Bullying And Bloody Letters

Kehadiran Eliza



Kehadiran Eliza

0Hujan yang mengguyur pagi ini, terasa dingin sepi dan membuat suasana bosan kian merajai.     

Tampak Nindi masih duduk di atas kursi rodanya sambil memandang ke arah luar rumahnya yang masih dengan guyuran hujan.     

Sesaat dia mengecek-ngecek ponselnya. Dia menunggu balasan chat dari Rasty sang adik, bahkan dia juga sudah berkali-kali menelponnya tapi Rasty tak mau mengangkatnya.     

"Rasty, kamu itu benar-benar menyebalkan ya!" gerutu Nindi.     

Dan tak lama orang yang bertugas merawatnya pun datang dan membawakan nampan berisi sarapan untuk Nindi.     

"Maaf, Bu. Sekarang makan dulu ya, saya sudah selesai membuatkan sarapannya," tukas perawat itu.     

"Aku, tidak mau makan! Aku tidak nafsu!" ketus Nindi.     

"Tapi, Bu Nindi, Ibu harus makan," ujar perawat itu seraya menyendokan nadi untuk menyuapi Nindi.     

Tapi nampaknya hal itu malah membuat Nindi semakin kesal, dan Nindi pun malah menampik makanan yang ada di nampan itu.     

Krompyang!     

Seketika, Nampan pun langsung terjatuh dan piring serta makanan yang ada di dalamnya terjatuh dan pecah berhamburan.     

Tampak perawat itu sangat terkejut melihat kemarahan Nindi.     

"Ibu, Nindi, kanapa sampai marah begitu?!" tanya perawat itu.     

"Pergi!" usir Nindi.     

"Tapi, Bu Nindi, bagaimana kalau, pak Surya marah kepada saya?"     

"Pergi! Saya minta kamu pergi!"     

"Tapi, Bu—"     

"PERGI!" teriak Nindi sekali lagi dengan suara yang jauh lebih kencang.     

Akhirnya perwat itu pun pergi meninggalkan Nindi dengan sangat terpaksa.     

Padahal Surya sudah mewanti-wantinya untuk menjaga Nindi dengan baik, tapi nampaknya Nindi adalah orang yang sangat sulit untuk di mengerti.     

"Menyebalkan! Kenapa semua orang sangat menyebalkan! Tidak Rasty, tidak perawat itu! Semua sangat menyebalkan!" gerutu Nindi yang menoceh sendiri.     

Lalu di saat itu juga dia baru teringat bahwa jimatnya masih berada di kamar.     

"Aduh, sial! Kenapa aku lupa membawa jimat itu. Dan jimat itu kan berada di dalam kamar! Bagaimana aku bisa naik tangga sendiri?. Sudah pasti aku tidak akan bisa!"     

Bruak!     

Nindi yang kesal menggebrak kursi rodanya sendiri.     

"Kenapa aku malah mengusir perawat, Sialan itu!"     

Nindi pun mendorong kursi rodanya dan berhenti tepat di depan tangga.     

"Ah sialan! Aku terpaksa harus merangkak seperti bayi," gumam Nindi.     

Lalu Nindi pun turun dari kursi rodanya lalu naik ke atas tangga dengan cara merayap setengah merangkak.     

"Ah capek banget!" keluh Nindi.     

Baru saja dia sampai di pertengahan tangga, tapi tiba-tiba dia menghentikan pejalanannya.     

Karna tepat di atas tangga, sudah ada Eliza dengan wajah datarnya dan menggunakan seragam sekolah dengan tubuh yang bersimbah darah.     

"Tante Nindi, mau kamana?" tnaya Eliza dengan suara pelan namun terdengar sangat menyeramkan.     

"Tolong! Tolong jangan mendekatiku!" sergah Nindi.     

"Apa, Tante, sudah siap mati sekarang?" tanya Eliza lagi.     

"Pergi! Pergi! Jangan mendekatiku!" teriak Nindi.     

"Aku akan terus mendekati, Tante Nindi, sampai, Tante, benar-benar mati," tukas Eliza.     

"Tolong, Eliza! Hentikan semuanya aku minta maaf, karna sudah mrmbunuhmu!"     

"Sudah, terlamabat, Tante! Kata maaf tidak akan bisa mengembalikan hudupku di dunia ini," ujar Eliza.     

"Kalau begitu! Pergi sana ke akhirat! Jangan mengganggu manusia lagi!" sergah Nindi.     

"Aku tidak akan bisa pergi ke sana! Sebelum aku membunuh kalian, itu perintah dari ibuku," jawab Eliza.     

"Dasar, Rima sialan! Gara-gara dia aku di ikutu oleh arwah orang yang sudah mati!" gumam Nindi.     

Mendengar Nindi yang masih menghina sang ibu, perlahan Eliza berjalan mendekat ke arah Nindi.     

"Jangan sekali-kali menghina ibuku! Karna aku tidak akan pernah bisa terima! Sampai kapan pun itu!" ucap Eliza.     

Nindi pun terdiam sesaat, dan dia berusaha memutar balik untuk turun kembali dari tangga, namun sayangnya, belum sampai turun Eliza menghentiannya.     

Eliza menarik rambut Nindi di bagian depan, sehingga membuat Nindi meraung-raung kesakitan.     

"Tolong! Tolong! Sakit! Hik hik sakit!" teriak Nindi.     

Haha haha haha haha!     

Haha haha haha haha!     

Haha haha haha haha!     

Eliza hanya menanggapi permohonan Nindi dengan tertawaan keras.     

"Tolong lepaskan!" pinta Nindi kepada Eliza.     

Eliza menginjak bagian tangan Nindi, lalu menendang tubuh Nindi hingga Nindi terjatuh.     

"Akhh! Tolong!" teriak Nindi seraya tubuhnya berseluncur dari atas tangga.     

Nindi sudah merasa putus asa dan mengira mungkin ini hidupnya akan berakhir hari ini.     

Ceklek!     

Terdengar suara seseorang yang sedang membuka pintu.     

"Loh, Mama, kenapa?!" teriak Surya yang keheranan.     

Surya segera menolong istrinya yang sedang terbaring tak berdaya di bawah tangga.     

"Mama, Mama, kenapa?!" tanya Surya.     

"Eliza! Eliza, Pa!" teriak Nindi.     

"Eliza?! Makasudnya?!"     

"Dia, mau balas dendam sama, Mama, Pa!"     

"Mama, lagi halusinasi lagi ya? Lalu di mana perawat yang menjaga, Mama?!"     

"Per ... gi ...." Nindi pun pingsan.     

"Ma! Mama!" teriak Surya.     

Dan Surya segera mengangkat tubuh sang istri dan membawanya pergi ke rumah sakit.     

***     

Beberapa saat kemudian, Nindi pun terbangun dan menyadari dirinya sedang terbaring di kasur rumah sakit.     

"Aku lagi di rumah sakit ya?" tukas Nindi yang masih mengedarkan pandangannya melihat seluruh ruangan rumah sakit untuk memastikannya.     

"Aduh, tubuhku sakit sekali, rasanya seperti mau copot tulang-tumangnya," keluh Nindi yang berusaha untuk bangun.     

Ceklek!     

"Mama! Mama udah sadar?" tanya Surya yang baru saja memasuki ruangan.     

"Papa, Mama, kok ada di sini?" tanya Nindi kepada Surya.     

"Tadi, Mama, pingsan makanya, Papa, bawa kemari,"     

Seketika Nindi langsung teringat dengan kejadian yang dia alami sebelum pingsan.     

Dia baru sadar kalau tubuhnya saat ini terasa sangat nyeri itu, karna dia baru saja terjatuh dari tangga rumahnya. Dan itu semua di sebankan oleh kedatangan Eliza yang hendak menuntutkan balas kepadanya.     

Nindi pikir kejadian tadi adalah akhir dari hidupnya, namun rupanya, dia masih terselamatkan berkat kedatangan Surya sang suami.     

"Papa, kok tadi cepet banget pulangnya?" tanya Nindi.     

"Iya tadi, Papa, kembali ke rumah untuk mengambil berkas yang ketinggalan, tapi malah Papa melihat mamah sudah tergeletak di lantai," jelas Surya.     

"Oww, begitu ya, Pa," tukas Nindi.     

"Tadi, Mama, bilang soal Eliza yang menuntut balas kepada, Mama, maksudnya Mama, apa?" tanya Surya.     

Seketika Nindi pun terdiam sesaat karna mendengar pertanyaan dari suaminya itu.     

Tadi sebelum dia pingsan sempat menyebut nama Eliza yang hendak membalas dendam kepadanya, karna dia pikir hidupnya akan berakhir saat itu juga.     

Tapi rupanya dia salah, dia hanya pingsan bukan mati.     

"Loh, kok malah diam sih, Ma? Jawab dong," pinta Surya.     

'Duh, bodohnya aku, kenapa aku malah berbicara begitu tadi, kalau begini caranya Mas Surya, bisa tahu kalau aku yang membunuh Eliza,' batin Nindi.     

"Ah, enggak kok, Pa. Kayaknya Mama sedang berhalusinasi karna Mama habis terjatuh," jelas Nindi yang beralibi.     

Tapi nampaknya Surya tidak begitu yakin dengan jawaban istrinya itu.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.