" tanya Surya, yang kebetulan sedang berada di depan rumah dan hendak pergi kerja.     

"Iya, Mas, kak Nindi, menyuruhku kemari," jawab Rasty.     

"Oh, begitu, yasudah kalau begitu, aku pergi dulu, titip kakamu ya. Dan sebentar lagi perawatnya juga akan segera datang" ujar Surya.     

"Iya, Mas" jawab Rasty     

Dengan lengkah gontai dan malasnya, Rasty memasuki rumah sang kaka.     

Ceklek!     

Perlahan dia membuka pintu kamar kakanya.     

"Ah, syukur lah akhirnya kamu datang!" ujar Nindi yang tampak girang.     

"Mau ngapain sih, Kak?" tanya Rasty, dengan suara yang jengkel dan malas.     

"Kaka, ingin bercerita banyak kepadamu," ujar Nindi.     

"Yasudah ceritakan saja sekarang!" ketus Rasty.     

"Aku tidak mau kalau bercerita dengan seseorang yang tidak bersemangat mendengar ceritaku!" ketus Nindi.     

"Huftt... iya, aku dengarkan, sekarang Kak Nindi silahkan bercerita," ujar Rasty.     

"Nah begitu dong!" Nindi tersenyum sedikit.     

"Jadi begini, aku semalam tidak bisa tidur," ujar Nindi.     

"Terus mau apa lagi?" tanya Rasty.     

"Jadi, setiap aku memejamkan mata, suara Ninna terus menggema telingaku," jelas Nindi.     

"Bukannya, Kaka, sudah memiliki jimat dari dukun kemarin? Dan, Kaka, juga mempercayainya, 'kan?"     

"Iya, Kaka, percaya, dan hantu itu memang tidak ada, tapi sekarang Ninna yang malah menggangguku!"     

Rasty pun terdiam sesaat, karna dia benar-benar bingung harus berkata apa.     

Dia tidak punya solusi untuk hal ini.     

Kalau dipikir secara nalar apa yang sudah terjadi kepada dirinya dan sang kaka beserta keponakanya ini benar-benar sangat tidak masuk diakal.     

Kalau berurusan dengan penjahat bisa menghubungi polisi, menyewa bodyguard atau pun pengacara.     

Yang mereka hadapi sekarang adalah hantu, tentu saja hal itu membuatnya sangat bingung, harus bagimana menghadapinya?     

"Rasty, kenapa kamu diam saja?" Kamu tidak memberi solusi kelada, Kaka?!" tanya Nindi.     

"Aku juga bingung, Kak, harus bagimana? Ninna itu adalah putri kandung Kaka, dan kalau pun sekarang dia sering memanggil nama kaka ketika tertidur, itu karna memang Ninna dekat dengan, Kaka. Jadi anggap saja, kalau dia memanggil Kaka, itu karna dia sedang rindu," tutur Rasty.     

"Tapi, itu sangat mengganggu, Ras. Bahkan aku sampai tidak bisa tidur,"     

"Bagaimana kalau, Kak Nindi, pasrah saja, lalu temui dia lewat mimpi?"     

"Aku sudah pernah melakulannya, memang aku belum sempat bercerita kepadamu, karna waktu itu kamu sedang sakit,"     

"Lalu, apa selanjutnya?"     

"Maksud kamu?"     

"Apa yang terjadi selanjutnya, setelah Kaka, bertemu dengan, Ninna?"     

"Owh, selanjutnya ... hal yang menyeramkan pun terjadi,"     

"Menyeramkan yang seperti apa?" tanya Rasty lagi.     

"Aku memeluk, Ninna. Lalu tiba-tiba kepala Ninna, terlepas dan membuatku menjadi sangat ketakutan. Aroma anyir menusuk hidungku, bahkan sampai membuatku muntah," tutur Nindi.     

"Sebenarnya, aku juga pernah memimpikan hal yang sama dengan, Kak Nindi, aku bertemu Ninna yang tanpa kepala, setelah itu aku mendapatkan surat peringatan tentang kematian, Kaka, tapi, Kaka, tidak mempercayaiku," tutur Rasty.     

"Yah, aku minta maaf, soal itu. Dan aku berharap setelah ini, kita bisa lebih berhati-hati lagi, yang terpenting kita sudah punya jimat ini," ujar Nindi seraya memegang jimatnya.     

"Yasudah, anggap saja, kalau Kaka, tidak bermimpi apa pun," tegas Rasty.     

"Iya," jawab Nindi,     

Lalu Rasty pun berdiri dan hendak pergi meninggalkan Nindi.     

"Kamu mau kemana?" tanya Nindi.     

"Aku akan pergi ke sekolah, aku kan harus kerja," ujar Rasty.     

"Tidak! Tidak boleh! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" pinta Nindi kepada Rasty.     

"Tapi, Kak! Aku ini harus kerja, aku sudah terlalu sering bolos!"     

"Aku tidak peduli, pokoknya aku mau kamu tetap di sini!"     

"Lalu bagaimana dengan pekerjaan ku? Aku ini sudah sering bolos!?"     

"Sudah aku bilang bahwa sekolah itu adalah milikku, jadi kamu tidak perlu memikirkannya! Meski pun satu bulan kamu tidak masuk sekali pun, kamu tetap akan menjadi kepala sekolahnya! Tidak berpengaruh sama sekali terhadap karir mu!"     

"Tapi, Kak—"     

"Tetap disini, Rasty, aku minta kamu tetap berada di sini!" tegas Nindi.     

"Kak, aku ini bukan perawat Kaka, lagian     

Kaka sudah punya prawat khusus, 'kan?"     

"Iya, tapi—"     

"Mas Surya, sudah membayar orang untuk merawat, Kak Nindi, jadi tolong jangan menyulitkan ku!"     

"Rasty! Kamu itu tega ya, sama Kaka sendiri?!"     

"Ini bukan masalah tega atau tidak tega, Kak! Tapi aku juga punya kehidupan sendiri aku tidak mau terus terbebani seperti ini!"     

"Jadi, kamu menganggap Kakamu, ini beban?!"     

"Iya! Bahkan karna Ka Nindi, hidupku menjadi kacau begini?!"     

"Apa maksud mu gara-gara, Kaka?!"     

"Karna kalau bukan karna, Kaka, pasti aku bisa hidup tenang tanpa beban, aku menyesal sudah mengikuti keserakahan, Kak Nindi!"     

"Hey, Rasty! Perlu kamu ingat kalau sebelumnya kamu juga menikmati semua ini! Kamu bisa kuliah di luar negeri, bisa punya rumah sendiri dan sekarang punya jabatan terbaik di Pratama Jaya High School! Apa itu tidak cukup!? Bahkan dulu kamu juga bangga, 'kan dengan semua itu?!" sindir Nindi kepada Rasty.     

"Iya! Iya! Aku akui memang dulu aku sangat bangga, tapi tidak dengan sekarang! Aku sudah bosan, hidup penuh ketakutan!" ujar Rasty dengan wajah kesalnya, saking kesalnya dia berbicara dengan nada tinggi dan menunduk mendekat ke arah kakaknya.     

"Aku muak, Kak Nindi!" teriak Rasty.     

Plak!     

Nindi pun menampar wajah adiknya yang sedang menuduk dan mentapnya dengan marah itu.     

"Sudah berapa kali, Kak Nindi, menamparku?!" tanya Rasty.     

Sedangkan Nindi hanya terdiam dengan gigi gemertaknya.     

"Kalau seandainya saja, kamu bukan Kakaku! Sudah pasti aku akan membalas perbuatan mu ini!" ancam Rasty.     

"Dasar, Adik Sialan!" umpat Nindi.     

Dan kembali Rasty mendekatkan wajahnya kearah sang kaka.     

"Terserah!" cantasnya, dan Rasty pun berlalu pergi meninggalkan kakanya.     

Dan tepat saat itu, Rasty berpapasan dengan perawat sang kaka.     

"Tolong jaga orang itu dengan baik! Saya mau pergi!" ujar Rasty kepada perawat itu.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.