Bullying And Bloody Letters

Meminta Maaf Tidaklah Muda



Meminta Maaf Tidaklah Muda

0"Ini terlalu berat untuk, bu Raisa, bawa sendirian, jadi biar saya saja yang bawakan," tukas Aldo.     

Raisa pun hanya bisa pasrah saat buku itu di bawa oleh Aldo.     

Karna tumpukan buku-buku cetak itu memanglah sangat berat sekali untuk di bawa sendiri.     

Dengan wajah yang masih cemberut Raisa mengikuti Aldo di belakangnya.     

Dan sesampainya di ruangan Raisa, Aldo menaruh buku-buku itu dengan rapi.     

"Udah, selesa, terima kasih ya, dan sekarang kamu boleh pergi," tukas Raisa.     

"Udah, gitu aja, Bu?" tanya Aldo.     

"La memangnya mau apa lagi? Udah selesai, 'kan?" tanya balik Raisa.     

"Bukan begitu, Bu Raisa tapi apa Ibu tidak ada yang ingin di katakan?" tanya Aldo.     

"Enggak!" singkat Raisa dengan ketus.     

"Bu saya mohon, jangan marah lagi ya, saya minta maaf karna kemarin tidak baca pesan chat dari, Bu Raisa, itu semua karna orang tua saya baru saja pulang dari, Beijing, dan hal itu membuat saya lebih memilih menghabiskan waktu saya bersama kedua orang tua saya karna kami jarang sekali berkumpul bersama," tutur Aldo yang menjelaskan.     

"Ya tapi, setidaknya kamu bilang dong kalau gak bisa datang, jadi kami tidak perlu capek-capek membuatkan pesta untuk kamu!" cantas Raisa.     

"Maafkan aku, Kak Raisa, soal yang itu aku memang juga salah, karna jujur aku juga masih kesal karna tidak jadi pergi dengan, Kak Raisa, makanya aku sengaja tidak membawa ponsel saat pergi bersama orang tuaku," jelas Aldo.     

"Sudahlah, Kak Raisa, kita baikkan ya, aku minta maaf karna sudah kesal dengan Kak Raisa, dan justru karna hal itu aku malah di benci oleh, Kaka," ujar Aldo.     

Raisa pun terdiam. Sementara Aldo, mengulurkan tangan ke arahanya.     

"Please, Kak Raisa, maafkan saya" tukas Aldo dengan memohon.     

"Ok, kita baikan! Aku juga minta maaf, karna aku juga sudah mengungkari janji seenanknya!" jawab Raisa seraya menjabat tangan Aldo.     

"Beneran nih, kita baikkanya ya, deal?" tanya Aldo seraya menjabat erat tangan Raisa.     

"Ok, deal!" jawab Raisa dengan penuh yakin.     

Setelah itu Aldo pun tersenyum dan tampak sangat bahagia sekaligus lega.     

"Yasudah kalau begitu, saya permisi mau ke kantin dulu ya Kak, mau menyusul, Nino dan Derry," ujar Aldo.     

"Bu! Bukan, Kak!" tukas Raisa mengingatkan Aldo.     

"Oh, iya maaf, Kak, eh, Bu! Hehehe!" jawab Aldo sambil tertawa-tawa.     

Sedangkan Raisa hanya menggelengkan kepalanya.     

"Aldo, Aldo," ucap Raisa.     

Raisa kembali meraih buku-buku cetak yang di bawa oleh Aldo tadi, lalu dia mengecek kembali karna, dalam buku itu ada esay yang baru saja para anak muridnya kerjakan.     

Dia memeriksa punya Aldo, "Wah, Aldo, benar semua nih," gumam Raisa seraya tersenyum melihat hasil pekerjaan Aldo.     

"Meski pun dia anak lelaki yang terlihat selengean dan sering bercanda, tapi Aldo, sebenarnya adalah seorang anak yang sangat cerdas, manis lagi, gak salah Eliza itu. Dia memeng sangat pandai memilih pacar," tukas Raisa yang tak sadar malah memuji-muji Aldo.     

Dan dari luar kaca ruangannya terihat ada Rasty dengan wajah kucalnya berjalan cepat melewati depan ruangannya.     

"Bu Rasty, kok dia pucet banget sih, kayak orang lagi sakit," ujar Raisa.     

Lalu Raisa pun segera keluar untuk mengikuti Rasty.     

Ceklek!     

Raisa pun berlari dan mengejar Rasty.     

"Bu Rasty!" teriak Raisa.     

Lalu Rasty pun menghentikan langkah kakinya dan melihat ke arah Raisa.     

"Ada apa, Bu Raisa?" tanya Rasty.     

"Saya ingin mengobrol sebentar dengan, Bu Rasty, apa bisa?" tanya Raisa.     

Rasty pun terdiam sesaat.     

"Kalau begitu, mari keruangan saya," ajak Rasty.     

Raisa mengikuti ajakan Rasty, dan mereka pun hendak mengobrol di ruangan itu.     

"Bu Raisa, ingin bertanya apa?" tanya Rasty.     

"Saya hanya ingin bertanya, bagaimana keadaan ibu saat ini? Karna saya lihat wajah, Bu Rasty, terlihat sangat pucat," jelas Raisa.     

Rasty tampak tidak menyukai mendengar pertanyaan Raisa, karna meskipun dia sudah berbaikan dengan Raisa tapi tetap saja hatinya tidak bisa tenang karna Eliza tetap akan mencelakainya.     

Bahkan meski Raisa adalah kaka kandung dari Eliza tapi tetap saja dia tidak bisa membantu untuk menghentikan keberutalan Eliza.     

Rasty benar-benar sudah merasa putus asa, kini hidupnya sudah hancur, bahkan kaka iparnya juga sudah mengetajui semuanya, termasuk keterlibatannya membunuh Eliza.     

Tak lama lagi berita buruk akan menghampiri dirinya dan kakanya.     

Entah itu perceraian dari Surya atau pembunuh yang di lakukan oleh arwah Eliza, jika sampai lupa membawa jimat itu.     

"Raisa, tolong keluar saja dari ruangan saya, karna sekarang, Raisa, sudah mendapatkan seganya, dan sebentar lagi, Papa kamu juga akan kembali kepada Mama kamu, Raisa!" ujar Rasty.     

"Kenapa, Bu Rasty, bicara begitu?!" tanya Raisa.     

"Mas Surya sudah tahu semuanya! Dan kemungkinan sekarang, Mas Surya sudah bertengkar dengan kaka saya karna sudah mengetahui perbuatanya, oleh karna itu, sudah pasti pada akhirnya, Mas Surya, akan kembali kepada kalian!" jelas Rasty.     

Raisa hanya terdiam tak berbicara apa pun akan hal itu, dan tentu saja, ini adalah kabar bahagia sekalihus memnyedihkan.     

Memang sejak dulu dia sangat mengiginkan ayahnya kembali untuknya, dan kedua orang tuannya kembali rukun, tapi di sisi lain dia juga tidak mau melihat Rasty dan juga Nindi yang termunta-lunta, padahal dulu ini adalah harapannya. Tapi sekarang sudah tidak lagi, karna sepertinya keadaan Nindi dan juga Rasty saat ini jauh lebih memprihatinkan di bandingkan dirinya dan juga ibunya.     

"Sekarang tolong kamu pergi, Rai! Kamu sudah mendapatkan, semunya!" sergah Rasty.     

"Tapi, Bu Rasty—"     

"Tolong pergi! Rai! Aku. Mohon pergi!" sergah Rasty lagi.     

Dan Raisa pun dengan terpaksa meninggalakan ruangan Rasty.     

***     

Sepulang dari sekolahan, Raisa mendapati ada mobil milik sang ayah yang parkir di halaman rumahnya.     

"Loh, ini, 'kan mobil Ayah?" ujar Raisa.     

Dan dengan segera Raisa pun masuk ke dalam rumahnya.     

Dia menadapati di kamar sang ibu ada Surya sang ayah.     

Surya sedang duduk dan berlutut di bawah kaki Rima untuk meminta maaf.     

"Rima, tolong maaf kan aku, tolong, Rima, aku mohon ...." Ucap Surya.     

"Enggak, Mas, aku, 'kan sudah bilang kalau aku ini tidak sudi memaafkanmu!" cantas Rima.     

"Tolonglah, Rima, maafkan aku. Aku tahu aku salah, jadi aku mohon maafkan aku,"     

"Aku tidak mau! Sampai kapan pun aku tidak mau, Mas! Jadi tolong pergi dari rumah ini sekarang juga!"     

"Rima! Aku mohon ....'     

"PERGI!"     

Dan dengan terpaksa Surya meninggalkan Rima, hari ini pun dia kembali pulang dengan tangan kosong, tak berhasil mendapatakan maaf dari istri pertamanya itu.     

Surya keluar dari dalam kamar Rima, dan dia tidak menyadari keberadaan Raisa di balik pintu itu.     

"Papa," panggil Raisa dengan suara pelan.     

"Raisa," sahut Surya seraya menoleh ke arah Raisa.     

"Papa, ngapain?" tanya Raisa.     

"Papa, sedang menemui Mama kamu, Papa, ingin meminta maaf kepadanya, tapi sepertinya, kesalahan Papa terlalu besar terhadapnya dan dirimu, sehingga membuat Mama kamu tidak mau memaafkan, Papa,"     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.