Bullying And Bloody Letters

Masih Tetap Berusaha



Masih Tetap Berusaha

0"Papa, yang sabar ya," tukas Raisa seraya menepuk-nepuk pundak sang ayah.     

"Terima kasih, Raisa. Apa itu artinya kamu sudah mamaafkan, Papa?" tanya Surya.     

Raisa pun menganggukkan kepalanya, "Iya, Pa. Raisa sudah memaafkan, Papa," jawab Raisa.     

"Terima kasih, Raisa, Papa sangat bersyukur mempunyai anak sebaik kamu, kamu masih mau memaafkan Papamu, ini meskipun Papa kamu ini memiki kesalahan yang cukup besar kepadamu,"     

"Iya, Papa. Raisa gak mau membenci, Papa, terlalu lama, karna bagiamana pun,     

Papa ini adalah orang tuaku, ada darah papa yang mengalir dalam tubuh Raisa," tutur Raisa.     

"Terima kasih, sayang, terima kasih," tukas Surya seraya memeluk tubuh putri sulungnya itu.     

Dari dalam kamarnya, Rima mulai mendengar pembicaraan Raisa dan Surya.     

Tentu saja hal itu membuatnya merasa sangat terganggu dan kesal.     

"Raisa! " teriak Rima memanggil Raisa.     

"Iya, Ma!" jawab Raisa.     

"Usir orang asing itu!" perintah Rima.     

"Tapi, Ma ...."     

"Usir dia! Jangan biarkan dia terlalu lama di rumah ini, kita gak ada tempat untuk orang yang sudah membuang kita!" cantas Rima.     

"Rima, aku mohon, Rima!" tukas Surya.     

"PERGI!" teriak Rima dengan lantang.     

Lalu terdengar suara barang yang saling berbenturan dan terjatuh, karna dilempar-lemparkan oleh Rima.     

Raisa segera menyuruh ayahnya agar cepat pergi dari rumah ini.     

Karna keadaan sang ibu sedang tidak baik. Raisa tidak mau kalau hal ini berdampak buruk kepada kesehatan sang ibu.     

"Aku benar-benar benci sama kamu, Mas! Jangan tunjukkan lagi wajahmu di hadapanku! Di hadapan kami!" ujar Rima yang marah-marah tidak karuan.     

"Papa, sekarang pulang dulu, ya, Mama itu emosinya sudah tidak bisa terkontrol! Jadi Raisa harap sekarang, Papa, pergi dulu ya," ujar Raisa.     

Dan Surya pun menganggukkan kepalanya.     

"Iya, Rai, tapi Papa tidak akan menyerah, besok atau lusa ketika Mama kamu sudah tenang, maka Papa akan datang lagi,"     

"Iya, Pa. Raisa senang dengan ucapan, Papa, yang terus semangat untuk merebut hati Mama," Raisa mengembangkan sebuah senyuman untuknya.     

"Semoga saja, Papa, berhasil ya,"     

"Doakan ya, Sayang,"     

"Iya, Raisa pasti doakan Papa," jawab Raisa.     

Surya pun pergi meninggalkan rumah Rima.     

Meski pulang dengan tangan kosong dan tidak dapat berhasil mendapatkan maaf dari Rima, tapi Surya merasa bahagia, karna dia sudah mendapatkan dukungan dari Raisa putri pertamanya.     

Dia seperti memiliki kekuatan untuk terus mendapatkan kembali keluarganya yang hampir saja hilang ini.     

Dan sesampainya di rumah, Nindi sudah menunggu kedatangan Surya dan duduk manis di atas kursi.     

"Papa! Kamu dari mana, Pa?!" tanya Nindi.     

Tapi Surya tidak menanggapinya sama sekali.     

"Pa! Mama ini sedang tanya sama, Papa! Kenapa, Papa, diam saja?!" tanya Nindi.     

"Diam! Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" cantas Surya.     

"Papa! Kenapa, Papa, jahat banget sih? Tolong jangan siksa Mama, dengan cara seperti ini!" ujar Nindi.     

"Dan kamu juga tolong berhenti berakting seolah-olah kamu itu istri yang sudah teraniayaya!" sahut Surya.     

"Pa! Tolong, Pa! Maafkan, Mama! Mama tahu Mama, salah, jadi Mama. Mohon mamafkan, Mama, Pa!"     

"Diam, Nindi! Jangan berisik! Aku capek! Aku mau istirahat!" cantas Surya lagi,     

Dan Surya pun masuk ke dalam kamarnya.     

Sementara Nindi di tinggal sendirian di ruang tamu.     

"Suster! Suster!" teriak Nindi memanggil-manggil orang yang merawatnya,     

"Iya, Bu. Ada apa?!" tanya sang suater seraya berlari tergesa-gesa menghampiri Nindi.     

"Bantu saya naik ke lantai atas!" perintah Nindi.     

"Tapi, Bu—"     

"Kenapa? Kamu gak mau?!"     

"Baik, Bu, saya akan segera membantu, Bu Nindi naik ke lantai atas!" ujar perawat itu.     

Dan ketika sampai si lantai atas dan memasukki kamar, Nindi segera memeluk tubuh Surya dari belakang, yang kebetulan Surya sedang duduk di atas kasur.     

"Pa, mau sampai kapan kamu begini, Pa. Mama, kangen di manja sama Papa,"     

Dan Surya melirik kearah Nindi sesaat seraya tersenyum sinis.     

"Kamu tidak akan mendapatkan semua itu lagi, Nindi!" ketus Surya.     

"Kenapa, Pa? Kenapa begitu? Jadi sebenci itu, Papa, sama Mama!?"     

"Ya, tentu saja! Mana bisa aku meaafkan begitu saja, orang yang sudah menghabisi putri kandungku!"     

"Pa, Mama, minta maaf, Pa, sekali lagi Minta maaf, Pa,"     

"Maaf, Nindi, tapi sayangnya, meski aku memaafkan mu itu tidak bisa membangkitkan Eliza. Dan tidak bisa membuat aku kembali hidup dengan kekuarga utuhku seperti dulu lagi." Ujar Surya.     

"Baik, kalau kamu mau tidur di sini, malam ini, aku akan tidur di kamar tamu," ujar Surya.     

"Tapi, Pa—"     

"Ssst!"     

Surya berlalu pergi kembali meninggalkan Nindi sendirian.     

Dan lagi-lagi, Nindi pun marah-marah dia atas kasur.     

Kembali dia membanting-banting barang-barang yang ada di kamar itu.     

Klontang!     

Cring!     

Klontang!     

"Mas Surya, jahat!" teriak Nindi.     

Dan Surya pun berhenti sesaat mendengar suara berisik Nindi di kamar itu, Surya menggelengkan kepalanya.     

"Dasar wanita gila!" ucap Surya.     

***     

Esok harinya.     

Tampak sekali suasana rumah Surya yang begitu sibuk.     

Seluruh asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu, sedang membersihkan sebuah kamar di lantai bawah.     

"Tolong buat kamar itu sangat rapi dan senyaman mungkin, dan jangan lupa beri lilin aroma terapinya, agar dia nyaman tinggal di kamarnya!" tukas Surya mengomando para asisten rumah tangga di rumahnya.     

"Baik, Tuan!" tukas para asisten rumah tangga itu yang berjumlah sekitar 3 orang.     

Hari ini, Surya sengaja merapikan kamar yang ada di lantai bawah itu untuk Nindi.     

Karna kamar yang ada di lantai atas, akan dia gunakan untuk tidur sendiri, atau bila dia berhasil membawa pualng Rima, maka akan dia pakai bersama Rima.     

Oleh karena itu dia memindahkan Nindi di lantai bawah, karna di lantai bawah akan mempermudah Nindi saat keluar masuk dari dalam kamar dengan kursi roda, jadi tidak sesulit saat bsrada di kamar lantai atas.     

Selain itu Surya ingin istirahat dengan tenang tanpa bertemu dengan Nindi.     

Karna saat ini melihat wajah Nindi, membuatnya malah semakin frustasi.     

Rasa kesal dan bencinya naik 100°     

Setelah mereka selesai merapikan kamar lantai bawah menjadi kamar yang sangat rapi dan sangat nyaman, Mereka pun mengajak Nindi, untuk turun ke bawah.     

"Bu, mari ikut kami ke lantai bawah," ujar si perawat Nindi.     

"Loh, memangnya kenapa saya harus ikut kalian?! Kamarku kan ada di sini?!" protes Nindi.     

"Benar, Nyonya. Sebaiknya Nyonya ikuti kami saja," ucap salah satu asisten rumah tangganya.     

Dan mereka membawa paksa Nindi ke kamar yang sudah mereka siapkan.     

"Di sini, Bu Nindi, inilah kamar, Bu Nindi sekarang," ujar perawat Nindi.     

"Suster, kenapa saya harus berada di kamar ini? Walaupun kamar ini terlihat sangat nyaman, tapi saya tidak mau! Karna saya mau tidur di kamar saya yang di lantai atas!" tegas Nindi.     

"Maaf, Nyonya tapi ini perintah dari, Tuan!" tukas salah satu asisten rumah tangganya lagi.     

"Enggak! Aku enggak mau! Mas Surya, kejam!" teriak Nindi yang tampak sangat tidak suka dengan keputusan Surya itu.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.