Bullying And Bloody Letters

Ulang Tahun Raisa



Ulang Tahun Raisa

0"Selamat siang, Bu Raisa," Sapa Vivi.     

"Selamat siang, Bu Vivi, ada perlu apa ya?" tanya Raisa.     

"Saya, ingin berbicara, tentang keputusan dari pak Surya, karna saya dengar posisi Bu Rasty, akan segera di lengserkan dan akan di gantikan oleh, Bu Raisa, apakah itu benar?" tanya Vivi.     

"Iya, benar, Bu. Tapi sepertinya aaya belum siap," jawab Raisa.     

"Loh, memangnya kenapa?"     

"Entalah, Bu Vivi, saya merasa tidak nyaman saja, bila menggantikan posisi orang yang sama sekali tidak pantas untuk di gantikan," jelas Raisa.     

"Bu, saya pikir apa yang menjadi keputusan pak Surya itu sudah benar,"     

"Benar bagaimana, Bu Vivi? Saya rasa Papa saya itu terlalu berbihan, saya belum siap menjadi kepala sekolah sama sekali,"     

"Tapi, saya sangat mendukung jika, Bu Raisa menjadi kepala sekolah!"     

"Kenapa, Bu Vivi, bisa mendukung saya sampai yakin itu?"     

"Ya karna, saya yakin, selain Bu Raisa, pantas mendapatkannya, sudah pasti anda akan menjadi pemimpin yang adil, dan tanpa berpilih kasih," jelas Vivi.     

"Tapi, bukankah selama ini, bu Rasty, itu juga adil dan profesional?"     

"Tidak sepenuhnya! Beliau sangat pilih kasih, hanya saja, ketika kehadiaran Bu Raisa, perlahan beliau menjadi sedikit lebih profesional, dan tidak terlalu memperlihatkan sifat pilih kasihnya, tapi akhir-akhir ini beliau menjadi sangat murung dan perkerjaannya menjadi sangat berabtakan, jadi wajar saja kan kalau, pak Surya, selaku pemilik yayasan ini memutuskan untuk mrnggantikan beliau dengan, Bu Raisa, karna memang sekolah ini butuh, pemimpin yang adil, baik dan profesional tentunya! Apa lagi anda adalah keturunan dan pewaris tunggal sekolah ini, dan seluruh kekayaan Sucipto," tutur Vivi yang menjelaskan kepada Raisa.     

Raisa menjadi sedikit terbuka pikirannya karna mendengar ucapan dari Vivi itu.     

Dan mungkin saja surat misterius yang baru saja dia dapat kan tadi adalah pertanda, jika ternyata Rasty itu tidak benar-benar, sudah berubah, dan bisa saja, Rasty hanya berpura-pura baik terhadaptnya saat ini.     

"Bu, ingat, bagiamana pun juga, bu Rasty itu sudah membunuh Eliza, jadi Bu Raisa harus berhati-hati," ujar Rasty.     

"Dari mana, Bu Vivi, tahu kalau Bu Rasty, sudah membunuh Eliza adik saya?"     

"Ya, saya, tahu, sebab berkali-kali ibu bebicara kepada Aldo, dan saya diam-diam mendengarnya, tapi sebelumnya maafkan atas kelancangan saya ini ya, Bu, " tukas Vivi.     

"Iya, Bu Vivi, tidak apa-apa, dan saya malah berterima kasih, karna Bu Vivi, sudah nengingatkan saya," ujar Raisa.     

"Yasudah, kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu Raisa,"     

"Baik, Bu Vivi,"     

Setelah kedatangan Vivii, kini Raisa pun menjadi yakin, bahwa dia memang harus menuruti perintah dari sang ayah, bahwa dia akan segera menggantikan Rasty, sebagai kepala sekolahnya.     

Karna dengan begitu, dia juga bisa sembari menyelidiki Rasty, apakah dia benar-benar akan berubah atau tidak.     

Lagi pula posisi kepala sekolah memang tidak bagus untuknya, yang seorang narapidana. Harusnya Rasty mendekam di penjara karna sudah membunuh Eliza, bukannya masih di biarkan berada di dalam sekolah dengan jabatan yang bagus.     

Namun karna Raisa masih memiliki rasa belas kasihan kepada Rasty akhirnya membuat mereka memutuskan untuk membiarkan Rasty masih hidup bebas di luaran.     

Rasty sudah hidup sendirian, sebatang kara dan tidak memilki siapa pun lagi di dunia ini, maka akan semakin lebih menderita lagi jika dia berada di penjara.     

Oleh karna itulah Raisa dan Surya membiarkan dia hidup bebas dan enggan menuntutnya.     

Tapi lain halnya kalau sampai Rasty berbuat yang macam-macam lagi.     

Raisa dan Surya tidak akan pernah tinggal diam.     

***     

Tring ...!     

Bel pulang sekolah pun mulai berbunyi, dan seluruh siswa-siswi pun berhamburan keluar dari dalam kelas     

Tak terkecuali dengan Raisa, dengan berjalan santai, serta membawa satu tumpuk buku tulis dia berjalan menuju ruangannya.     

"Hai, Bu Raisa!" sapa Aldo.     

"Hai, Aldo. Ada apa? Kamu mau bantuin bawa buku ya?" tanya Raisa dengan terang-terangan.     

"Iya, kok, Bu Raisa, tahu?"     

"Tahu dong, kamu kan cowok gentleman, hehe!"     

"Ih, Bu Raisa, nih, kalau ngomong suka bener deh," ujar Aldo.     

Dan dengan penuh percaya diri dan senyuman manisnya, Raisa menaruh tumpukan buku itu ke tangan Aldo.     

"Terima kasih ya, Aldo, si Cowok Gentleman," tukas Raisa dengan suara meledek.     

"Duh ngeledek ni ya!"     

"Engga, Aldo, saya ini muji kamu lo,"     

Dan ketika berada di dalam ruangan Raisa tiba-tiba, suasana begitu sepi, dan sunyi, serta lampu dalam ruangan itu juga mati, tidak seperti biasanya. Padahal ruangan Raisa itu bagian lampunya selalu dalam keadaan menyala sepanjang waktu, karna memang ruangnya yang berada di tengah dan tidak memiliki pentilasi membuat ruangan itu menjadi sangat gelap.     

"Ini lampu, kenapa, tumbenan mati sih?" gumam Raisa.     

"Gak, tau juga deh, Bu," jawab Aldo.     

Lalu Raisa meraba-raba, bagian tombol on, tapi tetap saja lampu tidak bisa menyala.     

"Loh, ini mati lampu atau bagimana sih?!" tanya Raisa sekali lagi.     

"Sabar ya, Bu Raisa, tunggu sampai hitungan ke tiga ya!"     

"Hah?! Maksudnya?!"     

"Satu dua, ti...ga!"     

Dan lampunnya pun menyala dengan terang benderang.     

Tampak ruangan Raisa terlihat sangat berbeda, ada hiasan balon dan pita warna-warni yang mempercantik ruangan itu.     

Dan di ruangan itu sudah ada Surya dan seluruh anak didiknya bersembunyi hingga berjubel dalam ruangan itu.     

"Selamat ulang tahun, Bu Raisa," tukas Aldo seraya meniup terompet mini di hadapan Raisa.     

Raisa pun tampak sangat kaget melihat kejutan untuk dirinya itu.     

"Selamat ulang tahun ya, Sayang, semoga kamu sehat selalu dan semakin bertambah dewasa, Papa, sayang sama Raisa, dan Raisa adalah kebanggan, Papa," tukas Surya seraya memeluk Raisa dengan hangat.     

Raisa pun juga turut menyambut pelukan dari sang ayah itu.     

Akhirnya, dia kembali merasakan pelukan hangat yang dulu pernah hilang itu.     

Pelukan seorang ayah, yang sudah bertahun-tahun, hampir tidak pernah ia rasakan, dan bari ini dia kembali merasakannya lagi, dan betapa bahagianya hati Raisa saat ini.     

"Terima kasih, Papa, terima kasih, Raisa bahagia sekali," tukas Raisa seraya menjatuhkan butiran bening ke pipinya     

"Maafkan, Papa, ya, Sayang, selama ini, Papa, sudah melupakan kamu. Papa memang sangat bodoh, bahkan Papa, hampir saja kehilangan kamu," tukas Surya, dengan suara bergetar seperti ingin menangis.     

"Iya, Pa. Raisa sudah memaafkan, Papa. Dan Raisa sangat bahagia, melihat Papa, kembali dalam pelukan, Raisa, Papa, jangan pergi lagi ya! Jangan lupakan Raisa dan Mama!"     

"Iya, Sayang, iya!" jawab Surya, sambil mengecup kening Raisa dengan lembut.     

Tampak Vivi dan para murid-murid Raisa yang lain tengah melihat Raisa dan Surya dengan tatapan yang terharu.     

Hari ini mereka dapat melihat sang pemilik Yayasan membaur dengan yang lainnya, dan tampak menunjukan ikatan emosionalnya dengan putrinya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.