Bullying And Bloody Letters

Seutas Tali



Seutas Tali

0"Bu Rasty! Bu Rasty!" teriak Vivi seraya memasuki ruangan Rasty.     

"Ada, apa sih, Bu Vivi!?" tanya Rasty yang tampak keheranan.     

"Bu Nindi! Bu!"     

"Ada apa dengan, bu Nindi?!"     

"Bu Nindi, naik ke laintai atas!"     

"Maksudnya?!"     

"Iya, Bu Nindi, kelihatan aneh sekali, Bu! Dan sekarang beliau sedang menuju lantai tiga!"     

"Hah, lantai tiga?!" Seketika Rasty, tampak sangat syok.     

Dengan segera Rasty berlari menuju lantai tiga, dan Vivi berlari di belakangannya.     

Sedangkan Raisa tidak mengetahui kejadian ini, karna memang bari ini Raisa sedang ambil cuti.     

Setelah tiba di lantai atas, Rasty, melihat sang Kaka sudah duduk di atas pagar pembatas lantai, dan menatap ke arah bawah dengan tatapan yang kosong.     

"Kak Nindi!" teriak Rasty memanggil sang kaka.     

"Kaka, ayo turun, Kak! Turun dari pagar pembatasan itu, jangan sampai terjun bebas, Kak!" teriak Rasty.     

"Bu Rasty, kalau begitu saya akan menyuruh para murid-murid untuk memasang seluruh kasur matrasa ya?" ujar Vivi.     

"Baiklah, Bu Vivi, tolong cepat lakukan!" jawab Rasty.     

Vivi pun segera turun ke lantai bawah, dan dia mulai menyiapakan seluruh kasur matras untuk mengantisipasi jika, sewaktu-waktu tubuh Nindi terjun bebas ke bawah.     

Sedangkan Rasty masih terus berusaha membujuk sang kaka agar mau turun dari pagar pembatas lantai.     

"Ayo turun, Kak, aku mohon, ayo turun, Kak Nindi ...."     

Rasty pun memberanikan diri menghampiri sang kaka untuk menghentikan niat buruknya yang akan lompat itu.     

Tapi Rasty, malah di dorong oleh Nindi, hingga Rasty pun kembali terjatuh ke lantai, dan sedangkan Nindi masih tetap duduk di pembatas pagar seraya memandang tempat di mana agar dia bisa terjatuh dan mati, karna sisi lantai satu sudah di penuhi oleh kasur matras, dan bertumpuk-tumpuk sangat tebal.     

"Sialan! Kalian pikir aku akan membiarkan tubuhnya jatuh di tempat yang nyaman!" umpat Nindi yang saat ini tubuhnya sudah di kuasai oleh arwah Eliza.     

"Aku tidak akan membiarkan hidup hari ini," gumamnya lagi.     

Rasty yang masih tergetak di lantai, mencoba untuk bangkit dan menarik tubuh Nindi, agar turun dari pagar pembatas.     

"Ayo turun, Kak Nindi!"     

"Ah, tidak mau!" teriak Nindi.     

"Kak! Ayo turun, Kak! Aku mohon, Kak Nindi ayo turun," pinta Rasty.     

"DIAM! AKU BUKAN, NINDI!" teriak Nindi.     

Dan Rasty pun mulai menyadari jika yang ada di dalam tubuh kakanya itu adalah Eliza.     

"Eliza! Kamu pasti Eliza, 'kan?" tanya Rasty.     

"Haha haha haha! Iya! Aku adalah, Eliza! Dan aku akan membunuh orang ini sekaranga juga!" ancam Eliza.     

"Tolong jangan, El. Saya mohon jangan ...." Mohon Rasty.     

"Enggak, bisa! Pokoknya dia harus mati sekarang juga!" teiak Eliza dari dalam tubuh Nindi.     

Rasty pun tidak menyerah dan dia terus berusaha untuk menyadarkan Nindi.     

"Ingat, Kak Nindi! ingat, jangan lakukan itu!" pinta Rasty memohon.     

Hahhaha haha haha haha!     

Hahhaha haha haha haha!     

Hahhaha haha haha haha!     

Nindi malah tertawa-tawa lantang dan seperti sedang tidak waras.     

Lalu Nindi turun dari pagar pembatas lantai itu, dan dengan langkah gontai dia menghampiri Rasty, Rasty mersa sedikit takut, karna Nindi berjalan merangkak ke arahnya dengan tatapan yang seperti bukan Nindi sang kaka.     

"Kaka, mau apa?" tanya Rasty.     

"Aku, turun. Tadi kamu menyuruhku turun, 'kan?" tanya Nindi.     

Rasty, malah terdiam sesaat, dia bingung harus berbuat apa, di sisi lain dia senang di sisi lain dia senang, karna Nindi mau turun dari pagar pembatas itu, tapi di sisi lain dia merasa takut, karna dengan ketidakwarasan Nindi yang sedang menhampirinya.     

"Kak Nindi, mau apa?" tanya Rasty sekali. Lagi.     

"Aku inigin membunuh mu!" jawab Nindi.     

"Tolong, Kak. Ayo sadarkan dirimu! Kendalikan dirimu, Kak!" mohon Rasty.     

"Aku akan membunuhmu! Tapi bukan hari ini!" jawab Nindi.     

Setelah itu Nindi berbelok masuk ke dalam gudang.     

Dan kembali lagi dengan membawa seutas tali tambang.     

Rasty pun kaget sekaligus keheranan dengan kalanya yang keluar dari dalam ruangan gudang dan membawa sebuah tali.     

"Kak, Kaka, mau apa?!" tanya Rasty.     

Tapi Nindi tidak menanggapinya dan lalu dia mengikatkan tali itu dengan erat ke atas pagar pembatasa tangga.     

"Kak! Tolong hentikan! Kaka mau apa?!" terika Rasty.     

Dan Nindi juga mulai mengikat lehernya sendiri, setelah itu dia kembali menaiki pagar pembatas itu.     

"Kak! Tolong hentikan, Kak! Aku mohon ...." Teriak Rasty.     

Dan tanpa berbasa-basi, Nindi pun terjun kebawah dalam keadaan leher yang terikat.     

"Kak Nindi! Hik hik hik! Jangan melakukan hal itu!" teriak Rasty, tapi sayangnya Nindi tidak memedulikan siapa pun. Tubuhnya sudah bergelantungan dengan seutas tali yang di ikat di pagar lantai tiga.     

Seluruh orang yang ada di bawah mulai berteriak-teriak, melihat pristiwa seram ini, Nindi sudah tidak bergarak lagi, matanya melotot dengan lidah yang menjulur.     

Dari mulutnya juga mulai mengeluarkan darah, mata, hidung, semuanya meneteskan darah segar.     

Rasty tampak sangat khwatir sekali dengan keadaan sang kaka. Meski sudah terlihat tidak ada harapan lagi, tapi Rasty tetap berusaha untuk membuka tali yang tadi di ikat oleh Kaknya.     

"Aduh! Kenapa suaah sekali sih?!" gumam Rasty, seraya berusaha melepaskan ikatan tali itu.     

Walau begitu keras, dan sampai membuat tangannya sampai berdarah-darah, tapi akhirnya dia berhasil melepaskan tali dari pagar pembatas itu.     

Gedebluk!     

Tubuh Nindi pun terjun bebas, dan terjatuh di lantai satu, di atas kasur matras.     

Semua orang seketika berkerumun melihat keadaan Nindi yang sudah tidak bernyawa itu.     

Sedangkan Rasty langsung berjalan cepat menuruni tangga untuk melihat keadaan sang kaka.     

Rasty masih berharap banyak, dia masih ingin kakanya dapat terselamatkan.     

Tapi. Ketika dia sudah bersusah payah menurunu tangga, dan sesampainya di lantai bawah, Rasty pun sangat kecewa, karna sang kaka sudah meninggal.     

"Kaka! Kaka! Toling jangan mati, Kak!" teriak Nindi seraya memeluk jasad kakanya.     

"Kak, kalau kaka tidak ada, aku dengan siapa, Kak?! Aku sendirian, Kak?! Aku tidak punya siapa-siapa, lagi?!" teriak Rasty.     

Dan dengan segera, Vivi mengabari Raisa sahabtanya.     

Dan mendengar kabar tentang hal buruk yang meninmpa Ibu tirinya itu, membuat Raisa, pun segera bergegas untuk pergi ke Pratama Jaya High School.     

Setah beberapa jam berlalu, tampak Raisa dan juga Vivi serta Aldo, berdiri di depan tempat kejadian itu.     

"Memangnya, bagaimana bisa terjadi, sih Bu?" tanya Raisa yang masih tampai heran dan kebingungan.     

"Entalah, Bu Raisa, Bu Nindi, bertingkah sangat aneh, bahkan beliau berjalan dengan cara merangkak tanpa menggunakan kursi rodanya." Tutur Vivi menjelaskan.     

"Apa tidak ada satu orang pekerja di rumahnya yang turut mengantarkannya, saat kemari?" tanya Raisa.     

"Enggak, gak ada sama sekali, Bu. Beliau datang sendirian dan seperti dalam keadaan yang tidak waras, atau mungkin seperti sedang di kuasai oleh kekuatan jahat!" jelas Vivi lagi.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.