Bullying And Bloody Letters

Membenci



Membenci

0Setelah mendengar penjelasan dari Vivi, kini Raisa dapat menyimpulkan bahwa, Kejadian ini sudah pasti di sebabkan oleh Eliza.     

Raisa tidak berani menemui Rasty untuk membicarakan hal ini, karna sudah pasti Rasty akan marah lagi kepadanya.     

"Kalau, Mama, mendengar hal ini, pasti, Mama, akan bahgia sekali," gumam Raisa.     

"Bu Raisa, bicara apa?" tanya Vivi.     

"Eh, enggak kok, Bu," jawab Raisa.     

Dan setelah itu mereke kembali ke kelas masing-masing.     

Raisa dan Aldo berjalan beriringan.     

"Bu, apakah kejadian ini ada hubungannya dengan Eliza?" tanya Aldo.     

"Ya, tentu saja hal itu sudah pasati ada hubungannya dengan Eliza," jawab Raisa.     

"Bagaimana perasaan, Bu Raisa, saat ini?"     

"Maksudnya?"     

"Ya, sekarang tidak ada lagi yang merebut kebahgian, Kak Raisa, dia sudah mati?"     

"Entalah, ini terasa aneh bagiku, bahkan aku tidak pernah merasa bahgia sedikit pun, meski orang-orang yang sudah menyakiti ibuku sudah mati" tutur Raisa.     

"Ah, yasudah kalau begitu, saya sepertinya juga salah sudah bertanya kepada, Bu Raisa,"     

"Oya, tidak apa-apa, kok," jawab Raisa.     

"Yasudah, semoga, Bu Raisa, bisa berpikir lebih baik lagi."     

***     

Di rumah Rima.     

"Iya, Sayang, Mama sangat bangga kepadaku, akhirnya, kamu sudah melakukan apa yang, Mama, mau. Sekarang tinggal satu lagi, yang belum mati, yaitu Rasty." tutur Rima. Nampaknya Rima sedang berbicara dengan seseorang yaitu Eliza.     

"Tapi, kalau Rasty, sebaiknya membunuhnya, jangan terburu-buru, karna aku ingin dia mati perlahan-lahan, dan merasa ketakutan terlebih dahulu" ujar Rima lagi.     

Suara obrolan Rima dengan seseorang yang di duga Eliza itu terdengar hingga sampai di luar.     

Dan kebetulan Raisa baru saja pulang dari kerja.     

"Mama, pasti sedang mengobrol dengan Eliza," gumam Raisa, seraya menempelkan daun telinganya di sisi pintu.     

"Sebaiknya, aku masuk atau tidak ya?" tukas Raisa lagi yang merasa kebingungan.     

"Tapi, sebaiknya aku harus masuk saja, dan sekalian saja, biar aku bisa bertemu dengan arwahnya, Eliza,"     

Ceklek!     

Raisa, pun membuka pintu kamar sang ibu.     

"Mama!" panggil Raisa.     

"Hey, Raisa! Kamu sudah pulang, Sayang?" sapa sang ibu.     

"Ma! Mama ngobrol sama siapa?" tanya Raisa.     

"Mama, ngobrol sama, Eliza," jawab Rima dengan santai.     

"Lalu di mana, Eliza?" tanya Raisa lagi.     

"Dia ada di belakang kamu," jawab Rima.     

"Mana?" Raisa tampak kebingungan dan mencari-cari keberadaan Eliza, teturama di tempat yang di tunjuk oleh ibunya. Tapi sama sekali Raisa tak melihat apa pun di situ.     

"Kamu tidak bisa melihatnya ya?" tanya Rima.     

"Iya, Raisa tidak bisa melihat apa pun!" jawab Raisa.     

"Mungkin memang hanya Mama, saja yang dapat melihatnya, tapi percayalah, kalau Eliza itu benar-benar ada di sini," jelas Rima, yang mencoba meyakinkan Raisa.     

"Iya, Ma, Raisa percaya kalau Eliza ada di sini! Dan Mama, berbohong, tapi Raisa mohon, Ma! Tolong bilang kepada Eliza, bahwa dia harus menghentikan semua ini!" pinta Raisa.     

Dan seketika Rima pun terdiam sesaat, nafasnya tersengal dan nampaknya dia marah mendengarkan permohonan dari Raisa itu.     

"Kamu pikir, semudah itu, Mama akan melepaskan para penjahat itu?!"     

"Tapi, Ma! Mereka sudah mendapatkan balasan! Bahkan Tante Nindi, juga sudah mati!" ujar Raisa.     

"Nindi dan Jeninna, memang sudah mati! Tapi Rasty masih hidup!"     

"Tapi, Tante, Rasty, 'kan sudah berubah, dia sudah sadar akan perbuatannya, bahkan Tante Rasty sudah meminta maaf dengan berlutut di hadapan, Mama, 'kan!?"     

"Aku tidak peduli! Meski dia sudah bersujud di kaki ku Sekalipun, nyawa tetap harus di bayar dengan nyawa!" tegas Rima.     

"Tapi kita ini, tidak boleh menyimpan dendam, Ma!"     

"Masa bodo! Sisi baik, Mama, sudah habis, Rai!"     

"Ma ... tolonglah, Ma!"     

"Cukup, Raisa! Jangan bikin Mama, jadi kesal!"     

"Ma, hilangkan demdam di hati, Mama,"     

"Enggak! Dendam ini tetap akan ada di hati Mama, sampai mati pun dendam ini akan ada di hati Mama sampai mereka mendapatkan balasannya!" tegas Rima.     

Akhirnya Raisa pun memilih untuk mengalah, lagi-lagi Raisa terpaksa harus mengalah.     

Raisa tidak mau bersitegang dengan sang ibu.     

Raisa masih memikirkan kesehatan sang ibu, dia tidak mau jalan ibunya menjadi drop lagi.     

Tidak peduli meski tindakkan ibunya saat ini adalah salah.     

Tapi mau bagimana lagi, ini sudah terjadi, dan hati sang ibu sudah berubah derastis. Mau tidak mau Raisa harus menerima keadaan ibunya saat ini.     

"Iya, Raisa minta maaf, Raisa yang salah. Dan sekarang, Mama istirahat ya Raisa mau mandi dulu,"     

"Iya!" jawab Rima dengan ketus.     

***     

Malam pun berganti pagi, dan Raisa sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.     

Tapi sebelum dia pergi ke sekolah, dia menyempatkan untuk menengok keadaan sang ibu.     

"Ma, bangun, Mama, sarapan dulu ya?" tukas Raisa dengan suara pelan.     

"Saya tidak lapar!" jawab Rima dengan ketus.     

"Ma, Mama, marah ya sama, Raisa?" tanya Raisa.     

"Iya!" jawab Rima.     

"Ma, mafiin, Raisa ya?"     

Rima pun terdiam dan tak menjawab pertanyaan Raisa.     

"Ma, tolong maafkan, Raisa Ma. Raisa tahu kalau Raisa salah, jadi tolong maafkan Raisa," mohon Raisa.     

"Memangnya maafnya, Mama, sangat berati ya, bagi kamu?" tanya Rima.     

"Tentu saja, Ma. Maaf, Mama, samgat berarti bagi Raisa, Raisa gak akan bisa tenang kalau belum mendapatkan maaf dari, Mama," jawab Raisa.     

"Baik, Mama, akan memaafkan kamu tapi, tolong jangan berkata seperti hal itu lagi," tukas Rima.     

"Iya, Ma. Raisa janji."     

Setelah berhasil menadapatkan maaf dari sang ibu, dan berbaikan, Raisa pun menyuapi sarapan untuk sang ibu, dan setelah itu dia pergi ke sekolah.     

Dan ketika sampai di sekolah, tiba-tiba dia di kejutkan oleh kedatangan Surya sang ayah yang sudah duduk di ruangannya.     

"Loh, Papa, kenapa ada di sini?" tanya Raisa.     

"Kedatangan, Papa, kemari, adalah untuk memberitahu kepadamu, bahwa dua hari lagi kamu akan di lantik menjadi kepala sekolah baru di sekolah ini," tukas Surya yang memberitahu kepada putrinya itu.     

"Apa?! Menjadi kepala sekolah?!" Dan Raisa pun tampak sangat syok dan kaget.     

"Iya, benar! Sebentar lagi kamu akan menjadi kepala sekolah baru di tempat ini, menggantikan, Rasty!" tegas Surya.     

"Tapi, Pa! Terus Tante Rasty, bagaimana?"     

"Rasty, akan menjadi staf pengajar menggantikanmu!" jelas Surya.     

"Tapi, Raisa belum siap, Pa?"     

"Kamu harus siap! Karna kamu adalah satu-satunya orang yang pantas berada di posisia itu!"     

"Tapi, Pa—"     

"Sudah! Sudah! Papa hanya ingin mengatakan hal itu kepadamu! Dan sekarang Papa, mau pamit dulu, karna harus pergi ke kantor!" tegas Surya.     

Lalu Surya puk pergi meninggalkan Raisa yang masih tampak bengong karna keheranan itu.     

***     

Sementara itu Rasty tampak sangat kesal dan marah karna sudah mendengar keputusan dari mantan kaka iparnya itu.     

Meski dia tahu Raisa jauh lebih pantas mendapatkan posisi ini di bandingkan dirinya, tapi Rasty masih merasa tak terima, apa lagi, kakanya baru saja meninggal karna ulah dari Eliza adik dari Raisa.     

Tebtu saja hal itu membuat Rasty semakin benci terhadap Raisa.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.