Bullying And Bloody Letters

Tidak Akan Terima



Tidak Akan Terima

0"Aku adalah orang jahat! Sampai kapan pun aku akan tetap menjadi jahat!" ucap Rasty.     

"Aku tidak akan membuat mereka menjadi tenang, Kaka ku sudah pergi, keponakanku juga sudah pergi! Aku tidak punya siapa-siapa lagi!"     

Di dalam ruangannya, Rasty menangis sesenggukan, karna meratapi kejadian yang sufah menimpanya saat ini.     

"Kalau hantu itu terus menerorku karna perintah dari, Rima! Maka aku akan membunuh Rima!"     

Kini Rasty tak lagi bisa berpikir dengan jernih. Yang ada di otaknya adalah bertahan hidup, untuk kembali mendaparkan apa yang dulu menjadi miliknya.     

"Pokoknya, aku tidak akan menyerahkan jabatanku kepada siapa pun, termasuk Raisa! Dia harus mati, untuk apa aku berbaikkan dengannya? Toh pada akhirnya dia tidak bisa membantuku!"     

Rasti tampak uring-urimgan di dalam ruangan itu, dia terus mencari-cari cara untuk menyingkirkan Raisa, dari posisi yang akan menggantikannya.     

"Tapi, kalau aku menyingkirkan secara terang-terangan maka, Mas Surya, akan menendangku lebih jauh lagi, mungkin sebaikanya aku akan menyingkirkan Raisa dengan cara halus," gumam Rasty seraya tersenyum.     

***     

Sedangkan Raisa masih termenung, memikirkan tentang dirinya yang akan menggantikan jabatan dari Rasty.     

Dulu merebut apa yang seharusnya mejadi miliknya adalah sebuah harapan, tapi tidak untuk saat ini, dia sudah nyaman bekerja menjadi staf pengajar dan wali kelas saja.     

"Kalau aku menerima, keputusan dari Papa, lalu bagimana dengan, Bu Rasty? Pasti dia akan kesal sekali karna jabatan sudah aku rebut!" tukas Raisa.     

***     

Siang hari yang sedikit mendung, terlihat kilatan petir yang saling bersahut-sahutan.     

Rasty masih terdiam di dalam ruangannya, dia teringat kenangan indah ketika bersama Nindi mendiang kakanya.     

Dan dia pun juga kembali teringat dengan Ninna.     

Dulu hidupnya dengan sang kakak, sangat bahagia.     

Dia memendapatkan segalanya, tapi semua berubah saat dia dan kakanya berhasil membunuh Eliza.     

Karna dari situlah awal dari sebuah bencana.     

"Aku sudah hancur! Tapi aku tetap harus bertahan, karna aku paling tidak suka di injak-injak, aku selalu ingat kata kak Nindi, bahwa kita tidak boleh di bawah, kita harus di atas!" ujar Rasty penuh percaya diri.     

Dia meraih jimat yang ada di dalam sakunya itu, lalu dia memegangnya erat-erat.     

"Kak Nindi, bisa mati karna dia tidak membawa jimat ini, maka dari itu, aku tidak boleh sedikit pun sampai melupakan ini!" gumamnya.     

Tok tok tok!     

Terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangannya.     

"Aku tidak boleh terlihat habis menangis, aku harus terlihat kuat," gumam Rasty.     

"Iya, silahkan masuk!" teriak Rasty.     

Ceklek!     

"Selamat siang, Bu Rasty, " sapa Raisa     

Akhirnya walaupun dia merasa ragu-ragu untuk datang ke tempat ini tapi akhirnya, Raisa pun tetap menemui Rasty.     

Karna dia merasa tidak enak dengan Rasty.     

"Maaf, ada perlu apa, Bu Raisa, datang kemari?" tanya Rasty.     

"Maaf, Bu Rasty, saya ingin mengobrol, sebentar dengan, Bu Rasty, apa boleh?" tanya Raisa.     

Dan Rasty pun mengangguk, "Baik, silahkan duduk, Bu," tukas Rasty.     

Dan Raisa pun duduk, dan dengan perasaan yang ragu-ragu tapi memaksakan, akhirnya, Raisa pun mengatakannya.     

"Bu, sebelumnya, kedatangan saya ke ruangan ibu ini, adalah, karna saya ingin mengucapkan turut berduka cita, atas meninggalnya, Bu Nindi," tukas Raisa.     

'Cih, sok sedih banget,' ucap Rasty dalam hati.     

Tapi Rasty tetap berusaha untuk terlihat tenang dan tidak membenci Raisa.     

"Iya, Bu Raisa, terima kasih, atas perhatiannya, dan saya meminta maaf, atas perlakuan kasar saya terhadap, Bu Raisa, tempo hari,"     

"Iya, gak apa-apa, kok," jawab Raisa.     

"Dan selamat ya, Bu Raisa, karna sebentar lagi, Bu Raisa, akan menggantikan posisi saya, Bu Raisa akan menajadi kepala sekolah baru di Pratama Jaya High School," ujar Rasty.     

"Justru itu yang menjadi masalah bagi saya,"     

"Loh, memangnya kenapa, Bu Raisa?"     

"Ya, karna sejujurnya, saya itu tidak terlalu berminat menjadi kepala sekolah, terlebih Bu Rasty, sudah cukup baik menjadi kepala sekolah yang sebelumnya," tutur Raisa.     

"Loh, kenapa begitu? Bukankan mendapatkan apa yang harusnya menjadi milik Bu Raisa, itu adalah sebuah impian dan harapan yang selama ini Bu Raisa inginkan?" tanya Rasty.     

"Iya, Bu. Benar. Tapi itu dulu, bukan sekarang,"     

"Loh, kenapa, Bu?"     

"Karna sekarang ini saya justru lebih nyaman mengajar anak-anak ketimbang menjadi keoala sekolah,"     

"Lalu apa yang akan, Bu Raisa, lakukan lagi?"     

"Saya, akan memaksa, Papa saya, agar Bu Rasty tetap menjadi kepala sekolahnya,"     

"Tapi, apa mungkin, Pak Surya, akan mau,"     

"Entalah kalau yang sudah-sudah memang agak sulit, karna Papa saya itu sangat keras, apa yang menjadi keputusannya, maka harus di turuti, tapi saya akan berusaha, agar beliau mau mengurungkan niatnya untuk menjadikan saya sebagai kepala sekolah baru," jelas Raisa.     

Rasty merasa sangat bahagia mendengar keputusan dari Raisa itu, tapi dia tetap berpura-pura untuk tidak menyukainya.     

Rasty berusaha sebisa mungkin agar dia tidak terlihat memiliki ambisi untuk jabatan ini.     

"Jangan, lakukan itu, Bu Raisa, tetap lah mengikuti apa yang Papa, anda inginkan, lagi pula anda itu lebih cocok berada di posisi itu ketimbang saya," tukas Rasty yang sedang merebdahkan diri.     

Sengaja dia berpura-pura merendah agar mendapatkan apa yang dia iginkan.     

"Bu Rasty, tidak boeh berbicara seperti itu, lagi pula selama ini kerja, Bu Rasty, juga cukup baik, kok. Jadi gak ada alasan untuk menurunkan jabatan dari Bu Rasty." Jelas Raisa.     

'Memamg itu yang aku mau' batin Rasty.     

"Baiklah, hanya itu yang ingin saya ucapkan, kalau hegitu saya permisi dulu, Bu Rasty, saya mau ke ruangan saya sendiri," tukas Raisa.     

"Baik, Bu Raisa, silahkan," ujar Rasty seraya tersenyum sinis melihat langkah kaki Raisa yang berjalan menjauh dari ruanganya.     

"Percuma jauh-jauh sekolah di luar negeri, tapi kalau otaknya masih bodoh," gumam Rasty.     

Setelah keluar dari Rasty, Raisa pun kembali masuk ke dalam ruangannya sendiri.     

Dan saat dia melihat ke arah mejanya, tapat di atas sebuah keyboard komputer, terlihat ada secarik kertas yang tergeletak.     

"Loh, ini surat apaan? Kok bisa ada di sini sih?" gumam Raisa.     

Lalu dia membuka liparan surat itu.     

Dan di dalam surat itu tertulis sebuah kata-kata peringatan.     

'Jangan percaya dengan dia! Dia itu iblis, yang sedang berpura-pura baik'     

Bunyi tulisan dalam secarik kertas itu.     

"Dia yang berpura-pura baik itu, siapa?" ucap Raisa.     

"Apa mungkin, Tante Rasty ?" ujar Raisa lagi.     

Raisa masih tidak yakin jika dia yang pura-pura baik itu adalah Rasty, karna yang dia lihat saat ini, Rasty sudah banyak barubah dan terlihat sangat baik.     

"Ah, gak mungkin kalau, Bu Rasty masih jahat!! Aku yakin kok, kalau dia itu akan berubah, tidak mungkin dia memiliki rencana jahat terhadapku," gumam Raisa.     

Tok tok tok!     

"Iya, silahkan masuk!" sahut Raisa.     

To be Continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.