Bullying And Bloody Letters

Sudah Tahu Semuanya



Sudah Tahu Semuanya

0Setelah sampai di tangga atas dan memasuki kamarnya, Nindi pun segera menghampiri sang suami.     

"Papa, Papa, kenapa cuekin, Mama? Memangnya, Mama salah apa sih?" tanya Nindi dengan wajah memelasnya.     

"Sudahlah, Nindi! Jangan terlalu banyak berakting! Aku sangat muak denganmu!" cantas Surya.     

"Nindi? Papa, memanggil, Mama dengan sebutan 'Nindi' kenapa, Pa? Papa, marah sama Mama?"     

"Bukan cuman marah! Tapi juga kecewa dan benci!" bentak Surya.     

"Tapi kenapa, Pa? Mama, salah apa?"     

"Salah kamu karna sudah berbohong kepadaku! Bahkan kamu sudah menipuku dengan wajah mu yang polos seperti malaikat itu!"     

"Papa ... kenapa, Papa, sekejam itu dengan, Mama? Kenapa, Pa? Ayo katakan, jangan buat Mama, menjadi bingung, Mama benar-benar, tidak tahu apa pun!"     

Brak!     

Surya menggebrak meja yang ada di depannya.     

"Sudah cukup kamu mengeluarkan air mata buayamu! Kamu selalu bilang Eliza sudah kamu anggap sebagai anak kandungmu! Bahkan rasa sayangmu kepadanya sama seperti kamu yang menyayangi Jeninna! Tapi ternyata apa?! Kamu malah membunuh putri ku itu!"     

"Ja-jadi, Papa, menuduh, Mama, membunuh Eliza?"     

"Iya! Dan bukan menuduh tapi memang kamulah pelakunya!"     

"Apa buktinya, Pa?! Papa, tidak punya bukti apa pun, jadi Papa, tidak bisa asal menuduh saja!" teriak Nindi.     

"Aku sudah tahu semuanya! Rasty sudah mengakui semuanya! Hanya kamu saja yang masih terus mengelak! Nindi!" cantas Surya.     

"Apa?! Jadi, Rasty yang berbicara semua ini kepada, Papa!?"     

"Kalau iya, memangnya kenapa?!"     

"Pah! Mama dan Rasty itu sedang berselisih paham, bahkan boleh di bilang, Mama dan Rasty itu sedang bertengkar!"     

"Iya! Saya sudah tahu! Terus kenapa?!"     

"Ya, itu lah alasan Rasty menfitnah, Mama! Karna dia kesal dengan, Mama! Rasty itu suka sama Papa, makanya dia mau menjatuhkan, Mama, di depan Papa!"     

"Oh, ya! Jadi begitu ya?" Surya tersenyum tipis menanggapi istrinya, bahkan saat terpojok seperti ini pun Nindi masih bisa mengelak dan menyalahkan orang lain, bahkan menfitnah Rasty adik kandungnya sendiri.     

"Kalau pun benar, Rasty menyukai ku dan ingin menjatuhkan mu agar bisa merebut ku dari sisimu. Maka apa yang di lakukan oleh Rasty itu sama persis dengan apa yang sudah kamu lakukan kepada Rima ya?" sindir Surya.     

"Kenapa, Mas Surya, bicara begitu? Aku bukan orang sejahat itu! Aku tidak merebut, Mas Surya, tapi Mas Surya sendiri yang sudah mencintai ku, Ingatkan bagaimana Mas Surya, dulu mengejar-ngejar aku?!"     

"Aku mengejar-ngejarmu karna dulu kamu selalu menggodaku! Bahkan kamu selalu bertingkah manis, dan karna kecelakaan malam itu, kamu jadi mengandung anakku! Jadi aku terpaksa menikahi mu!"     

"Tapi, kan waktu itu kita melakukannya sama-sama suka, Mas?!"     

"Kita melakukannya karna mabuk!" cantas Surya.     

"Ok, karna mabuk, dan selanjutnya kamu mencintai ku, 'kan? Dan setelah kejadian ini kamu menyalahkanku sudah merebutmu dari Rima! Kamu kejam, Mas!"     

"Wah, kamu itu memang selalu pandai bersilat lidah, dan sekarang kamu berbicara seolah-olah aku yang bersalah! Haha! Kamu. Memang sangatlah pandai ya!" ledek Surya.     

"Memang begitu adanya, 'kan? Jadi Papa, menyalahkanku!"     

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, Nindi!"     

"Kamu jahat, Mas!"     

Nindi pun menagis di atas kursi rodanya, sedangkan Surya bergegas mengambil handuk dan segera masuk ke dalam kamar mandi.     

Surya meninggal kan Nindi yang masih menangis sesegukan di atas kasur.     

Selama Surya berada di kamar mandi, Nindi terus mengamuk, membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya.     

"Sialan! Dasar Rasty bangsat! Kenapa bodoh sekali! Kenapa dia menggalih kuburanku! Dia itu adik yang bodoh! Tidak tahu diri! Aku benci kamu Rasty!"     

Krompyang!     

Klunting!     

Prang!     

"Aku benci kamu, Rasty!"     

Ceklek!     

Surya pun keluar dari dalam kamar mandi dan melihat keadaan kamar yang sudah berantakan.     

Dia menatap Nindi yang masih terdiam di atas kursi rodanya.     

"Yah, jadi begini ya, sifat aslimu? Kamu sangat berutal dan kasar! Sama persis dengan ucapan Rasty! Kamu bertingkah seperti Malaikat, padahal sebenarnya kamu adalah iblis!" cerca Surya.     

"Mas! Aku mohon, Mas, tolong beri aku kesempatan lagi, aku mohon, tetaplah menjadi, Mas Surya yang dulu, aku mohon, Mas,"     

Surya menggelengjan kepalanya lalu berganti pakaian tepat di hadapan Nindi, dan setelah itu dia pergi meninggalkan Nindi.     

"Mas, kamu mau kemana, Mas?" tanya Nindi.     

Tapi Surya tak menanggapinya sama sekali.     

"Mas! Jangan tinggalkan aku, Mas! Aku mohon ...!"     

Surya terus berjalan dan menuruni tangga rumahnya.     

"Mas! Mas! Mas Surya! Jabgan pergi, Mas! Aku mohon tolong jangan pergi, Mas! Jangan tinggalakan aku!"     

Surya sudah berada di lantai bawah, sedangkan Nindi masih terus berteriak-teriak histeris, memanggil Surya agar Surya tidak meninggakaknnya.     

Dab sesampainya di lantai bawah, Surya berpapasan dengan perawat Nindi.     

"Suster, tolong jaga, bu Nindi, baik-baik ya, malam ini saya tidak pulang," ujar Surya.     

"Baik, Pak Surya," jawab perawat itu lalu Surya pun berlalu pergi.     

***     

Surya memutuskan untuk menginap di salah satu apartemen miliknya. Dia tidak mau tinggal dan tidur di rumahnya bersama Nindi, karna hal itu justru akan membuat pikirannya tak tenang dan semakin stress.     

***     

Raisa baru saja selesai memarkirkan mobilnya, dan tepat saat itu dia berpapasan dengan Aldo.     

"Pagi, Kak Raisa," sapa Aldo.     

"Aldo, ini lingkungan sekolah lo, panggilnya harus pakek, Bu. Saya, kan guru kamu!" ujar Raisa.     

"Eh, iya, maaf, Bu Raisa,"     

"Nah gitu dong,"     

"Hehe, kira-kira kapan kita ke retoran, kak Sherly, lagi?"     

"Eh, gak tau kapan ya? Ibu, belum gajian,"     

"Tenang, kali ini saya yang traktir, Bu. Kan besok saya ulang tahun," ujar Aldo penuh bangga.     

"Wah, serius? Selamat ya," ujar Raisa sambil tersenyum.     

"Iya, by the way, Bu Raisa, gak ada niat buat ngasih kado ke saya? Dulu waktu Eliza masih hidup, dia selalu bgasih surprise ke saya, dan itu selalu membuat saya bahagia, walau kadang dia cuman ngasih kado isi permen lolipop hehe," tutur Aldo sambil tersenyum-semyum membayangkan masa lalu.     

"Benarkah? Eliza memberimu permen lolipop?"     

"Iya!" Aldo mengangguk-angguk antusias.     

"Emang kamu suka banget ya sama permen lolipop?"     

"Enggak sih, tapi kata Eliza, lollipop itu mirip sama dia, manis imut dan bikin mood booster,"     

"Hahaha! Eliza, narsis juga ya ternyata!" ujar Raisa sambil tertawa.     

"Iya, dia narsis, cantik, baik dan ngangenin, tapi sayang dia udah pergi jauh," jawab Aldo.     

Seketika Raisa menghentikan tertawanya, dia turut bersedih melihat Aldo yang sepertinya sangat merindukan momen indah bersama Eliza.     

Raisa pun juga mulai rindu dengan mendiang adiknya itu.     

"Sabar ya, Do. Mungkin ini sudah jalannya," Raisa memegang tangan Aldo.     

"Ini, sudah takdir, Do. Kita harus iklas," tukas Raisa menenangkan Aldo.     

"Iya, Bu Raisa,"     

'Aldo, memang terlihat kekanak-kanakan saat menceritakan tentang lolipop dan Eliza, tapi mereka berdua terlihat sangat manis, dan aku dapat merasakan betapa rindunya Aldo terhadap adikku Eliza,' batin Raisa.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.